Sabtu, 24 Oktober 2009

makalah ushul fiqh

BAB 1
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, prilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Hukum
Hukum syar'i atau hukum syara' adalah kata mejemuk yang tersusun dari kata "hukum" dan kata "syara'". Kata hukum berasal dari bahasa arab (الحكم) yang secara etimologi berarti "memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan", kata hukum pada sekarang ini sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata "hukum" terdapat perbedaan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat di katakan bahwa hukum adalah "seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan dan di akui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, dan hukum tersebut berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya".
Kata "syara" secara etimologi berarti "jalan", jalan yang biasa di lalui air, maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti "ketentuan Allah".
Hukum syara menurut istilah para ahli Ushul fiqh ialah: khitab Allah yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Misalnya firman Allah dalam Quran (ا بالعقوداوفو), artinya: penuhilah janji.
Ini merupakan khitab dari syar'i yang bersangkutan dengan pemenuhan berbagai janji, dalam bentuk tuntutan untuk mengerjakannya. Firman Allah dalam Quran(لا يسخر قوم من قوم), "janganlah satu kaum mengolok kaum yang lain". ini adalah khitab syar'i yang berkaitan dengan menolok-ngolokkan, dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkannya.
Adapun hukum syara' menurut istilah ahli fiqh, adalah: efek yang di kehendaki oleh khitab syar'i. seperti, kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Firman Allah swt (ا بالعقوداوفو), "penuhilah janji" Menurut kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum dalam istilah para ahli ilmu Ushul fiqh, dan kewajiban memenuhi janji itulah hukum menurut istilah para faqih.
Firman Allah swt (ولا تقربواالزنا) "janganlah kamu mendekati zina" nash ini hukum menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh. Sedangkan keharaman mendekati zina adalah hukum menurut istilah fuqaha.
2. Macam- Macam Hukum
Dari definisi hukum syara', menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh dapat di ambil kesimpulan bahwasanya hukum itu bukanlah satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntutan, ada kalanya dari segi pilihan, ada kalanya dari segi penetapan. Nyatalah bahwa elemen-elemen yang terdapat dalam ta'rif itu membedakan hukum kepada dua macam, yakni:
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah, khitab syar'i yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan oleh para mukallaf atau untuk di tinggalkan atau yang mengandung pilihan antara di kerjakan dan di tinggalkannya. Misalnya,
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan ialah:
خذ من اموالهم صدقة (التوبة: 103)
"Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka"
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di tinggalkan ialah:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما اهل لغير الله به (المائده:3)
"Di haramkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang di sembelih dengan nama selain Allah"
 Khitab yang mengandung pilihan, antara di kerjakan dengan di tinggalkan ialah:
فاذا قضيت الصلوة فانتشروا فى الآرض (الجعه:10)
"Apabila telah selesai sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi"
Khitab tersebut di namai hukum taklifi karena mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu pekerjaan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi alternatif belaka. Para Ushuliun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukum taklif) adalah berdasarkan kepada umumnya (ghalibnya).
Sedangkan bentuk perintah dan larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk pasti, maka di sebut wajib, jika tidak pasti maka di sebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan bila berbentuk pasti maka di sebut haram, dan bila tidak pasti maka di sebut makruh. Sedangkan yang di maksud dengan takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
Dengan demikian, hukum taklifi itu terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Pembagian tersebut adalah menurut jumhur ulama, sedangkan menurut mazhab hanafi hukum taklifi terbagi menjadi tujuh, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram, dan mubah. Di sini akan di jelas hukum taklifi dan telah di sepakati (yang berjumlah lima macam) itulah yang di sebut "hukum yang lima" atau al-ahkam al-khamsah yaitu:
1. Hijab ialah: (طلب الفعل طلبا جازما) tuntutan untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus di perbuat, sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali di tinggalkan sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi dalam bentuk ini di sebut hijab. Pengaruhnya terhadap perbuatan disebut wujub. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut wajib, umpamanya mendirikan shalat.
2. Nadb ialah: (طلب الفعل طلبا غير جازم) tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu di tuntut untuk di laksanakan. Terhadap yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tapi bila tuntutan itu di tinggalkan maka tidak apa-apa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut nadb juga. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut mandub, umpamanya memberi sumbangan kepada panti asuhan.
3. Tahrim ialah: (طلب الترك طلبا جازما) tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang di tuntut harus meninggalkannya. Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah, karenanya patut mendapat ancaman dosa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut Hurmah, sedangkan perbuatan yang di larang secara pasti itu di sebut Muharram atau haram, umpamanya memakan harta anak yatim secara tidak patut.
4. Karahah ialah: (طلب الترك طلبا غير جازم) tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin dia tidak meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang, karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak pastinya larangan ini maka yang tidak meninggalkan larangan tidak mungkin di sebut menyalahi yang melarang. Oleh karena itu dia tidak berhak mendapat ancaman dosa. Perbuatan yang dilarang secara tidak pasti di sebut makruh, umpamanya merokok.
5. Ibahah ialah: khitab syar'i yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkan. bila seseorang mengerjakan maka ia tidak di beri ganjaran dan tidak pula di ancam atas perbuatannya itu, ia juga tidak di larang berbuat. Pengaruh dari khitab ini terhadap perbuatan di sebut ibahah, sedangkan perbuatan yang diperkenankan untuk berbuat atau tidak di sebut mubah atau jaiz. Umpamanya melakukan perburuan sesudah melakukan tahallul dalam ibadah haji.
b. Hukum Wadh'i
Hukum wadh'i adalah: khitab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu. Contoh adanya sesuatu sebagai:
• Sebab sesuatu, ialah firman Allah:
يأايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فغسلوا وجوهم وايديكم الى المرافق... (المايدءه: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, bila kamu handak shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku………"
Kemauan menjalankan shalat dalam ayat tersebut adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu.
• Syarat sesuatu, ialah firman Allah:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.... (ال عمران:97)
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan………"
Kesanggupan mengadakan perjalanan ke Baitullah adalah menjadi syarat wajibnya menunaikan haji.
• Penghalang sesuat, ialah sabda rosulullah yang berbunyi:
لا يرث المسلم الكا فر ولا الكافر المسلم (متفق عليه)
"Orang muslim tidak dapat mempusakai orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mempusakai orang muslim" (HR. Bhukari, Muslim)
Berlainan agama antara orang yang mewariskan dengan penerima waris adalah menjadi penghalang pusaka-mempusakai.
Hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian di peroleh ketetapan, bahwasanya hukum wadh'i adakalanya menghendaki untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang, atau menjadi pemboleh adalah rukhshah (kemurahan) dan shihah. Atas dasar itulah hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, ialah:
 Sebab (al-sabab) menurut jumhur ulama adalah: sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (syar'i, pembuat hukum) di jadikan sebagai sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Masuknya bulan ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya ia adalah sesuatu yang jelas dan dapat di ukur apakah bulan ramadhan sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan di sebut sebab, sedangkan datangnya kewajiban puasa ramadhan di sebut musabbab atau hukum, dan sabab (sebab) tersebut terbagi atas dua macam, yaitu:
 Sebab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf yaitu sebab yang di jadikan Allah swt, sebagai petanda atas adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang di jadikan petanda untuk hukum oleh Allah swt. Umpanya tergelincir matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur, dalam firmannya:
اقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق الليل (الاسراء: 78)
"Dirikanlan shalat karena tergelincir nya matahari sampai gelap malam"
 Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang di tetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya perbuatan mukallaf yang nyata di jadikan petanda adanya hukum. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-khasar shalat, perjalanan itu di sebut sebab, ia adalah perbuatan mukallaf yang di lakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya, akibat adanya sebab ini di jadikan Allah adanya rukhshah melakukan shalat.
 Syarath adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Misalnya perkawinan adalah syarat untuk menjatuhkan talak, dengan arti bahwa tidak adanya perkawinan maka tidak akan adanya talak, tetapi dengan adanya perkawinan tidaklah mesti adanya talak. Begitu juga bewudhu adalah syarat bagi sahnya shalat, apabila kita tidak berwudhu maka shalat yang kita lakukan tidaklah sah, akan tetapi tidaklah mesti dengan adanya wudhu makan harus shalat. Dan syaratbterbagi menjadi tiga macam, yaitu:
 Syarat 'aqli contohnya "kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui, adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
 Syarat 'adi artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku: seperti, bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlansungnya kebakaran.
 Syarat syar'i yaitu syarat berdasarkan penetapan syara', seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat, nisab syarat wajibnya zakat.
 Mani' (penghalang) ialah perkara syara' yang keberadaannya menafikkan tujuan yang di kehendaki oleh sebab atau hukum. kata amru syar'i yang di sebut dalam definisi menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang itu adalah perbuatan hukum yang di tetapkan oleh pembuat hukum itu sendiri sebagai penghalang, yaitu hadist nabi yang mengatakan(القاتل لا يرث) "si pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang di bunuh".
Adanya pembunuhan meniadakan tujuan yang di tetapkan oleh hukum itu dalam contoh di atas yaitu peralihan hak waris kepada ahli waris. Dari ta'rif tersebut dapat kita ketahui bahwa mani' itu terbagi atas dua macam, yaitu:
 Mani' terhadap hukum, misalnya perbedaan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang menerima waris adalahn suatu mani' (penghalang), hukum pusaka-mempusakai biarpun sebab untuk mempusakai, yaitu perkawinan atau hubungan darah sudah ada, jadi yang di halangi (mamnu') di sini adalah hukum pusaka-mempusakai, bukan sebab-sebab (hukum) mempusakai.
 Mani' terhadap sebab hukum, misalnya seseorang telah berkewajiban membayar zakat, tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat, karena harta yang ia miliki tidak sampai senisab lagi. Memiliki harta satu nisab ini adalah sebab wajibnya zakat, dalam keadaan ini dia mempunyai banyak hutang, sehingga menjadi penghalang terhadap sebab adanya hukum wajib zakat.
 Rukhsah (kemurahan) dan Azimah (hukum ashli)
Rukhsah ialah ketentuan yang di syari'atkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Sedangkan Azimah peraturan syara yang ashli yang berlaku hukum, artinya ia di syari'atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalm keadaan yang biasa. Misalnya babi, menurut aslinya haram di makan oleh semua orang yang islam, tetapi apabila dalam keadaan terpaksa, ia di perkanankan memakannya, asalkan tidak berlebih-lebihann. Haramnya memakan babi adalah Azimah, sedangkan boleh memakannya bagi orang yang terpaksa adalah Rukhsah. Rukhsah itu ada beberapa macam, antara lain:
 Membolehkan hal-hal yang di haram, di sebabkan karena situasi darurat.
 Membolehkan meninggalkan sesuatu karena adanya alasan udzur.
 Memberikan pengecualian sebagian perikatan-perikatan karena di hajatkan dalam lalu lintas mu'amalah.
 Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syari'at yang terdahulu.
 Shihah (sah) dan buthlan (batal)
Pengertian sah menurut syara' ialah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum. seperti, bila seorang mukallaf dalam menjalankan suatu kewajiban, (shalat, puasa, Zakat) sudah memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka terpenuhilah olehnya kewajiban tersebut dan dia bebas dari tanggungan, maka ia bebas dalam hukuman di dunia serta berhak mendapat pahala di akhirat. Adapun pengertian batalnya suatu perbuatan ialah perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum.
3. Perbedaan antara hukum Taklifi dengan hukum Wadh'i
Adapun perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh'i adalah sebagai berikut:
 Di tinjau dari segi tujuan, maka hukum taklifi menuntut, mencegah atau memberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan perbuatan. Sedangkan tujuan hukum wadh'i untuk menerangkan bahwa sesuatu itu menjadi sebab bagi musabab, syarat bagi masyruth atau penghalang bagi suatu hukum.
 Di tinjau dari segi hubungan dengan kesanggupan orang mukallaf. Maka hukum taklifi selalu di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh'i itu ada kalanya di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misaalnya ijab qabul dalam segala macam perikatan dan ada kalanya tidak di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misalnya pertalian darah menyebabkan saling mempusakai dan gila menyebabkan gugurnya taklif (pembebanan kewajiban).





BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi menurut jumhur ulama terbagi menjadi lima, yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hukum taklifi terbagi atas tujuh bagian, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah. Dan hukum wadh'i juga terbagi atas lima bagian, yaitu: sebab, syarat, mani', rukhshah, shihah.
DAFTAR PUSTAKA
- Syariuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
- Wahhab Khalaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
- Yahya, Mukhtar, dan Rahman, Fathur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar