Rabu, 26 Januari 2011

kaidah-kaidah fiqh yang mukhtalaf alaih

PENDAHULUAN
Belakangan ini seringkali kita saksikan sekelompok kaum beragama, atas nama agama telah men-sesatkan, bahkan memandang kufur kelompok lain yang seagama. Fenomena al-idhlal (penyesatan) dan al-takfir (pengkafiran) ini akan terus menggelinding di tengah-tengah masyarakat.
Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan "la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-muttafaq 'alaih"/pandangan lain yang masih diperselisihkan ulama tidak boleh serta merta diingkari, berbeda dengan pandangan yang telah disepakati ulama maka kita boleh mengingkari pandangan sebaliknya. Sementara itu hampir seluruh ulama sepakat bahwa ajaran yang mukhtalaf fihi jauh lebih banyak dari ajaran yang muttafaq 'alaih. Ini artinya wilayah takfir dan idhlal dalam ajaran Islam sangatlah sempit, tidak mudah untuk mengkafirkan dan memandang sesat pihak lain.
Problem kita adalah tidak adanya kesepakatan di kalangan ulama tentang ajaran yang masuk dalam katagori mujma' 'alayhi dan mana yang mukhtalaf fihi. Akibatnya tidak ada standard baku atas dasar apa seseorang dapat dipandang kafir dan sesat. Perbedaan di luar masalah tersebut berlaku kaidah, "pendapat kita benar
tapi mungkin saja salah dan pandangan orang lain salah tapi juga mungkin benar" dan kaidah ikhtilafu ummati rahmatun. Inilah toleransi keberagamaan yang pernah dicontohkan dengan cantik oleh ulama salaf al-shalih. Dalam menyikapi satu kasus permasalahan dalam menerapkan kaidah mukhtalaf ini sesuai dengan pendapat yang dianggap lebih unggul dari kedua sisi kaidah yang ada.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk membahas tentang kaidah-kaidah fiqh yang mukhtalaf , untuk memudahkan dalam rangka mengetahui khilaf-khilaf ulama ini adalah dengan mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus pembahasan sebagian khilaf mereka.





PEMBAHASAN
Kaidah al mukhtalaf adalah kaidah yang berbentuk pertanyaan pada satu tema tertentu dengan dua jawaban atau lebih. Satu permasalahan yang seharusnya mempunyai jawaban yang pasti, ternyata di sana di temukan jawaban yang beragam. Disinilah letak keunikan kaidah muktalaf. Disebut mukhtalaf karena kaidah ini adalah kaidah yang subtansinya dikhilafkan dalam madzhab Syafi’i.
Ketika mengaplikasikan kaidah-kaidah al-mukhtalaf kedalam sebuah permasalahan, dengan tanpa menjelaskan predikat hukum mana yang lebih kuat dari dua sisi kaidah yang berbeda. Sebagian lagi, ada yang lebih kreatif dengan melakukan proses tarjih. Kekreatifan ini diteruskan pada saat menyikapi permasalahan lain dengan menerapkan kaidah dalam satu permasalahan yang sama dengan tinjauan sisi kaidah yang lain.
Seperti halnya ketika menanggapi pertanyaan pancingan yang terdapat dalam kaidah mukhtalaf pertama; apakah fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain ketika telah dilaksanakan? Ini adalah satu contoh penerapan kaidah yang berbentuk pertanyaan dengan tampilan dua jawaban yang berbeda. Sementara permasalahan yang dicoba untuk diangkat dalam kaidah adalah sama; yaitu seputar apakah fardlu kifayah akan menjadi fardlu ‘ayn ketika tengah dilaksanakan.
Respon jawaban yang berbeda walaupun berasal dari pertanyaan yang sama ini, muncul karena tinjauan masing-masing berbeda satu sama lain. Dengan bentuk ini salah satu manfaat yang dapat kita petik adalah kita dapat mengetahui kapan fardlu kifayah menjadi fardlu ‘ayn dan dalam kasus apa saja sebuah konstruk fardlu kifayah tidak berubah setatusnya menjadi bagian dari ibadah fardlu ‘ayn.
Dan dalam catatan pengembaraan eksperimen (istiqra’)hanya terdapat dua puluh kaidah mukhtalaf yang dapat kita lacak dalam kitab-kitab syafi’iyyah.
Sekadar untuk diketahui, dan untuk memudahkan kita dalam mendalami kaidah fiqh maupun fiqh secara langsung, dalam literature kitab-kitab fiqh klasik akan dijumpai satu permasalahan tetapi terdapat berbagai varian jawaban. Seperti yang terdapat dijumpai dalam kitab mahalli. Di sana, kita dapat menemukan satu latar masalah dengan varian jawaban yang beragam. Bahkan kita dapat menjumpai sampai empat jawaban yang sama sekali berbeda antara satu dengan yang lain. Salah satu tawaran alternative untuk memudahkan dalam rangka mengetahui khilaf-khilaf ulama’ ini adalah dengan mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus pembahasan sebagian khilaf mereka.
Untuk mengetahui esensi kaidah-kaidah mukhtalaf ini dengan mudah, kita perlu mengetahui beragam istilah yang dikenal dengan qawl, wajh, qawlani, wajhani, dan sebagainya. Beberapa kosa kata ini merupakan petunjuk praktis untuk mengetahui dimana pendapat tersebut diungkapkan, siapa yang menyampaikan sekaligus derajat kekuatannya sebagai pijakan hukum.
Yang perlu kita ketahui pertama kali, pengertian qawl berlainan dengan istilah wajh. Walaupun keduanya sama-sama berarti pendapat, namun dalam literature fiqh terdapat perbedaan prinsip di antara keduanya. Qawl adalah apa yang pernah ditulis atau difatwakan Imam al-Syafi’I, yang pada akhirnya akan terbagi menjadi dua, yaitu qawl qadim dan qawl jadid.
Yang perlu diingat lagi adalah, bahwa qawl dan wajh juga akan terpilah kedalam pelbagai bentuk istilah. Dengan mengenal nama-nama yang berbeda ini, secara otomatis akan member pengertian yang berbeda pula.
Beberapa istilah yang sering digunakan di dalam kaidah-kaidah mukhtalaf adalah:
 Al-Ashah: adalah pendapat yang paling valid diantara kualifikasi pendapat-pendapat lain dan pembandingnya dikenal dengan istilah al-shahih.
 Al-Azhhar: pendapat yang kevalidannya di atas al-shahih dal al-zhahir. Dalam pendapat jenis ini, kejelasan ashl dan ‘illatnya atau salah satu dari keduanya kuat.
 Al-Shahih Adalah pendapat yang ashl dan ‘illat atau salah satu dari keduanya benar.
 Al-zhahir digunakan untuk menamakan pendapat yang ashl, illat atau salah satu dari keduanya jelas.
 Al-Mu’tamad adalah pendapat dalam permasalahan hukum tertentu yang di jadikan pegangan bagi ‘ulama yang mendukungnya, walaupun pendapat ini sangat mungkin dinilai sebagai pendapat yang lemah bagi ulama’ yang lain.
Kaidah-Kaidah Mukhtalaf
Kaidah-kaidah yang mukhtalaf , artinya kaidah-kaidah yang masih diperselisihkan, dan tarjihnya juga tidak sama. Terkadang juga ada cabang yang diperselisihkan tapi hanya sebagian, atau karena masing-masing mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkan. Dan kaidah-kaidah yang seperti ini jumlahnya ada dua pulah, yaitu :
Kaidah ke 1

Shalat jum’at shalat zhuhur apakah yang diringkas ataukah shalat yang yang berdiri sendiri? Terdapat dua pendapat.
Dalam ranah kajian fiqh, Imam syafi’i melontarkan dua statemen yang berbeda mengenai status shalat jum’at. Menurut statemen awal (qawl qadim), shalat jum’at merupakan shalat dzuhur yang di ringkas rakaatnya menjadi dua. Sedangkan menurut statemen yang kedua(qawl jadid), shalat jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri.
Kaidah ke 2


Shalat dibelakang imam yang berhadas dan tidak diketahui keadaannya, apakah termasuk shalat berjama’ah atau sendirian? Terdapat dua pendapat.
Shalat yang dilakukan di belakang imam yang hadas dan tidak diketahui keadaannya tetap shah. Berangkat dari asumsi ini kemudian muncul dari dua wajh:
Pertama bahwa shalat yang dilakukan makmum tetap bernilai jamaah
Kedua shalat makmum dianggap sendirian karena shalat imamnya tidak shah.
Pendapat bahwa shalat mereka shalat jamaah, adalah pendapat yang lebih shaheh.
Kalau makmum mendapatkan imam sedang ruku’, kemudian mengikutinya (masbuq), kemudian mengetahui tetang hadasnya imam sebelum salam dan memisahkan diri, maka yang lebih shah adalah shalatnya dianggap shalat sendiri, dan rakaat pertama yang bersama dengan imam (mengikuti ruku’nya imam ) dianggap tidak sah.
Kaidah ke 3


Seseorang yang melakukan sesuatu yang bias merusak fardlu pada permulaan atau tengah-tengah pelaksanaannya, tetapi tidak melakukan sesuatu yang merusak shalat sunnah, maka shalat fardlunya batal? Kemudian apakah shalatnya bernilai shalat sunnah atau menjadi batal sama sekali?terjadi dua pendapat.
Kaidah ini membahas tentang pelaksanaan ibadah fardlu yang pada awal ataupun di tengah-tengah pelaksanaannya terjadi hal-hal yang merusak shalat yang menjadikannya tidak dapat dinilai sebagai fardlu lagi.secara otomatis dengan melakukan hal semacam ini akan merusak kefardluan tersebut, dalam hal ini, bahwa ada perbedaan dalam mengunggulkan dua pendapat yang ada. Di antaranya furu’nya ialah : Apabila orang melakukan shalat fardlu kemudian karena untuk dapat mengikuti shalat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka shalatnya sah dan menjadi shalat sunnah.
Apabila dalam melakukan shalat fardlu tadi dia sudah tahu bahwa aka nada shalat jamaah, atau kalau dia membatalkannya itu, kemudian dia menukar fardlu dengan fardlu yang lain, atau untuk berpindah kepada shalat sunnah dengan tanpa sebab dan sebagainya.
Kaidah ke 4

Apakah pelaksanaan nadzar dijalankan seperti sesuatu yang wajib atau ja’iz? Ada dua pendapat.
Di antara furu’ yang berkenan dengan kaidah ini, ialah ;
Nadzar shalat harus dilaksanakan seperti melaksanakan shalat wajib, sehingga harus berdiri kalau mampu, demikian juga harus berniat waktu masih malam kalau berpuasa dan harus cukup umur dan tidak cacatkalau qurban.
Nadzar puasa hari tertentu dapat dilaksanakan dengan cara tidak seperti dalam melakukan puasa ramadlan yang berhubungan dengan niat yan wajibnya membayar kafarat kalau mengadakan hubungan deksuil diwaktu siang, sedangkan shalat dua rakaat dilaksanakan dengan cara melaksanakan shalat empat rakaat satu malam, baik dengan dua tasyahud atau satu tasyahud.
Kaidah ke 5

Yang menjadi pertimbangan utama dalam akad, lafadznya ataukah maknanya? Terjadi khilaf.
Ada beberapa perbedaan pendapat.
Qawl awwal menamai yang menjadi pertimbangan utama dalam akad adalah lafadnya.
Termasuk dari furu’ kaidah ini ialah:
Sedangkan qawl tsani menamai yang menjadi pertimbangan utama dalam akad adalah maknanya.
Contoh : Apabila zaid memberi uang kepada Umar dengan syarat agar umar memberi sarung pada Zaid. Ini menurut qawl awwal akadnya menjadi akad hibbah sedangkan menurut qawl tsani aqadnya menjadi aqad bay’.
Kaidah ke 6

Barang pinjaman yang digadaikan, apakah yang lebih dominan padanya hukum dlaman(jaminan) atau hukum ‘ariyah (pinjaman)? Terdapat dua pandangan.
Dua transaksi pada satu obyek dapat mempengaruhi penentuan status manakah yang lebih dominan baginya. Apakah ia akan dilihat sebagai barang pinjaman yang harus diganti rugi, jika terdi kerusakan, ataukah sebagai barang gadaian. Kalau barang tersebut dianggap sebagai barang pinjaman maka boleh/dapat diminta kembali, terapi kalau sebagai barang jaminan , tidak dapat diminta kembali, inilah yang lebih sah.
Apabila barang rusak ditangan pemberi gadai, maka yang menggadaikan yang harus menanggung, karena sebagai barang pinjaman.
Kaidah ke 7

Apakah setatus hiwalah adalah bay’ atau istifa’ (memenuhi hak orang lain)? Terjadi perbedaan pendapat.
Dalam menentukan esensi hiwalah ada banyak perbedaan; dalam satu tempo ia lebih cenderung bersetatus bay’, dan pada sisi yang lain ditentukan dengan istifa’. Apabila ada orang yang membeli barang dengan harga tertentu, kemudian penjual memindahkan pembayaran barang tersebut kepada orang lain kemudian terjadi pembeli mengembalikan barang karena ada cacatnya, maka kalau dianggap sebagai istifa’ tidak boleh dikembalikan, tetapi kalau sebagai jual beli boleh barang dikembalikan.
Kaidah ke 8

Apakah pembahasan hutang (ibra’) adalh pengguguran hutang ataukah pemberian milik terhadap hutang? Terdapat dua qawl.
Pembebasan hutang yang tidak diketahui jumlahnya oleh orang yang membebaskan, maka disini yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki, tidak sah pengguguran.
Sedangkan kalau pemberi pembebasan tahu jumlah hutang, maka yang lebih sah adalah isqot (pengguguran).
Kaidah ke 9

Apakah iqalah termasuk pembatalan jual beli atau jual beli kembali? Terdapat dua qawl.
Membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak menjadi muslim dan penjual menghendaki iqolah.
Kalau iqolah itu merupakan jual beli , tidak sah iqolah. Tetapi kalau iqolah itu dianggap sebagai pembatalan jual beli, maka sah seperti kalau mengembalikan barang pembelian karena ada cacat.
Kalau iqolah itu dianggap sebagai fasakh, maka tidak perlu ijab Kabul, sedangkan kalau dianggap sebagai bay’ maka harus ada ijab Kabul.

Kaidah ke 10

Maskawin yang telah dinyatakan dalam akad sebelum diterima oleh istri, apakah dijamin oleh suami berdasarkan akad atau dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri? Terdapat dua pandangan.
Menurut qawl ashah tidak boleh menjual mahar sebelum diserahkan kepada istri, berdasar bahwa hal itu adalah dlaman al aqd. Sedangkan menurut pendapat yang kedua dinyatakan shah, karena berdasar pada dlaman al yad.
Kaidah ke 11

Apakah talak raj’I dapat memutus ikatan pernikahan atau tidak? Terdapat dua pendapat.
Seandainya suami mempergauli bekas istri masih dalam iddah, kemudian baru merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang mengatakan bahwa talak raj’I adalah memutuskan pernikahan.
Kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikannya menurut pendapat yang lebih sah, tepi menurut pendapat kedua, bolem memandikan seperti masih sebagai istri.
Kaidah ke 12

Apakah dzihar ebih menyerupai talak atau sumpah?
Apabila seorang suami mendzihar kepada empat istrinya sekaligus dengan satu pernyataan; “kalian semua bagiku seperti punggung ibuku”. Dengan ucapannya ini, menurut qawl jadid ia wajib membayar empat kafarah, Karena lebih diserupakan dengan thalak.
Dzihar yang dibatasi dengan waktu, menurut qawl ashah tetap sah sebagaimana sumpah. Tetapi kalau disamakan dengan thalak, tidak sah.
Kaidah ke 13

Apakah fardlu kifayah berubah menjadi fardlu ‘ayn ketika telah dikerjakan atau tidak? Terdapat khilaf.
Pendapat yang lebih sah, shalat jenazah apabila seseorang sudah mulai mengerjakannya, maka haram baginya untuk meninggalkannya. Menurut Imam Ghozali, yang lebih soheh selain shalat jenazah dan jihad maka fardlu kifayah tetap fardlu, walaupun sudah dimulai mengerjakannya.
Kaidah ke 14

Sesuatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti yang tidak hilang ataukah seperti yang tidak kembali (barang baru).
Wanita yang telah ditalak sebelum dipergauli, hilang pemilikannya atas shodaq. Kalau suaminya kembali, maka kembali pula hak pemilikannya terhadap shodaq seperti apa adanya shodaq semula.
Harta yang pada akhir tahun harus dizakati kemudian hilang di tengah tahun, dan kemudian kembali, maka tetap pada akhir tahun harus di zakati, seperti tidak pernah hilang.
Kaidah ke 15

Hal yang dijadikan tolok ukur peristiwa, apakah waktu yang sedang berlangsung ataukah waktu yang akan dating? Terjadi khilaf.
Apabila seseorang bersumpah benar-benar akan memakan sepotong roti besok paginya, tetapi sebelum dating waktunya dia telah menghancurkan roti tersebut.
Adakah dia dihukumi melanggar sumpahnya pada waktu itu, ataukah menunggu setelah datang waktu paginya?
Dua pendapat ini yang lebih sah adalah pendapat yang kedua.
Kaidah ke 16

Ketika sifat khusus dari suatu hal dihukumi batal, apakah karakter umumnya masih berlaku? Terdapat khilaf.
Ketika seseorang melakukan ihram haji pada waktu selain bulan haji, maka menurut qawl ashah hajinya batal dan menurut pokok keumumannya sebagai ihram masih tetap ada, sedangkan jika ia melakukan umrah, amka umrahnya sah. Ketetapan itu karena memandang ihram secara umum.
Kaidah ke 17

Apakah janin digolongkan sebagai sesuatu yang diketahui, atau tidak? Terjadi khilaf.
Menjual binatang yang bunting tidak dengan anak yang dikandungnya. Menurut pendapat yang ebih kuat tidak sah, karena yang dikandung adalah sesuatu yang tidak diketahui, sebab sesuatu yang tidak diketahui kemudian dikecualikan daripadanya dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka menjadilah yang diketahui menjadi tidak diketahui.


Kaidah ke 18

Apakah sesuatu yang jarang terjadi dihukumi sesuai dengan jenisnya, atau memiliki hukum sendiri? Terjadi khilaf di dalamnya.
Menyentuh alat kelamin laki-laki yang sudah tetpotong, apakah masih membatalkan wudlu atau tidak?. Menurut qawl ashah masih dapat membatalkan, sebab walaupun telah terputus namun nama dzakar tidak terlepas dari potongan itu. Dengan demikian potongan itu masih termasuk jenis dzakar. Sehingga hukumnya mengikuti jenis dzakar yang belum terpotong. Sementara pembanding qawl ashah menyatakan tidak membatalkan, karena dengan terputusnya dzakar, maka ia sudah dapat dikatakan sebagai dzakar yang tersendiri, bukan termasuk jenis dzakar umum.
Kaidah ke 19

Apakah orang yang mampu meraih keyakinan diperkanankan berijtihad dan mengambil prasangka yang kuat (zhan)? Terjadi khilaf.
Orang mempunyai dua bejana air, yang satu najis dan yang satu lagi suci. Dia dapat dengan yaqin untuk memperoleh air yang suci karena dia ditengah laut misalnya.
Dalam hal ini dia masih diizinkan untuk berijtihad, meneliti berdasarkan dhon mana dari dua bejana tadi yang suci.
Demikian juga orang m,empunyai dua baju, yang satu suci, yang satu najis.
Dia boleh meneliti mana yang suci untuk dipergunakan, walaupun dia dapat berganti dengan pakaiannya yang lain yang jelas suci.


Kaidah ke 20

Apakah penghalang baru keberadaannya dianggap sebagai suatu yang menyertai? Terjadi khilaf.
Penghalang adalah sesuatu yang dengan kemunculannya dalam pandangan syara’ dapat menghalangi wujudnya hukum tertentu yang disebut mani’ li al hukmi atau dapat menjadikan hukum sebab akibat dianggap tidak berlaku yang dikenal dengan mani’ li al sabab.
Contoh: Menambah air sehingga menjadi banyak terhadap air yang musta’mal; sembuhnya orang yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan shalat; murtadnya orang yang sedang ihram; niat ma’shiat dalam bepergian taat, maka: Hukumnya air menjadi suci dan dapat mensucikan; shalatnya batal; demikian juga ihramnya, dan tidak ada rukhshoh bagi musafir yang demikian.









PENUTUP
Daftar Pustaka:
Abdul Majid, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid fiqhiyyah dalam perspektif fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Bisyri Mushthafa, Tarjamah Nadzam Al-Faraidul Bahiyyah fi Al-Qawaid Al Fiqhiyyah, Rembang: Menara Kudus.
Maimun Zubair, Formulasi Nalar fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Kediri; Purna Siswa III Aliyah 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar