Rabu, 09 Desember 2009

manhaj al adabi al ijtima'i dan manhaj taqarrub baina al madzahib

PENDAHULUAN
Alquran al-karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluq individu ataupun sebagai makhluq sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Alquran al-karim dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadits-hadits Nabi muhammad SAW , dan ada yang di arahkan pada kaum muslimin sendiri yang disebut ijtihad.
Begitu pula halnya tafsir Alquran ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Alquran yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama.
Bila seorang mahasiswa membaca literatur-literatur tentang ilmu tafsir, pasti akan menemukan beberapa istilah, antara lain manhaj, thariqah, ittijah, lawn, dsb. Para ahli berbeda-beda dalam memaknakan istilah-istilah itu. Makalah ini secara khusus membahas tentang manhaj, dan lebih spesifik lagi membahas tentang al-Manhaj Al-Adabi Al-Ijtima’i dan al-Manhaj al-Taqarrub Baina al-Madzahib dalam sejarah pemikiran tafsir.












PEMBAHASAN
A.Pengertian Manhaj.
Manhaj adalah langkah yang ditempuh seorang mufassir dalam menjelaskan tentang makna, menyerap makna dari teks, mengaitkan satu sama lain, melengkapi dengan atsar-atsar yang berkaitan dengan masalah itu, dan menyampaikan hukum-hukum, nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama yang terdapat di dalamnya, sesuai dengan kecenderungan, mazhab, pengetahuan dan kepribadian mufassir.
B.Perkembangan Metode Tafsir
Manhaj atau metode tafsir lahir sejalan dengan lahirnnya tafsir itu sendiri, akan tetapi pada permulaan islam tadwin ilmu-ilmu islam belum dikenal secara luas, termasuk metode tafsir, apalagi pengkajinyan secara ilmiah. Oleh karena itu dalam kitab-kitab salaf tidak dijumpai tentang ilmu yang membahas metodologi secara khusus. Pada generasi pertama, umumnya, mereka menguasai ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Alquran seperti ilmu Bahasa Arab, Balaghat, Sastra dll. Pada masa itu para sahabat menyaksikan secara langsung turunnya wahyu kepada rasulullah saw. sehingga membantu mereka dalam menafsirkan Alquran secara benar dan utuh sehingga mereka tidak memerlukan metode khusus dalam menafsirkan Alquran. Hal ini tidak berarti mereka menafsirkan Alquran tanpa metode justru metode yang mereka terapkan menjadi pedoman bagi para mufassir sesudahnya.
C.Macam-Macam Manhaj (Metode) Penafsiran
Dari segi perkembangan tafsir, seperti halnya metode tafsir, maka tafsir itu berkembang menurut aliran atau corak tafsir yang berkembang itu yang dapat kita klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu:
1.Aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i)
2.Aliran/corak tafsir klasik
Tapi disini kami hanya membahas tentang Aliran/corak fafsir modern/kontemporer, yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah;
D.Manhaj Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan memiliki corak tersendiri yang betul-betul baru dari dunia tafsir.
Corak tafsir ini berusaha memahami nash-nash Alquran dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan Alquran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Alquran tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafsiran berusaha menghubungkan nash-nash Alquran yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Alquran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. di samping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, lalu mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Alquran sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia.
- Metode al-Adabi al-Ijtima’i Dari Segi Keindahan (Balaghah) Bahasa Dan Kemu’jizatan Alquran.
Metode al-Adabi al-Ijtima’i dalam segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemu’jizatan Alquran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Alquran, berupaya mengungkapkan betapa Alquran itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Alquran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Alquran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Alquran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut.
Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu:
1. Hubungan fungsional
2. Hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama
Hubungan fungsional adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan. Hubungan sosial dalam masyarakat, ini adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya. Permasalahan yang dihadapi di sini bukan lagi pertentangan antara manusia dengan alam tetapi berupa pertentangan sosial dan benturan kepentingan atau kemaslahatan antar sesama, problematika sosial dalam masyarakat memang sangat kompleks beragam dan dalam bentuk yang bermacam-macam. Akan tetapi pada hakikatnya satu subtansial yang berulang-ulang dan sangat umum, yakni pertentangan antara golongan lemah dan golongan kuat. semuanya bersumber pada antara kesenjangan mereka yang ada di posisi golongan kuat dan yang di posisi golongan lemah. Bahkan sering kali permasalahan itu timbul dari satu golongan yaitu golongan elit atas.
Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufassir, dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan Alquran kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama’ professional. Masyarakat awam maupun ulama’, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yaqin, bahwa mereka seharusnya membiarkan Alquran berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa social kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Alquran dari:
1). Segi ketelitian redaksinya
2). Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Alquran, eksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan
3). Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Dan Kitab Tafsir Corak al-Adabi al-Ijtima’i
Menganai penafsiran Alquran kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qurani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara Qur’an dan sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih menegaskan I’jaz ilmi Alquran. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX dan XX.
Seperti kitab-kitab tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini, antara lain:
- Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H)
- Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M)
- Tafsir Alquran Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut
- Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Literatur Tafsir Alquran Di Indonesia Dari Segi Metode, Nuansa dan Pendekatan tafsir.
- Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Alquran, Karya Jalaluddin Rahmat
- Tafsir Juz ‘amma Disertai Asbab al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i
- Tafsir Al-Mishbah, kesan dan keserasian Alquran (belum selesai), alquran Al-Karim, Tafsir atas surat-surat pendek Berdasarkan urutan Turunnya Wahyu & Wawasan Alquran, karya M. Quraish Shihab
- Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Alquran, karya Mahasin
- Konsep Kufr Dalam Alquran, karya Harifudin Cawidu
- Konsep Perbuatan Manusia Menurut Alquran, Karya Jalaludin Rahman
- Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran, Karya Musa Asy’ari
- Jiwa Dalam Alquran, karya Achmad Mubarok Dll.
Contoh Al-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i
Pembahasan menyangkut masalah di atas merupakan metode al-adabi al-Ijtima’i. ini dijumpai dalam usaha mengembangkan penafsiran satu ayat dengan hokum-hukum kemasyarakatan dan pembangunan dunia. Sebagai contoh: antara lain, dalam firman Allah SWT;
•     •      
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.
Lafazh al-Qardl berarti harta yang diserahkan dengan tatanan dikembalikan (pijaman). Ketika allah diberikan atribut sifat karam, artinya kebaikan dan pemberian nikmat-Nya betul-betul tampak. Sementara ketika sifat karam disematkan kepada Manusia, itu berarti nama dari pekerjaan dan akhlak yang terpuju yang tampak pada dirinya. Tidak bias seseorang dianggap memilki sifat karam sebelum akhlak dan perbuatannyaterpuji. Dan setiap hal yang terpuji berdasarkan setandar masing-masing dianggap memiliki sifat karam.Allah SWT. Menamai peminjaman sebagai pembelanjaan harta di jalan Allah dan bentuk-bentuk kebaikan lain untuk mendapatkan ridlonya. Dan qardl sebagaimana disebutkan di muka adalah sesuatu yang diberikan dengan syarat dikembalikan. Itu menunjukkan bahwa
Allah akan mengembalikan itu pada orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Kemudian dengan sangat tegas, Allah menyatakan bahwa ia akan memberikan pahala yang banyak dan itu masih akan dilipatgandakan. Hanya ayat inilah yang betul-betul secara jelas memberikan dorongan danseruan untuk bersedekah dan berbuat baik. Dan Allah maha tahu tentang hal-ikhwal kamu, baik yang lahir maupun yang batin. Lalu dia member balasan kepadamu atas itu semua. Dan oleh karena kemahatahuan Allah SWT. Terhadap kamu maka dia mengumpulkan amal dari orang yang membelanjakan harta dan berperang sebelum terbukanya kota Makkah, atas orang yang membelanjakan harta dan berperang sesudah itu. Dan hal itu tak lain karena Allah mengetahui keikhlasan golongan yang pertama dalam menafkahkan hartanya di masa kesusahan dan kesempitan.
Abu bakar al-siddiq adalah orang yang mempunyai bagian terbesar dari ayat ini, karena dialah penghulu dari orang-orang yang melaksanakan ayat ini. Sebab dialah yang menafkahkan hartanya seluruhnya dengan tujuan ingin mendapatkan ridla Allah. Sedang selain dia tidak seorangpun yang mempunyai kenikmatan yang menyamai dia. Kemudian Allah SWT. Menekankan agar membelanjakan harta di jalan Allah, dan mengecam orang yang tidak mau melaksanakannya. Firman Allah:
•     •   
Aritnya:”Siapakah yang mau membelanjakan hartanya di jalan Allah, Allah akan melipatgandakan untuk pinjamannya itu”. Yakni Allah menjadikan untuknya satu kebaikan menjadi 700. Dan selain itu, dia memperoleh pula balasan yang menyenangkan karena memperoleh surga.
Ayat itu disusun dalam bentuk percontohan. Dan itu sangat berpengaruh pada kejiwaan disbanding bentuk-bentuk ungkapan yang lainyang berisi anjuran sedekah. Disebutkan bahwa seorang yahudi berkomentar terhadap turunnya ayat di atas.” Tuhannya Muhammad tidak meminta pinjaman sampai dia dalam kondisi fakir.” Lalu Abu Bakar menempeleng si yahudi tadi. Dan kemudian Yahudi mengadu kepada Rasulullah saw. Atas insiden yang dilakukan Abu Bakar terhadapnya. Nabi saw. Berkata pada Abu Bakar,”Maksudmu apa dengan perbuatanmu itu?”, Abu Bakar Menjawab: “Saya tak dapat menahan diri untuk menghajarnya. Si yahudi tadi tidak mengucapkan perkataannya itu selain karena meremehkan, ketololan dan kebodohannya.

D.Manhaj Al Tafsir Al-farqu bain al-Madzahib.
Umat islam,sepeninggal Rasulullah SAW, telah berpecah belah menjadi berpuluh-puluh firqah.masing-masing firqah memahami dan menafsirkan alquran menurut firqah mereka mereka sendiri sehingga banyak menimbulkan perbedaan penafsiran alqur’an.Hal ini juga berpengaruh dalam dunia ilmu tafsir,dengan adanya firqah-firqah tersebut,tumbuh dan berkembang aliran tafsir.Dalam tafsir madzhab ahlu sunnah,yang menonjol adalah akidah ahlusunnahnya,Madzhab Mu’tazilah yang ditonjolkan adalah akidah mu’tazilahnya dan didalam madzhab syiah yang ditonjolkan adalah akidah syiahnya.Di antara mereka ada yang mempertahankan kebenaran kendati mengalami kesulitan,ada juga yang imbang dan ada pula yang berlebihan. Kitab Tafsir wa alMufassirun,adalah salah satu kitab yang menggunakan manhaj alfarqu bainal Madzahib karna di dalamnya banyak disajikan berbagai macam tafsir,perbedaan dan corak tafsirnya dari madzhab yang berbeda.
Madzhab-madzhab tersebut antara lain;
1.Madzhab Syiah
Pengertian
Syi’ah secara etimolgi bahasa berasal dari kata sya-ya’a( ) yang berarti mengikuti Secara istilah syiah adalah golongan yang mencintai Imam Ali dan keluarganya.Sebagian di antara mereka ada yang fanatik terhadap syi’ahnya sehingga mencapai pada tingkat kekufuran dan di antara mereka ada yang sedang-sedang saja,hingga mereka tidak jatuh dalam keufuran,hanya saja mereka tetap membenci ahlu sunnah .
Madzhab syiah merupakan madzhab pertama dalam sejarah islam.Madzhab ini muncul pada zaman khalifah Utsman ra dan meluas pengaruhnya pada zaman Khalifah Ali ra.Kaum syi’ah sepakat bahwa jabatan kehalihfahan merupakan hak Imam Ali ra dan keturunannya.Akan tetapi timbul masalah ketika Imam Husain ra terbunuh,kaum syiah berbeda pendapat dalam menentukan pengganti Imam Husain yang telah terbunuh.
Golongan pertama berpendapat bahwa khilafah adalah hak Imam Muhammad Al hanafiah.
Golongan kedua berpendapat bahwa khilafah adalah hak anak keturunan imam Hasan.
Golongan ketiga berpendapat bahwa Khilafah adalah hak anak keturunan imam Husain.
Perbedaan pendapat di antara kaum syiah mengakibatkan munculnya firqah-firqah baru dalam madzhab syiah.Madzhab-madzhab tersebut antar lain;Zaidiyah,Itsna Asyar dan ismailiyah.kemunculan madzhab-madzhab tersebut juga mempengaruhi perkembangan ilmu tafsir.
Tafsir Imamiyah Itsna Asyar
Pemikiran-pemikiran tafsir syiah istna asyar banyak dipengaruhi oleh paham teoleogi mu’tazilah dan kalaupun ada perbedaan itu hanya sedikit sekali.Tokoh-tokoh dalam tafsir ini adalah Imam Syarif Murtadho,Abu Ali al thibrisi.Mereka banyak mencantumkan pendapat-pendapat mu’tazilah dalam tafsir-tafsir mereka dan bahkan imam Syarif Murtadha berpendapat dalam tafsirnya bahwa Imam Ali sebagai pemimpin kaum mu’tazilah.
Contoh Tafsir Syiah itsna Asyar
1.QS.Al-naziat:6-7
      
Artinya:” (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang Alam”,
Artinya:” Tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua.”
Menurut pemahaman mereka bahwa lafadz”rajifah”adalah husain sedangkan “radifah” adalah imam Ali ra.
2.QS. AlMaidah:55
          •   
Artinya:” Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah”.
Mereka memahami bahwa”orang-orang yang beriman”adalah orang-orang yang beriman kepada imam-imam dua belas.
3.QS.Al-nahl:51
               
Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; Sesungguhnya dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".
Kaum syiah itsna asyar berpendapat bahwa Janganlah engkau menjadikan dua imam karna dia adlah imam satu-satunya

4.QS.Al-Zumar:69
       •       
Artinya:” Dan terang benderanglah bumi (padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi Keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan.
Mereka menafsirkan”nurnya”adalah nur Imam Ali ra
5.QS.Al-Naba:40
               
Artinya:”. Sesungguhnya kami Telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang Telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah".
Merekamenafsirkan dengan menjadi kelompok abu turab.
2.Madzhab Mu’tazilah
Pengertian
Lafadz Mu’tazilah berasal dari kata dasar i’tazala( ) yang bermakna mengasingkan diri .Di antara tafsir mu’tazilah yang terkenal adalah tafsir alkasyaf karangan Syaikh Mahmud ibnu Umar ibnu muhammad Al Zamakhsyari,seorang ahli nahwu dan bahasa yang menganut paham mu’tazilah.lahir pada tahun 467 H dan wafat pada tahun 538 H.Kitab tafsirnya merupakan sebaik-baik kitab tafsir dari segi balaghahnya walaupun di dalamnya terdapat banyak paham-paham mu’tazilah.Kebanyakan tafsir dalam bidang balaghah berpedoman pada kitab ini.
Karakteristik Tafsir Al Kasysyaf
Keistimewaan kitab ini adalah isinya tidak berbelit-belit dan sederhana.Didalamnya tidak terdapat kisah-kisah israiliyyat.Dalam menerangkan makna-makna alqur’an, tafsir ini berpedoman bahasa arab dan uslub-uslubnya.Kitab ini juga sangat memperhatikan ilmu bayan dan ma’ani untuk menerangkan bahwa Alqur’an adalah kalam ilahi yang tidak dapat ditandingi oleh manusia.Dalam menerangkan sesuatu kitab ini menggunakan metode tanya jawab.Seringkali pertanyaan dimulai dengan perkataan:”jika anda mengatakan begini ,maka saya mengatakan begitu.
3.Madzhab Sunni
Di antara tafsir dari kalangan madzahab sunni yang terkenal adalah tafsir Al-dur Al-mantsur,yang dikarang oleh Imam Suyuthi yaitu kitab Addurul Mantsur.Kitab Durul Mantsur adalah kitab yang menghimpun tafsir bilma’tsur,didalamnya tidak terdapat pendapat-pendapat pribadi imam Sayuthi sendiri.Dia tidak mengatakan kalimat yang menjadi penafisran dan jumlah yang memberi syarah,tetapi ia konsisten agar tafsirnya merupakan kumpulan dari hadits-hadits rasulullah dalam ayat-ayat alQur’an dan dalam serangkaian riwayat dari para sahabat ra.Dalam himpunannya beliau tidak berpijak pada kesahihan hadits dan riwayat.
Contoh Tafsir Imam Sayuthi
Allah berfirman”Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami minta pertolongan”
Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abi Hatim dari Ibni Abbas,adalah firman”Iyyaka na’budu”,yakni hanya kepadamu kami bertauhid dn kami mendambaMu.Waiyyaka Nastain,yakni dalam berbakti kepadaMu dan atas semua perkara kami.Imam Waqi’ dan AL-Ghurbani dai ibnu Ruzain berkata:”Aku mendengar Ali membaca huruf ini dan dia adalah orang arab dan Quraisy yang fasih.”Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain” dengan membaca rafa’ dua fiil.Abu Qasim Al baghawi sepakat dengan AlMawardi mengenai sahabat dalam kitab Dalail dari Anas bin Malik dari Abi Tholhah ia berkata”Kami bersama Rasulullah saw dalam satu peperangan kami bertemu musuh,aku mendengar beliau bersabda,’Ya(malilki yaumiddin)Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,’Dia berkata,’Aku melihat lelaki yang sempoyongan dipukul para malaikat dari depan dan dari belakang.
4.Madzhab Bathiniyah
Golongan bathiniah,ialah mereka yang tidak mau berpegang kepada makna yang zahir dari alqur’an.Mereka mengatakan bahwasannya alqur’an mempunyai makna yang zahir dan yang bathin.Maka yang dimaksud dari makna-makna itu adalah makna-makna yang batin.
Yang termasuk ke dalam golongan tafsir bathiniah adalah
a.Ismailiyah,nama ini dinisbatkan kepada Ismail putra tertua Imam Ja’far shadiq.
b.Qirmithah,nama ini dinisbatkan kepada Qirmith sebuah kampung tengah,yang menurut
mereka dari sanalah pemimpin mereka yang bernama hamdan.
c.Sab’iyyah,nisbat dari kata Al Sab’ah karna mereka berkeyakinan setiap tujuh orang dari
mereka harus ada imam yang harus mereka ikuti.
d.Alhurmiyyah,dari kata Al hurmah.disebut demikian karna mereka membolehkan hal-hal
yang haram dan keji.
Contoh tafsir bathiniyah adalah
a.QS.Al-Insyiqaq:19
•    
Artinya:” Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”.
Mereka menafsirkan bahwa ayat tersebut menngisyarat kan agar meninggalkan wasiat para nabi lalu mengikuti para imam sesudah mereka.

b.QS.Yunus;15
                             •              
Artinya:”Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia. Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".
Mereka menafsirkan bahwa”atau tukarkanlah..,disitu dengan”atau gantikanlah Ali”.padahal disitu jelas nama Ali tidak disebut.
.5.Madzhab Tasawuf
Dalam madzhab ini,tafsir mereka dikenal dengan istilah tafsir Isyari.Tafsir al-isyari adalah ta’wil alqur’an yang berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat,karna isyarat-isyarat rahasia yang hanya diketahui oleh ulama yang marifat kepada Allah.Dalam tafsir al-isyari,seorang mufasiir melihat makna lain selain makna lahir yang terkandung oleh ayat alqur’an namun makna lain itu tidak tampak kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah untuk dan diterangkn mata hatinya.Ilmu tersebut bukanlah ilmu alkasbi yang bisa didapat dengan cara membaca dan menghafal akan tetapi ilmu tersebut merupakan ilmu yang diberikan Allah SWT karna pengaruh taqwa,sebagaimana firman Allah
QS.AlBaqara:282Artinya:”takutlah kamu kepada Allah.Allah akan mengajarkan kepadamu.Dan Allah maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu”.
Syaray-syarat tafsir al-isyari
1.Tidak meniadakan makna lahir ayat alqur’an.
2.Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan murad(masud sebenarnya)satu-satunya,tanpa ada makna lahir.
3.hendaknya suatu tawil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai lafal.
4.tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.
5.tidak bertentangan dengan akal maupun syara’.
Pendapat para Ulama tentang tafsir Isyari
Di antaara para ulama ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.ada yang menganggap tafsir ini sebagai inti dari kaum irfan dan ada pula yang menilainya sebagai kesesatan.Dapat dipahami bahwa jika penafsiran alquran memperturutkan hawa nafsu maka itu berarti perbuatan Zindiq.Akan tetapi jika penafsiran mengisyaratkan bahwa kalam Allah tidak bisa dijangkau oleh akal manusia,maka yang demikian itu merupakan kesempurnaan iman dan kema’rifatan.Sebagaimana Ibnu Abbas telah berkata bahwa sesungguhnya alqur’an itu mengandung banyak ancanaman dan janji,meliputi yang lahir dan batin.Maka barangsiapa memasukinya dengan hati-hati,akan selamat dan barang siapa yang memasukinya dengan ceroboh akan tersesat.Ia memuat beberapa mitsal dan kabar,halal dan haram,naasikh dan mansukh,muhkam dan mutsyabih,zahir dan batin.tanyakan ia kepada para ulama,jangan tanyakan ia kepada orang-orang bodoh.
Contoh Tafsir Isyari
1.QS.Thaha:24
     
Artinya:”. Pergilah kepada Fir'aun; Sesungguhnya ia Telah melampaui batas".
Menurut penafsiran mereka bahwa kata itu mengisyaratkan hatinya.oleh karnanya dia mengatakan bahwa”hati”itulah yang dimaksud dengan kata fir’aun,yaitu ia durhaka kepada tiap manusia.
2.QS.Al –Qashash:31
       •            •   
Artinya:” Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Se- sungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman”.

Kata tongkat Dikalangan mereka ditafsirkan dengan sesuatu hal selain Allah.Artinya segala sesuatu yang ia pegangi dan ia sandari selain Allah seyogyanya dibuang
Tokoh dan Kitabnya
Ibnu Arabi merupakan tokoh yang tersohor dalam dunia tafsir isyari.Banyak kalangan yang mengagumi kepakaran beliau dalam tasawuf maupun dunia ilmu pengetahuan dan
Banyak juga yang menganggapnya sebagai zindiq.Kitabnya yang terkenal adalah kitab Al-Fushush.Sebagai contoh penafsiran beliau adalah tafsiran beliau berkenaan dengan nabi Idris dalam QS.maryam:57”Dan kami telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi”
Beliau menafsirkan bahwa tempat yang tinggi adalah tempat yang dikelilingi oleh rotasi alam raya,yaitu orbit matahari.di situlah tempat tinggal ruhani nabi Idris.
Kesimpulan
Dalam manhaj al-Tafsir al-Adabi al-ijtima’i, adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan ketelitian ungkapa-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam manhaj ini fokus kajian adalah seputar norma-norma sosial. Norma-norma ini yang kemudian menjelma menjadi ketentuan umum atau sunnatullah yang akan dialami oleh siapapun dan dimanapun. Ketentuan-ketentuan(sunnatullah) tidak akan berubah meskipun waktu dan tempat berbeda. dari teks-teks alqur’an akan banyak diperoleh penjelasan deskriptif tentang faktor pendukung kemajuan suatu bangsa.
Mengenai tafsir alfarqu bainal madzahib banyak ditemukan dalam kitab tafsir wal mufassirun.tafsir ini secara khusus membahas tentang perbedaan dari berbagai macam tafsir yang berasal dari berbagai madzhab.
Madzhab pertama yang disajikan adalah mazhab syiah dan cabang-cabangnya.Di sini Al dzahabi menyajikan sejarah awal kemunculan Syiah yang kemudian pecah menjadi banyak firqah.Madzhab kedua adalah madzhab mu’tazialah.tafsir yang terkenal dalam madzhab ini adalah tafsir alkasysyaf karya Syaikh AlZamakhsyari.Tafsir ini banyak mengedepankan aspek balaghah dan keindahan bahasa.Madzhab selanjutnya adalah madzhab sunni yang kemunculannya hadir setelah paham mu’tazilah meredup.Tafsir ini lebih berhati-hati dan banyak mengedepankan pendapat sahabat dan tabiin seperti yang tercantum dalam tafsir Adurrul mansur karya Imam Suyuthi.Madzhab beriutnya adalah madzab batiniyah dan mazhhab tasawuf,kedua madzhab ini tidak berbeda jauh hanya saja kalau batiniah banyak melenceng dari Jalur islam sedangkan Tasauf adalah madzhab yang banyak menafsirkan ayat dengan ilmu kasyaf.





Daftar Pustaka:
Al Dzahabi,Muhamad Husain,Al Tafsir wa Al Mufassirun,Kairo:Dar alqahirah,1976
Al-Farmawi,Abdul hayy Metode Tafsir Mawdhu’iy; Suatu pengantar, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994
Bisri Adib,Kamus AlBisri,Surabaya:Pustaka Progresif,1999
Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran Alqur’an, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset
Zufran Rahman, Studi Tentang Sejarah perkembangan Tafsir Alquran al-Karim,Terj.
Qishshat al-Tafsir, Jakarta; Kalam Mulia,1999.

M. Quraish Shihab Dkk, Sejarah Dan Ulum Alquran, Jakarta: Pustaka firdaus, 1999.
Al Qaththan,Manna,Mabahis fi Ulum AlQur’an,Jakarta:Pustaka kautsar,2004.
Al Shadiq,Ayatullah Muhammad Bagir, Madrasatil Qur’aniyah,Jakarta: Risalah,1999.
Al Shobuni,Muhammad Ali,Al Tibyan fi Al ulum AlQur’an,jakarta:Pustaka Amani,2001
M. Amin Abdullah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Bandung: Teraju, 2002.
Syihab,M. Quraish , Rasionalitas Al-qur’an Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar, Jakarta:
Lentera Hati 2006.
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Bahrun abu Bakar, Tafsir Al-Maraghi,terj. Semarang: Toha Putra, 1993, Juz XXVIII.

Senin, 16 November 2009

dalalah lafadz dan bukan lafadz menurut hanafiyyah

I. Pendahuluan
Satu nash syari’at atau teks undang-undang kadang-kadang dapat memberiakan pengertian yang bermacam-macam karena dilihat dari jalan-jalan yang di pergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (thuruq-dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi, juga dengan mencari apa yang tersirat di balik susunan kalimat itu, mencari ‘illat yang menjadi sebab di tetapkan suatu hokum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasional. Jalan-jalan tersebut dinamai dalalat al ibarat, dalalat al isyarah, dalalat al dalalah dan dalalat al iqtidha’.
Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan-jalan tersebut merupakan “madlul nash” (hasil penunjukan nash) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib di amalkan isinya. Setiap orang yang dikenakan nash atau undang-undang dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash atau undang-undang dengan jalan mana saja pengertian itu diperoleh.
Pengertian yang di peroleh dari lafadz-lafadz tersebut disebut dilalah yang dapat ditinjau dari bermacam-macam cara (segi). Hingga satu lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan lantaran segi tinjauan yang berbeda-beda.
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang dalalah lafadz dan dalalah bukan lafadz menurut Hanafiyah . Dengan pengetahuan yang kurang memadai penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, saran dan kritik dari pembaca selalu di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terimakasih.






II. Pembahasan
DALALAH LAFAZH DAN DALALAH BUKAN LAFAZH MENURUT HANAFIYYAH
A. Pengertian
Kata Al-Dalalah jama’nya lafazh dalail adalah:
Yang berarti Suatu yang bisa untuk di jadikan petunjuk.
Menurut bahasa Dalalah adalah kepada maksud tertentu. Dalam ushul fiqih ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjukan suatu lafadz atau petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu.
B. Macam-macam dalalah lafazh menurut hanafiyah
Dalam khazanah literatur ushul fiqih aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalah al-alfazh terhadap hukum dapat di bedakan menjadi empat macam, yaitu dalalah al-‘ibarah, dalalah al- isyarat, dalalah al- nash,dan dalalah al- iqtidha’. Penunjukan nash Al-Qur’an atau hadits terhadap suatu hukum adakalanya dengan medium lafazh dan adakalanya tidak dengan medium lafazh.
1. Dalalah ‘ibarat (petunjuk yang di peroleh dari apa yang tersurat dalam nash).
Dalalah ‘ibarat yang juga disebut “Ibarat nash” ialah Penunjukkan lafazh kepada makna yang segera dapat dipahamkan dan makna itu memang di kehendaki oleh siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli maupun tidak. Maksud asli adalah maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli adalah maksud kedua yang juga dapat di ambil dari nash itu. Hal ini akan lebih jelas bila di perhatikan contoh dalam firman Allah:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja.
Dengan memperhatikan ’barat nash (apa yang tersurat dalamm nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian. Yakni:
a. diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi
b. membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan
c. wajib hanya mengawini seorang wanita saja dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Ketiga ma’na (hukum) tersebut disimpulkan berdasarkan ibarat al-nash, karena memang ketiga ma’na (hukum) itulah yang menjadi alasan munculnya perbincangan (siyaq al-kalam) yang terdapat dalam ayat di atas. Dalam arti semua pengertian tersebut ditunjuk oleh lafazh nash secara jelas, akan tetaapi pengertian yang pertama bukan merupakan maksud yang asli , sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli. Sebab ayat tersebut dikemukakan kepada orang-orang yang khawatir berkhianat terhadap hak milik wanita-wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada dua, tiga, atau empat orang saja. Inilah maksud yang asli dari siyaqul kalam, kemudian maksud yang tidak asli ialah tentang bolehnya mengawini wanita yang di senangi.
2. Dalalat al-Isyarat (petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash)
Dalalat al-Isyarat atau Isyarat al-Nash adalah penunjukan lafazh atas makna (hukum) yang tidak dikehendaki oleh konteks perbincangan yang ada dalam nash, akan tetapi, makna tersebut menjadi kelaziman/keniscayaan bagi hukum yang di kehendaki oleh kontek perbincangan yang terdapat dalam nash. dengan arti makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan, baik menurut rasio, maupun menurut adat kebiasaan dan baik makna itu jelas maupun samar-samar. Dengan kata lain bahwa dalalat al-isyarat itu ialah dalalah lafazh kepada makna iltizami (tidak dapat dipisahkan) yang tidak dimaksud menurut siyaqul kalam. Misalnya dalam firman Allah SWT:

Dan kewajiban ayah untuk memberikan makan dan pakaian kepada ibu-ibu dengan kebaikan.
Ayat ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa nafkah ibu-ibu yang menyusui jika mereka diceraikan di tanggung oleh ayah.
Ini adalah ibarah nash dan dipahami dipahami dari situ,bahwa anak itu nasabnya diikutkan ayah bukan ibu, karena huruf ”laam” untuk mengkhususkan.
Mereka menetapkan dari situ kesendirian ayah dengan nafkahnya dan bahwa anak itu menjadi orang Quraisy jika ayahnya orang Quraisy bukan ibunya dan demikian pula ia menjadi sederajat (kufu) bagi perempuan Quraisy mengikuti ayahnya bukan ibunya. adapun makna isyarat nashnya antara lain:
a). Ayah tidak dapat di sertai orang lain dalam menjalankan kewajibannya memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri bukan putra orang lain.
b). Ayah biarpun dalam keadaan melarat, sedang ibunya dala keadaan mampu misalnya, maka putra tersebut tetap dalam tanggungannya.
c). Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan bolehmengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya termasuk hartanya juga. Pengertian-pengertian yang demikian ini di istimbatkan dari isyarat nash. Dengan demikian ketentuan hukum itu diperoleh dari isyarat al-Nash, bukan dari ibarat al-Nash.
3. Dalalat al-Dalalah atau Dalalat al-Nash
Dalalat al-Nash ialah dalalahnya atas ketetapan hukum hal yang disebut bagi hal yang didiamkan untuk memehami maksud dengan hanya memahami bahasa dan itu ailah yang didiamkan dengan istilah lain dengan qiyas jali (terang), baik maksud yang didiamkan lebih diutamakan dalam hukum daripada yang disebut atau sama dengannya.
Dinamakan dalalat al-Dilalat, adalah karena hukum yang ditetapkannya bukan diambil secara langsung dari madlul lafazh. Oleh karena pemikiran manusia dalam hal ini menjalar dari madlul lafazh kepada ma’na yang lebih umum yang dapat mencakupnya dan mencakup pula yang lain, maka dalalat al-Dalalat ini pada hakikatnya adalah dalalat al-nash. Menjalarnya penikiran ini dapat dapat terjadi pada seseorang ahli bahasa tanpa memerlukan ijtihad atau istinbat. Dan in ilah perbedaan antara dalalat al-dalalah dengan qiyas. Misalnya dalam firman Allah :
Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”.......
Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya mengucapkan ”Ah” kepada kedua orang tua. Bila ucapan”Ah” kepada orang tua saja diharamkan, maka memukul dan mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan. Karena itu larangan terhadap terhadap ucapan ”Ah” secara otomatis juga merupakan larangan terhadap segala bentuk ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Sebab ucapan ”Ah” merupakan bentuk yang paling sederhana yang dapat menyakitkan hati, sehingga segala perkataan dan perbuatan yang lebih menyakitkan, tentu lebih di haramkan. Dalalat ini dapat di pahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan istinbat. Dengan demikian, perbedaan antara dilalat al-Nash dengan qiyas ialah, kalau qiyas titik persamaan (illat) antara hukum yang terkandung dalam nash dengan hukum yang tidak terkandung dalam nash hanya bisa diketahui melalui istinbat, sedang dalalat Al-nash hukum itu dapat diketahui tanpa melalui istinbat. Bahkan terkadang dalalah tersebut dapat langsung diketahui dari suatu lafazh, baik oleh orang yang ahli dan yang tidak ahli.


4. Dalalat al-Iqtidha’ atau Iqtidha’ al-Nash
Dalalat al-Iqtidha’ penunjukan lafazh kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash, akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafazh atau pengertian yang sesuai. Keharusan untuk menyatakan lafazh atau pengertian yang sesuai itu mengandung tiga macam kegunaan.
a). wajib, agar pengerian nash itu benar adanya. Misalnya sabda rasulullah saw :

Diangkat dari ummatku kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksakan orang kepadanya.
Mengangkat kesalahan, kelupaan dan paksaan sekali-kali tidak akan terjadi. Karena ketiga-tiganya adalah perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan. Tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu yang dihapus (diangkat) niscaya bukan perbuatannya, tetapi yang lain. Agar nash tersebut memberi pengertian yang benar hendaknya dibubuhkan suatu lafazh dalam rangkaian kalimatnya. Adapun lafazh yang pantas untuk dibubuhkan dalam rangkaian kalimat tersebut adalah lafazh ”itsm” (dosa) atau ”hukm” (hukum) sebelum lafazh ”al-khata”. Sehingga tersusunlah rangkain kalimat :

Diangkat dari ummatku dosa karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
b). wajib, agar pengertian nash itu benar menurut logika. Misalnya firman Allah :

Dan tanyakanlah negri yang kami tadinya berada disitu...........
Adalah tidak dibenarkan maknanya menurut logika. Sekiranya tidak dibubuhkan perkataan ”ahli” (penduduk) sebelum lafazh ”al-qoryah” (negri). Dengan demikian tersusunlah rangkaian kalimat :
Dan tanyakanlah kepada penduduk negri yang kami tadinya berada disitu.
c). wajib, agar pengertian nash itu benar (sah) menurut syara’. Misalnya seorang berkata kepada kawannya : ” hadiahkanlah bukumu itu kepada si Ahmad dari saya!” Di sini pembicara memberikan kuasa kepada kawannya untuk menghadiahkan buku kepada si Ahmad. Pemberian hadiah dari orang yang memberikan kuasa itu menurut syara’ dianggap tidak sah, kecuali kalau buku itu sudah menjadi milikya. Apabila orang yang diberi kuasa itu menerima kuasa tersebut, maka hal itu berarti bahwa dia telah menyetujui menjual buku dan memindahkan haknya terhadap buku itu kepada orang yang memberikan kuasa.
C. Macam-macam Dalalah Bukan Lafazh Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafi membagi dalalah ghoru lafdzhiyah (bukan mengenai kata) menjadi empat bagian dan di namakan bayan dhorurah (penjelasan darurat).
Ke empat bagian ini semuanya adalah dalalah sukut (diam) dan dinamakan lafdziyah karena mengandung pengertian hukum.
1. Tetapnya suatu hukum akibat dari menetapkan suatu hukum yang berdasar lafazh yang disebutkan. Misalnya firman Allah :

Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga....
Ayat tersebut menjelaskan bahwa aayah dan ibu masing-masing sebagai ahli waris dari anak mereka yang meninggal dunia. Bagian ibu dari harta pusaka anaknya ditetapkan berdasarkan lafazh ayat tersebut, yaitu sepertiga harta peninggalan anaknya itu. Oleh karena bagian ibu sudah diketahui berdasarkan lafazh yang disebutkan, yakni sepertiga, maka bagian ayah dapat ditetapkan, yakni dua pertiga harta peninggalan, sekalipun bagian ayah ini tidak disebutkan dalam ayat ini. Bagian ayah ini dapat diketahui akibat dari ditetapannya bagian ibu dalam ayat itu, yakni sepertiga harta peninggalan. Padahal orang yang mewarisi dalam peristiwa yang disebutkan dalam ayat itu hanya dua orang saja, yaitu ayah dan ibu.
2. Keadaan Rasulullah saw. Tidak menjelaskan hukum dalam suatu peristiwa yang kalau sekiranya beliau menghendaki hukum yang berlainan dari hukum yang disebutkannya itu tentu dijelaskannya. Misalnya diamnya Rasulullah saw. Perihal tidak diserukan adzan dan iqamat pada shalat ’id, tidak dikeluarkan zakat sayur mayur, padahal tanaman itu banyak ditanam di sekitar Madinah dan diamnya Rasulullah saw. Atas tindakan para sahabat yang menikmati masakan daging dhob (sejenis biawak yang hidup yang hidup di padang pasir) dalam salah satu jamuan makan. Diamnya Nabi itu menunjukkan bahwa shalat ’id itu tidak menggunakan adzan dan iqamat, sayur mayur itu tidak wajib dizakati dan daging binatang dhobb (biawak) itu halal dimakan. Sebab andai kata Nabi tidak membenarkan hal itu niscaya beliau menyatakan yang lain atau mengadakan reaksi terhadap kejadian yang dilakukan oleh para sahabat itu. berdasarkan ini maka pendiaman Rasulullah saw dianggap bagian dari sunnah seperti perkataan dan perbuatannya.
termasuk bagian ini ialah diamnya anak gadis jika ditanyai oleh walinya atau utusan yang dikirim kepadanya untuk mengawinkannya dengan seseorang tertentu sedang gadis itu diam. Hal ini menunjukkan keridhaan, karena dalalah keadaan.
3. Diamnya seseorang yang dianggap sebagai dalalah lafazh untuk menghindari penipuan atau menolak penyiksaan terhadap orang lain. Misalnya diamnya seorang wali terhadap tindakan anak yang berada di bawah perwaliannya dalam menjual barang, maka tindakan itu dianggap sebagai perizinan dari walinya untuk menjualnya. Sebab kalau hal itu tidak dianggap suatu perizinan tentu akan mendatangkan kerugian atau menimbulkan penipuan terhadap pembelinya. Demikian juga diamnya tuan pemilik budak ketika melihat hamba sahayanya merusakkan harta milik orang lain, adalah menjadi petunjuk bahwa ia sebagai pemilik budak harus bertanggung jawab atas barang yang dirusakkan oleh hambanya.
4. Tidak disebutkan suatu kalimat dalam pembicaraan karena seseorang sudah terbiasa membuangnya untuk meringkaskan pembicaraan. Misalnya bila seseorang mengatakan, ”seribu lima ratus rupiah” maka maksudnya adalah seribu rupiah dan lima ratus rupiah. Sekiranya perkataan rupiah setelah perkataan seribu itu disebutkan akan memperpanjang kalimat dan sia-sia sajalah menyebutkannya.
Yang jelas bahwa dalalah dalam keadaan-keadaan ini bukanlah semata-mata karena diam, akan tetapi karena qorinah-qorinah yang melingkungi diamnya itu.
D. Tingkatan Dalalah
Kuat dan lemahnya dalalah lafazh (dalalat al-Nash) adalah menurut urutansebagaimana disebutkan di atas. Yakni dalalat ibarat lebih kuat dari pada dalalat isyarat, dalalah isyarat lebih kuat dari pada dalalat al-dalalat, dalalat al-Dalalat lebih kuat dari pada dalalat iqtidha’. Ini berarti bila terjadi perlawanan antara dalalah-dalalah itu, maka madlul dari dalalah ibaratharus didahulukan pengamalannya dari pada madlul dari dalalah isyarat, madlul dari dalalat isyarat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat al-Dalalat dan madlul dari dalalat al-Dalalat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat iqtidha’.
Sebagai contoh didahulukan madlul dari dalalat ’ibarat dari pada madlul dalalat isyarat seperti sabda Rasulullah saw. :
Minimal waktu haidh itu adalah tiga hari dan maksimalnya adalah sepuluh hari.
Madlul dari dalalat ’barat hadis tersebut adalah mengenai minimal waktu haidh bagi seorang perempuan, yaitu tiga hari dan maksimalnya sepuluh hari.
Kemudian dalam jawaban beliau atas pertanyaan seorang sahabat mengapa wanita itu dianggap oleh agama sebagai orang yang kurang lengkap agamanya, beliau mengatakan:

Salah seorang dari kaum wanita melewatkan separoh umurnya untuk tidak puasa dan tidak shalat.
Madlul dari dalalat isyarat dari jawaban rasulullah tersebut ialah bahwa maksimal waktu haidh bagi seorang wanita itu adalah lima belas hari, yaitu separoh dari tiga puluh hari.
Sesuai denagan tertib penggunaan madlul sebagaimana diterangkan di atas, yaitu Madlul dari dalalah ’ibarat harus didahulukan dari pada madlul dari dalalat isyarat, maka maksimal waktu haidh itu ialah sepuluh hari.
Contoh mendahulukan madlul dari dalalat isyarat dari pada madlul dari dalalat al-Dalalat, jika keduanya saling berlawanan, ialah firman Allah:

Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam yang kekal ia di dalamnya..........
Madlul dari dalalt ’ibarat ayat tersebut ialah perihal balasan orang yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja itu ialah kekal berada di neraka. Sedang madlul dari dalalat isyaratnya ialah ia tidak diharuskan membayar kaffarat. Sebab keabadiannya dia seorang kafir. Padahal orang kafir itu tidak diterima kaffaratnya..
Kemudian dalam firman Allah :
Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman............
Madlul dari dalalat al-Dalalat dalam ayat di atas adalah seorang yang membunuh seorang mu’min dengan tidak sengaja hendaklah membayar kaffarat, yaitu dengan memerdekakan seorang budak yang beriman. Madlul yang demikian ini diporoleh dari hasil mengqiyaskan (qiyasul-aula) dengan madlul dalalat ’ibaratnya. Sebab jika seorang yang membunuh karena salah saja (dalalah ibarat ayat 92) sudah dikenakan membayar kaffarat, apalagi orang yang membunuh dengan sengaja, niscaya lebih dari itu.
Dengan demikian sesuai dengan penertiban penggunaan madlul dalalat sebagaimana dikemukakan oleh ulama’ Hanafiyah itu, maka madlul yang diperoleh dari dalalat isyarat harus didahulukan dari pada madlul yang diperoleh dari Dalalat al-Dilalat. Jadi, orang yang membunuh dengan sengaja, tidak wajib membayar kaffarat. Demikianlah seterusnya.

III. Penutup
Kesimpulan :
Dalam khazanah literatur ushul fiqh aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalat al-alfazh terhadap hukum dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : dilalat al-’ibarat, dilalat al-isyarat, dilalat al-nash, dan dilalat al- iqtidha’. Pengertian-pengertian yang diperoleh melalui jalan-jalan tersebut merupakan madlul nash (hasil penunjukan nash) dan nash yang demikian itu menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya. Untuk menetapkan suatu makna atau hukum di samping mempergunakan dalalah lafdzhiyah ’ala ma’na juga menggunakan dalalah-dalalah lain yang pengambilannya bukanlah dari suatu lafazh atau suatu ibarat nash, akan tetapi,dari dalil-dalil yang tidak disebutkan yang diketahuinya berdasarkan qarinah-qarinah. Dalalah yang semacam ini dapat juga dipergunakan untuk menetapkan suatu makna atau hukum, dalalah tersebut dinamakan dalalah bukan lafazh, dan juga ada empat bagian. Sedangkan tingkatan-tingkatan dalah adalah : Dalalah ’ibarat, Dalalah isyarat, Dalalah nash dan Dalalah iqtidha’.

Daftar pustaka :
• Muhammad, Abu, Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008
• Muhammad, Al-Khudhari, Biek, Ushul Fiqh, Pekalongan : Raja Murah Pekalongan, 1982
• Mukhtar, Yahya, Fathur, Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1983
• Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta ; Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2006
• Kamus Al-Munjid fi al-lughah wal-’Ilam, Bairut : Darul Masyriq

Sabtu, 24 Oktober 2009

makalah ushul fiqh

BAB 1
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, prilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Hukum
Hukum syar'i atau hukum syara' adalah kata mejemuk yang tersusun dari kata "hukum" dan kata "syara'". Kata hukum berasal dari bahasa arab (الحكم) yang secara etimologi berarti "memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan", kata hukum pada sekarang ini sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata "hukum" terdapat perbedaan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat di katakan bahwa hukum adalah "seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan dan di akui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, dan hukum tersebut berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya".
Kata "syara" secara etimologi berarti "jalan", jalan yang biasa di lalui air, maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti "ketentuan Allah".
Hukum syara menurut istilah para ahli Ushul fiqh ialah: khitab Allah yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Misalnya firman Allah dalam Quran (ا بالعقوداوفو), artinya: penuhilah janji.
Ini merupakan khitab dari syar'i yang bersangkutan dengan pemenuhan berbagai janji, dalam bentuk tuntutan untuk mengerjakannya. Firman Allah dalam Quran(لا يسخر قوم من قوم), "janganlah satu kaum mengolok kaum yang lain". ini adalah khitab syar'i yang berkaitan dengan menolok-ngolokkan, dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkannya.
Adapun hukum syara' menurut istilah ahli fiqh, adalah: efek yang di kehendaki oleh khitab syar'i. seperti, kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Firman Allah swt (ا بالعقوداوفو), "penuhilah janji" Menurut kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum dalam istilah para ahli ilmu Ushul fiqh, dan kewajiban memenuhi janji itulah hukum menurut istilah para faqih.
Firman Allah swt (ولا تقربواالزنا) "janganlah kamu mendekati zina" nash ini hukum menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh. Sedangkan keharaman mendekati zina adalah hukum menurut istilah fuqaha.
2. Macam- Macam Hukum
Dari definisi hukum syara', menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh dapat di ambil kesimpulan bahwasanya hukum itu bukanlah satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntutan, ada kalanya dari segi pilihan, ada kalanya dari segi penetapan. Nyatalah bahwa elemen-elemen yang terdapat dalam ta'rif itu membedakan hukum kepada dua macam, yakni:
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah, khitab syar'i yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan oleh para mukallaf atau untuk di tinggalkan atau yang mengandung pilihan antara di kerjakan dan di tinggalkannya. Misalnya,
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan ialah:
خذ من اموالهم صدقة (التوبة: 103)
"Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka"
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di tinggalkan ialah:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما اهل لغير الله به (المائده:3)
"Di haramkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang di sembelih dengan nama selain Allah"
 Khitab yang mengandung pilihan, antara di kerjakan dengan di tinggalkan ialah:
فاذا قضيت الصلوة فانتشروا فى الآرض (الجعه:10)
"Apabila telah selesai sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi"
Khitab tersebut di namai hukum taklifi karena mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu pekerjaan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi alternatif belaka. Para Ushuliun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukum taklif) adalah berdasarkan kepada umumnya (ghalibnya).
Sedangkan bentuk perintah dan larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk pasti, maka di sebut wajib, jika tidak pasti maka di sebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan bila berbentuk pasti maka di sebut haram, dan bila tidak pasti maka di sebut makruh. Sedangkan yang di maksud dengan takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
Dengan demikian, hukum taklifi itu terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Pembagian tersebut adalah menurut jumhur ulama, sedangkan menurut mazhab hanafi hukum taklifi terbagi menjadi tujuh, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram, dan mubah. Di sini akan di jelas hukum taklifi dan telah di sepakati (yang berjumlah lima macam) itulah yang di sebut "hukum yang lima" atau al-ahkam al-khamsah yaitu:
1. Hijab ialah: (طلب الفعل طلبا جازما) tuntutan untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus di perbuat, sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali di tinggalkan sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi dalam bentuk ini di sebut hijab. Pengaruhnya terhadap perbuatan disebut wujub. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut wajib, umpamanya mendirikan shalat.
2. Nadb ialah: (طلب الفعل طلبا غير جازم) tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu di tuntut untuk di laksanakan. Terhadap yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tapi bila tuntutan itu di tinggalkan maka tidak apa-apa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut nadb juga. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut mandub, umpamanya memberi sumbangan kepada panti asuhan.
3. Tahrim ialah: (طلب الترك طلبا جازما) tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang di tuntut harus meninggalkannya. Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah, karenanya patut mendapat ancaman dosa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut Hurmah, sedangkan perbuatan yang di larang secara pasti itu di sebut Muharram atau haram, umpamanya memakan harta anak yatim secara tidak patut.
4. Karahah ialah: (طلب الترك طلبا غير جازم) tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin dia tidak meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang, karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak pastinya larangan ini maka yang tidak meninggalkan larangan tidak mungkin di sebut menyalahi yang melarang. Oleh karena itu dia tidak berhak mendapat ancaman dosa. Perbuatan yang dilarang secara tidak pasti di sebut makruh, umpamanya merokok.
5. Ibahah ialah: khitab syar'i yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkan. bila seseorang mengerjakan maka ia tidak di beri ganjaran dan tidak pula di ancam atas perbuatannya itu, ia juga tidak di larang berbuat. Pengaruh dari khitab ini terhadap perbuatan di sebut ibahah, sedangkan perbuatan yang diperkenankan untuk berbuat atau tidak di sebut mubah atau jaiz. Umpamanya melakukan perburuan sesudah melakukan tahallul dalam ibadah haji.
b. Hukum Wadh'i
Hukum wadh'i adalah: khitab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu. Contoh adanya sesuatu sebagai:
• Sebab sesuatu, ialah firman Allah:
يأايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فغسلوا وجوهم وايديكم الى المرافق... (المايدءه: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, bila kamu handak shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku………"
Kemauan menjalankan shalat dalam ayat tersebut adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu.
• Syarat sesuatu, ialah firman Allah:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.... (ال عمران:97)
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan………"
Kesanggupan mengadakan perjalanan ke Baitullah adalah menjadi syarat wajibnya menunaikan haji.
• Penghalang sesuat, ialah sabda rosulullah yang berbunyi:
لا يرث المسلم الكا فر ولا الكافر المسلم (متفق عليه)
"Orang muslim tidak dapat mempusakai orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mempusakai orang muslim" (HR. Bhukari, Muslim)
Berlainan agama antara orang yang mewariskan dengan penerima waris adalah menjadi penghalang pusaka-mempusakai.
Hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian di peroleh ketetapan, bahwasanya hukum wadh'i adakalanya menghendaki untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang, atau menjadi pemboleh adalah rukhshah (kemurahan) dan shihah. Atas dasar itulah hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, ialah:
 Sebab (al-sabab) menurut jumhur ulama adalah: sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (syar'i, pembuat hukum) di jadikan sebagai sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Masuknya bulan ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya ia adalah sesuatu yang jelas dan dapat di ukur apakah bulan ramadhan sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan di sebut sebab, sedangkan datangnya kewajiban puasa ramadhan di sebut musabbab atau hukum, dan sabab (sebab) tersebut terbagi atas dua macam, yaitu:
 Sebab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf yaitu sebab yang di jadikan Allah swt, sebagai petanda atas adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang di jadikan petanda untuk hukum oleh Allah swt. Umpanya tergelincir matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur, dalam firmannya:
اقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق الليل (الاسراء: 78)
"Dirikanlan shalat karena tergelincir nya matahari sampai gelap malam"
 Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang di tetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya perbuatan mukallaf yang nyata di jadikan petanda adanya hukum. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-khasar shalat, perjalanan itu di sebut sebab, ia adalah perbuatan mukallaf yang di lakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya, akibat adanya sebab ini di jadikan Allah adanya rukhshah melakukan shalat.
 Syarath adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Misalnya perkawinan adalah syarat untuk menjatuhkan talak, dengan arti bahwa tidak adanya perkawinan maka tidak akan adanya talak, tetapi dengan adanya perkawinan tidaklah mesti adanya talak. Begitu juga bewudhu adalah syarat bagi sahnya shalat, apabila kita tidak berwudhu maka shalat yang kita lakukan tidaklah sah, akan tetapi tidaklah mesti dengan adanya wudhu makan harus shalat. Dan syaratbterbagi menjadi tiga macam, yaitu:
 Syarat 'aqli contohnya "kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui, adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
 Syarat 'adi artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku: seperti, bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlansungnya kebakaran.
 Syarat syar'i yaitu syarat berdasarkan penetapan syara', seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat, nisab syarat wajibnya zakat.
 Mani' (penghalang) ialah perkara syara' yang keberadaannya menafikkan tujuan yang di kehendaki oleh sebab atau hukum. kata amru syar'i yang di sebut dalam definisi menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang itu adalah perbuatan hukum yang di tetapkan oleh pembuat hukum itu sendiri sebagai penghalang, yaitu hadist nabi yang mengatakan(القاتل لا يرث) "si pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang di bunuh".
Adanya pembunuhan meniadakan tujuan yang di tetapkan oleh hukum itu dalam contoh di atas yaitu peralihan hak waris kepada ahli waris. Dari ta'rif tersebut dapat kita ketahui bahwa mani' itu terbagi atas dua macam, yaitu:
 Mani' terhadap hukum, misalnya perbedaan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang menerima waris adalahn suatu mani' (penghalang), hukum pusaka-mempusakai biarpun sebab untuk mempusakai, yaitu perkawinan atau hubungan darah sudah ada, jadi yang di halangi (mamnu') di sini adalah hukum pusaka-mempusakai, bukan sebab-sebab (hukum) mempusakai.
 Mani' terhadap sebab hukum, misalnya seseorang telah berkewajiban membayar zakat, tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat, karena harta yang ia miliki tidak sampai senisab lagi. Memiliki harta satu nisab ini adalah sebab wajibnya zakat, dalam keadaan ini dia mempunyai banyak hutang, sehingga menjadi penghalang terhadap sebab adanya hukum wajib zakat.
 Rukhsah (kemurahan) dan Azimah (hukum ashli)
Rukhsah ialah ketentuan yang di syari'atkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Sedangkan Azimah peraturan syara yang ashli yang berlaku hukum, artinya ia di syari'atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalm keadaan yang biasa. Misalnya babi, menurut aslinya haram di makan oleh semua orang yang islam, tetapi apabila dalam keadaan terpaksa, ia di perkanankan memakannya, asalkan tidak berlebih-lebihann. Haramnya memakan babi adalah Azimah, sedangkan boleh memakannya bagi orang yang terpaksa adalah Rukhsah. Rukhsah itu ada beberapa macam, antara lain:
 Membolehkan hal-hal yang di haram, di sebabkan karena situasi darurat.
 Membolehkan meninggalkan sesuatu karena adanya alasan udzur.
 Memberikan pengecualian sebagian perikatan-perikatan karena di hajatkan dalam lalu lintas mu'amalah.
 Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syari'at yang terdahulu.
 Shihah (sah) dan buthlan (batal)
Pengertian sah menurut syara' ialah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum. seperti, bila seorang mukallaf dalam menjalankan suatu kewajiban, (shalat, puasa, Zakat) sudah memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka terpenuhilah olehnya kewajiban tersebut dan dia bebas dari tanggungan, maka ia bebas dalam hukuman di dunia serta berhak mendapat pahala di akhirat. Adapun pengertian batalnya suatu perbuatan ialah perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum.
3. Perbedaan antara hukum Taklifi dengan hukum Wadh'i
Adapun perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh'i adalah sebagai berikut:
 Di tinjau dari segi tujuan, maka hukum taklifi menuntut, mencegah atau memberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan perbuatan. Sedangkan tujuan hukum wadh'i untuk menerangkan bahwa sesuatu itu menjadi sebab bagi musabab, syarat bagi masyruth atau penghalang bagi suatu hukum.
 Di tinjau dari segi hubungan dengan kesanggupan orang mukallaf. Maka hukum taklifi selalu di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh'i itu ada kalanya di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misaalnya ijab qabul dalam segala macam perikatan dan ada kalanya tidak di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misalnya pertalian darah menyebabkan saling mempusakai dan gila menyebabkan gugurnya taklif (pembebanan kewajiban).





BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi menurut jumhur ulama terbagi menjadi lima, yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hukum taklifi terbagi atas tujuh bagian, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah. Dan hukum wadh'i juga terbagi atas lima bagian, yaitu: sebab, syarat, mani', rukhshah, shihah.
DAFTAR PUSTAKA
- Syariuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
- Wahhab Khalaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
- Yahya, Mukhtar, dan Rahman, Fathur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

makalah ulumul Quran

BAB I
PENDAHULUAN
Al quran di turunkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar dan di ridhoi Allah swt. Al quran memberikan konsep dasar kehidupan yang di dasarkan iman kepada Allah swt. Menceritakan keadaan-keadaan ummat terdahulu, menyebutkan kejadian-kejadian yang sedang terjadi dan mengabaikan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Konsep yang tertuang dalam Al quran mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dari zaman Nabi saw. Sampai hari kiamat, kandungan dan isi Al quran selalu menjadi topic permasalahan yang harus di kutip dan di jelaskan sedetail mungkin. Kata-katanya yang mengandung sastra dan seni bahasa yang tinggi membuat sulit untuk di pahami dan di artikan oleh banyak umum untuk memberikan pemahaman yang benar dan pengartian yang tepat, seseorang harus mempelajari berbagai pengertian yang berhubungan dengan Al quran, yaitu ilmu-ilmu yang memuat pembahasan-pembahasan tentang Al quran atau disebut dengan 'ulumul quran.
Pembahasan yang termasuk di anggap penting dalam memahami Al quran adalah pembahasan tentang kejadian-kejadian dan sebab-sebab yang menyebabkan di turunkannya ayat-ayat Al quran atau disebut dengan Asbabun Nuzul, lalu apakah hakikat asbabun nuzul itu? Dan sejauh mana peranannya dalam memahami Al quran?
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang asbabunnuzul. Dengan pengetahuan yang kurang memadai penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, saran dan kritik dari pembaca selalu di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terimakasih.



Jakarta, 27 April 2009
Penulis

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian asbabun Nuzul Dan ilmu Asbabun Nuzul
Secara bahasa Asbabun nuzul terdiri dari dua kata yaitu; Asbab dan Nuzul. Dalam bahasa arab asbab adalah bentuk jamak dari sabab yang artinya sebab. Sedangkan nuzul artinya adalah turun. Sedangkan secara istilah Asbabun Nuzul adalah sesuatu hal yang karenanya Al quran diturunkan untuk menerangkan setatus hukumnya pada masa hal itu terjadi baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Sedangkan ilmu asbabunnuzul adalah ilmu yang di gunakan untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Al quran yang berupa riwayat-riwayar dari para sahabat Nabi saw. Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabunnuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Assuyuti berkata sesuatu yang perlu di perhatikan dalam asbabunuzul adalah suatu hal yang menyebabkan di turunnya ayat Al quran pada waktu terjadinya sutu hal tersebut. Pendapat ini untuk mengkritik apa yang di katakana Al wahidi dalam tafsirnya pada surat al fiil bahwa sebab turunnya adalah kisah datangnya orang-orang Habasyiyah. Kisah ini sedikitpun tidak termasuk asbabunnuyul, melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah Nabi Nuh, kaum 'Ad, kaum samud, pembangunan ka'bah dan sebagainya. Demikian pula al Wahidi menyebutkan dalam firman Allah swt.

Sebab turunnya ayat ini adalah karena Ibrahim di jadikan kesayangan allah seperti telah diketahui, hal itu sedikitpun tidak termasuk kedalam asbabunnuzul.
B. Macam-macam dan contoh
Setelah di selidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1. Terjadinya suatu peristiwa, kemudian turunlah ayat Al quran mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan ketika turun ayat
Nabi keluar dan naik bukit shofa, Lalu berseru " wahai kaumku" maka mereka berkumpul kedekat Nabi, Nabi berkata "Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepada kalian bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangkalian, percayakah kalian tentang apa yang aka katakan" mereka menjawab kami belum pernah melihatmu berdusta, nabi berkata lagi " Sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang siksa yang pedih" ketika itu Abu Lahab berkata " celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? "lalu ia berdiri, maka turunlah surat ini;
HR. Bukhori, Muslim dan yang lain.
2. Ditanyakannya sesuatu kepada Rasulullah saw, kemudian turunlah ayat Al quran yang menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khalah Binti Tsa'labah dikenakan dhihar oleh suaminya, Auf bin Shomit, lalu ia datang kepada Rasul saw, mangadukan hal itu. Aisyah berkata maha suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya yang aku mendengar ucapan Kaulah Binti Tsa'labah sekalipun tidak seluruhnya ia mengadukan suaminya kepada Rasul saw, ia berkata' wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sehingga setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, Ia menjatuhkan dhihar kepadaku. Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu, Aisyah berkata " tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini :
Yakni Aus bin Shomit " HR. Ibnu Majjah dan Ibnu abi Hatim, di shohihkan oleh al Hakim ibnu Mardawih, dan Baihaqi.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat Al quran di turunkan karena timbul dari suatu peristiwa dan kejadian atau karena pertanyaan. Tetapi ada di antaranya yang di turunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syari'at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al Jabari mengatakan "Al quran di turunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan "
C. Makna Ungkapan Asbabun Nuzul
Ungkapan asbabunnuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, dan terkadang berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya, Bentuk ungkapan yang pertama ialah jika perawi mengatakan "sebab nuzul ayat ini adalah begini" atau menggunakan fa' taqibiyah yang di rangkaikan dengan kata "nuzul" sesudah disebutkan peristiwa atau pertanyaan, misalnya ia mengatakan" "
Telah terjadi peristiwa begini "atau,
"Rasulullah saw, ditanya begini" kemudian turunlah ayat ini" Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.
Bentuk yang kedua, yaitu redaksi yang kalah jadi menerangkan sebab nuzul, atau sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat. Demikian itu jika seorang rawi berkata :
. yang dimaksud dengan ungkapan ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.
Demikia juga bila perawi mengatakan " " dengan bentuk seperti ini perawi tidak memastikan sebab nuzul. Misalnya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berkata ; ayat" turun berhubungan dengan masalah menggauli istri dari belakang," HR. Bukhari.
Contoh kedua adalah apa yang di riwayatkan dari Abdullah Bin Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang pernah ikut dalam perang Badar bersama Nabi. Dihadapan Rasul saw, tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi, keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Anshar berkata biarkan airnya mengalir" tetapi Zubair menolak, Maka Rasulullah berkata" Airi kebunmu itu Zubair, kemudian air itu mengalir ke kebun tetanggamu" Orang Anshar itu marah dan berkata "Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu berbuat demikian? Wajah Rasul menjadi merah, kemudian berkata "airi kebunmu itu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang, lalu biarkanlah ia mengalir ke kebun tetanggamu" Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelumnya beliau mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan orang Anshar itu, ketika Rasul marah kepada orang Anshar itu dan memenuhi hak Zubair secara nyata, maka Zubair berkata" aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut.
D. Kegunaan Asbabun Nuzul dalam Memahami Al Quran
Pengetahuan mengenai asbabunnuzul mempunyai banyak faidah yang penting, di antaranya :
1. Menerangkan hikmah di undangkannya suatu hukum dan perhatian syara' terhadap kepentingan umum dalam memberikan solusi segala peristiwa.
2. Menghususkan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum, misalanya adalah firman Allah swt.

Telah di riwayatkan dari Marwan. Ia berkata kepada penjaga pintunya "pergilah wahai Rafi' kepada Ibnu Abbas dan katakanlah" sekiranya setiap orang diantara kita yang bergembira dengan apa yang telah di kerjakan dan ingin di puji dengan perbuatan yang belum di kerjakannya, tentulah kita semua akan di siksa, Ibnu Abbas menjawab:" Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli kitab, kemudian ia membaca ayat"
Ibnu Abbas berkata"Rasulullah saw, menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya, lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah, apa yang di tanyakan kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin di puji oleh Rasul dan mereka telah bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang telah di tanyakan kepada mereka"HR. Bukhari, Muslim dan yang lain.
3. Apabila lafadz yang di turunkan itu lafadz yang umum dan terdapat dalil atas penghususannya, maka pengetahuan asbabunnuzul membatasi penghususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab, dan bentuk sebab ini tidak dapat di keluarkan, karena masuknya bentuk sebab dalam lafadz yang umum itu bersifat qath'i (pasti). Misalnya dalam firman allah swt.
Ibnu Abbas berkata; Ayat ini berkenaan dengan 'Aisyah dan istri-istri Nabi saw. Allah tidak menerima taubat orang yang melakukan hal itu, dan menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan yang beriman selain istri-istri Nabi. Kemudian Ibnu Abbas membacakan"
Atas dasar ini, penerimaan taubat orang yang menuduh zina ini sekalipun merupakan penghususan dari keumuman firman Allah"
Tidaklah mencakup penghususan orang yang menuduh zina terhadap 'aisyah atau istri-istri Nabi, karena yang ini tidak ada taubatnya. Karena masuknya sebab kedalam cakupan makna lafadz yang umum itu bersifat qath'i(pasti)
4. Memberikan kefahaman terhadap makna-makna al quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi kedalam ayat-ayat yang tidak ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al Wahidi berkata" tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya"
5. Menjelaskan tentang siapa yang di maksud dalam ayat itu sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
E. Kaidah menetapkan hukum di kaitkan dengan Asbabun Nuzul.
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadan seperti ini maka cara menentukan hukum sebagai berikut;
1. Apabila bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti; "ayat ini turun mengenai hal ini" Aku mengira ayat ini turun mengenai hal ini " maka hal ini bukan termasuk sebab nuzul hanya penafsiran saja, kecuali jika ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul dengan tegas. Misalnya adalah riwayat yang dari Nafi' ra berkata," pada suatu hari aku membaca "
Maka Ibnu Umar berkata" Tahukah engkau mengenai ayat ini turun?" aku menjawab "tidak" ia berkata" ayat turun mengenai persoalan menggauli istri dari belakang" HR.Bukhari. Bentuk redaksi riwayat Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara riwayat lain dari Jabir berkata: Orang-orang yahudi berkata"apabila seorang laki-laki menggauli istrinya dari belakang, maka anaknya akan bermata juling" kemudian turunlah ayat;
HR. Bukhari,Abu Daud,Tarmidzi, Nasa'I, Ibnu Majjah dll. Maka jabir inilah yang di jadikan pegangan, sedangkan ucapan Ibnu Umar di pandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, maka riwayat yang shahihlah yang di jadikan pegangan.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, maka yang di dahulukan adalah riwayat yang lebih kuat dan shahih.
5. Apabila riwayat-riwayat itu sama kuat, maka riwayat itu di padukan bila mungkin, Ibnu Hajar berkata" banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal"
6. Bila tidak mungkin di padukan maka di pandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.



BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa sabab nuzul adalah hal-hal yang menyebabkan diturunkannya ayat al Quran yang berupa peristiwa atau pertanyaan kepada Rasul saw. Untuk menerangkan setatus hukumnya pada masa hal itu terjadi. Sebab nuzul berupa riwayat-riwayat yang menerangkan asal muasal ayat Al Quran di turunkan, tidak semua ayat-ayat Al Quran mempunyai sebab nuzul karena sebagiannya berupa permulaan, tanpa sebab. Sebab nuzul mempunyai peran yang sangat penting karena sebab nuzul menerangkan maksud dan hukum yang tertentu bagi orang yang di maksud dalam ayat tersebut.

Daftar Pustaka:
- Amsar, Muhajirin, Attanwir fi Ulum Attafsir,1965
- Jalaluddin Assuyuthi, Al Itqon Fi Ulum Al Quran, Baerut: Dar al fikr.
- Manna' Khalil al Qattan, Mabahis fi Ulum Al quran,Riyadh; Mansyarat al 'asrh al hadis. 1973.
- Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Al quran, Jakarta; Litera Antar Nusa, 2007.
- Muhammad Ali As Shabuni, Attibyan fi Ulum Al quran, Jakarta; Dar al kutub al islamiyyah, 2003.







ILMU ASBABUN NUZUL
Makalah ini kami ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ulum Al quran I

Dosen pembimbing:
Dr. H.A. Muhaimin Zen, M. Ag


Di susun leh:
Mufid Abdul Khair
Muhaimin


FAKULTAS SYARI'AH
AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL QURAN
JAKARTA 2009

Kamis, 22 Oktober 2009

tafsir ibnu taimiyyah

TAFSIR IBN TAIMIYYAH

A. Pendahuluan
Tafsir sebagai penjelasan maksud al-Quran niscaya dari tiga sisi: Allah SWT sebagai shohibul Qoul (Yang Berfirman), Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dan manusia yang kepadanya firman Allah ditujukan. Allah SWT adalah penafsir utama. Dialah yang mengetahui maksud firmanNya . Melalui lisan Rasul SAW disampaikan oleh Allah maksud dari firman-firmanNya. Karena itu dalam pergaulan manusia, Rasulullah dianggap sebagai penafsir pertama. Sepeninggal Rasulullah SAW tugas menyampaikan penafsiran beralih tangan kepada para sahabat, dan terus bersambung dari generasi ke generasi. Keyakinan bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia sepanjang masa mendorong lahirnya berbagai karya tafsir di setiap generasi manusia, Dan salah satunya adalah Ibn Taimiyyah (1263-1328 M) yang turut mengambil peran menafsirkan al-Quran. Makalah ini akan membahas penafsiran tersebut dengan melihat dari setting biografis sang pengarang, serta deskripsi karya tafsirnya.

B. Mengenal Ibn Taimiyyah

1. Riwayat Hidup
Taqqiyuddin Abul Abbas Ahmad ibn Abdul Halim Muhammad ibn Taimiyyah al-Harrani, popular dengan nama Ibn Taimiyah, lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H di Harran dekat Damaskus, Syria. Ayahnya Syaikh Shihabuddin guru di Masjid Damaskus dan kakeknya Majduddin, Imam Fiqih Hanbali pada masanya. Keluarganya hijrah ke Damaskus ketika ia berusia tujuh tahun, karena tentara Mongol menyerang Harran. Dalam usia kurang dari sepuluh tahun Ibn Taimiyyah telah hafal al-Quran. Ia mempelajari hadits, fiqih, seluk beluk bahasa, ilmu tafsir, dan aqidah. Pada usia 22 tahun, ia menggantikan ayahnya menjadi guru hadits di berbagai madrasah terkemuka di kota Damaskus dan memberikan pelajaran tafsir al-Quran setiap jumat di masjid Jami'. Pada tahun 691 H, ia melaksanakan ibadah haji dan kembali ke Damaskus dengan membawa karangan tentang manasik haji dan mengungkapkan beberapa bid'ah yang terjadi disana .
Ibn Taimiyah berusaha menghidupkan kembalai ajaran agama Islam. Ia mengkritik ahli fiqih, tasawwuf, madzhab-madzhab kalam dan aliran pemikiran lainnya dengan logika: kaum Muslimin generasi pertama megah, karena berpegang pada ajaran Islam dan menghormati al-Quran, sedangkan pada masanya kaum Muslimin lemah dan diabaikan, karena bergeser dari sumber Islam. Maka tugas utamanya berdakwah mengajak manusia kembali kepada al-Quran dan pemahaman kaum Muslimin generasi pertama. Sikap dan ucapnnya keras, sehingga ia sering keluar masuk penjara.
Ibn Taimiyah berpengaruh pada beberapa tokoh gerakan Islam semisal Syah Waliyullah, Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab (pendiri gerakan Wahabi di Saudi Arabia), Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Pengaruh itu pada mulanya terbatas pada murid-murid terdekat, akan tetapi dalam jangka panjang meresap ke dalam tubuh orang-orang yang menekuni bidang keagamaan pada abad ke 12 H/18 M. Gerakan Wahabi merupakan manifestasi yang paling terorganisasi dari pemikiran-pemikirannya. Sekalipun demikian, gerakan ini tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran Ibn Timiyah. Jadi gagasan menghidupkan kembali semangat ijtihad di kalangan para ulama Islam merupakan ide pokok Ibn Taimiyah yang menggugah para pendiri organisasi tersebut. Ibn Taimiyah wafat pada tanggal 20 Dulqaidah 728 H/26 September 1328 M.

2. Karya-karya yang Lain
Selain Tafsir Ibn Taimiyah, ia juga menulis mengenai hampir setiap aspek Islam hinggga mencapai 500 judul. Hal ini menunjukkan bahwa ia sangat aktif sekali dalam hal tulis menulis. Berikut diantara karya-karyanya tersebut:
Bidang Aqidah: Al-Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, Bayan Mujmal 'an ahlil Jannah wan Nar, al-jawab al-Sahih liman Baddala Din al-Masih, Kitab al-Nubuwwah, Al Karam 'ala Haqiqah al-Islam wa al-Iman, Rislah fi al-Qada' wal qadar, Risalah al-Jihad, sebuah kitab yang ditulis untuk mengajak kaum Muslimin memerangi orang Mongol, Tafsil al-Ijmalfi ma yajibu lillah min sifat al-Kamal, al-Wasitan bayn al-Khalq wa al-Haqq yang membahas dasar-dasar iman dan sanggahan tentang perlunya perantara di antara manusia dengan Allah.
Bidang Fiqih: Majmu' rasail al-Kubra, Majmu' al-fatawa, Jawami' al-Kalim al-Tayyib fi al-'Adiyyah wa al-Zikr, majmu' Rasail Ibn Taimiyah, al-Masail al-Fiqhiyyah, al-Madzhab al-Wadih fi Masalatil Jawaiz, sebuah studi mengenai hokum ganti rugi apabila sesuatu yang tertera di dalam sebuah kontrak hilang sebelum diserahkan kepada pihak kedua, Qaidah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, al-Qiyas bi Syar' al-Islam, Qaidah fi al-Ibadah, Risalah fi Sunnah al-jumuah.
Bidang Tafsir:, Tafsir Surat al-Ikhlas, Tafsir Surat al-Kautsar, Muqaddimah di Usul al-Tafsir.
Bidang Hadits: Arba'un Haditsan Riwayah Ibn Taimiyah, al-Abd al-Awwali, Risalah fi syarh Hadits Abu Zar.
Bidang Tasawwuf: Rislah fi al-Suluk, Qaidah fi al-Sabr, Qaidah fi al-Radd 'ala al-Ghazali fi Mas'alah al-Tawkkul, Al-Sufiiyah wal Fuqarra.
Bidang filsafat: Al-Radd ala falsafah Ibn Rusyd al-Hafidi, Nasihah al-Iman fi al-radda ala Mantiq al-yunan kitab yang ditulis bertujuan membersihkan pikiran dari ide bahwa pengetahuan yang sejati hanya dapat dicapai melalui logika.
Bidang Politik: Al-Siyasah al-syar'iyyah fi islah al-ra'I wa al-Ra'iyyah, al-Hisbah fi al-Islam, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-syiah wal Qadariyyah, Al-Ikhtiyyarat al-Ilmiyyah kitab yang mengandung diskusi-diskusi penting mengenai teori politik, terutama di bidang pengadilan.

C. Mengenal Tafsir Ibn Taimiyah
1. Sekilas tentang Tafsir Ibn Taimiyah
Tafsir Ibn Taimiyah secara keseluruhan dihimpun oleh Abdurrahman Muhammad Ibn Qasim al-Ashimi al-Najdi al-Hanbali dalam empat jilid. Tafsir tersebut dimuat dalam Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyah jilid 14 sampai dengan 17. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1382 H, kurang lebih tahun 1961 M. Meliputi 64 surat dari 114 surat dalam al-Quran . Ayat-ayat dalam surat tersebut tidak seluruhnya ditafsirkan satu demi satu. Ibn Taimiyah sengaja tidak menafsirkan seluruh isi al-Quran karena sebagian ayat al-Quran sudah jelas dan sebagiannya telah ditafsirkan ulama dalam sejumlah kitab. Ia membatasi penafsiran pada ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Misalnya ketika menafsirkan surat al-Fatihah, ia mula-mula menjelaskan gambaran umum surat tersebut dengan mengutip hadits Nabi SAW riwayat Muslim. Pembahasan selanjutnya dibagi-bagi dalam beberapa pasal dengan mula-mula difokuskan pada ayat yang dipandang sentral dalam surat itu, kemudian kembali ke ayat yang permulaan, diikuti dengan pasal tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Disitu dibahas hakikat manusia, keterbatasan manusia dan kehendak Allah kepada hamba-Nya. Ibn Taimiyah menerapkan langkah serupa ketika menfsirkan surat kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

2. Karakterisik Penafsiran Tafsir Ibn Taimiyyah
Dalam menafsirkan al-Quran di kitab tafsirnya tersebut, Ibn Taimiyah menggunakan sumber penafsiran yang bersumber dari riwayah (naql) dan ra'yu (aql) secara harmonis. Ibn Taimiyah tidak sibuk dengan pelik-pelik i'rab dan persoalan-persoalan kebahasaan pada umumnya, kecuali untuk menegaskan maknanya atau untuk menarjihkan makna yang sesuai dengan maksud ayat. Ia mencurahkan perhatian pada ikhitiar menemukan solusi al-Quran terhadap persoalan yang dihadapi di lingkungannya. Untuk itu terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al-Quran mengenai suatu persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Oleh sebab itu cara yang ditempuh oleh Ibn Taimiyah ini merupakan Langkah penafsiran maudlu'i atau tematik.
Tafsir Ibn Taimiyah menurut istilah sekarang juga termasuk dalam kelompok tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyrakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunujuk ayat-ayat, dengan mengemukakannya dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Berikut diantara ciri pokok tafsir Ibn Taimiyah:
a. Memandang satu surat sebagai satu kesatuan yang serasi dan utuh.
Ketika menafsirkan surat al-Fatihah msalnya, ia lebih dahulu menjelaskan kedudukan surat tersebut sebagai ummul kitab (induk kitab), Fatihatul kitab (pembukaan kitab), al-sabu' minal masani (tujuh yang diulang-ulang), al-syafiyyah (Penyembuh), al-wajibah fi al-salawat (yang wajib dalam sholat), al-Kafiyyah (yang mencukupi). Ia kemudian menjelaskan keutamaannya dalm al-Quran, pokok-pokok kandungannya dan memfokuskan perhatian ada bagian atau ayat-ayat yang dipandang memerlukan penafsiran lebih lanjut, dan menjelaskan kaitan ayat yang satu dengan yang lain.

b. Menafsirkan ayat al-Quran dengan al-Quran
Ibn Taimiyah konsisten dengan pandangannnya bahwa sebaik-baik cara menafsirkan adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Jetika menafsirkan ayat: ihdina al-shirat al-mustaqim, misalnya ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang memuat lafal hidayah dan shirat al-mustaqim seperti pada QS. Al-An'am:153, QS. Al-Fath:1-3 dan juga QS. Al-Shaffat:117-118.

c. Menafsirkan ayat al-Quran dengan hadits Nabi dan perkataan sahabat
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas, Ibn taimiyah mengutip puluhan hadits dan perkataaan sahabat, baik yang menjelaskan sebab atau latar belakang turunnya surat tersebut makna lafal-lafal yang terkandung di dalamnya. Diantara riwayat hadits tersebut adalah: Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa Amir Ibn Tufail berkata pada nabi, " Kepada apa engkau menyeru kami Hai Muhammad?". Nabi menjawab, "kepada Allah". Amir Ibn Tufail berkata kembali, " Terangkan padaku, apakah ia dari emas, atau dari perak, ataukah dari besi?". Maka turunlah surat itu.

d. Sangat teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal-lafalnya
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas, Ibn Taimiyah menjelaskan perbedaan penggunaan lafal ahad tanpa alif-lam dan al-samad yang menggunakan alif-lam. Untuk memperoleh makna yang komprehensif atas lafal al-samad, Ibn Taimiyah menghadirkan sejumlah pemahaman ulama salaf kalangan sahabat dan tabiin serta ahli bahasa. Al-samad artinya sesuatu yang tak berongga, tak bercela; tuan yang padanya disandarkan kebutuhan-kebutuhan; yang sempurna lagi tinggi kedudukanNya; yang dimintai pertolongan dalam bencana; yang tak membutuhkan kepada seorang tetapi tiap-tiap orang membutuhkan-Nya.

e. Menggunakan akal secara kritis dalam menyimpulkan pesan al-Quran
Ketika menafsirkan ayat: iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), Ibn Taimiyah menyimpulkan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan. Pertama, manusia yang melaksanakan ibadah dan isti'anah. Kedua, manusia yang melaksanakan ibadah kepada Allah, tetapi tidak meminta pertolongan dan tidak bertawakkal kepada-Nya. Ketiga, manusia yang meminta pertolongan kepada Allah, tetapi tidak beribadah kepada-Nya. Keempat, manusia yang tidak menyembah Allah dan tidak meminta pertolongan kepadaNya, padahal Ia telah menciptakan, memberi rizki, dan melimpahkan karunia kesehatan kepadanya.

D. Kesimpulan
Dalam kitab Tafsir Ibn Taimiyyah ini, Ibn Taimiyyah berusaha menyelaraskan akal dan al-Quran, dan menghilangkan pertentangan antara keduanya. Fungsi akal adalah untuk memahami apa yang dimuat dalam al-Quran. Akal hanya diberi wewenang untuk memikirkan bukti-bukti dan dalil-dalil tersebut. Satu-satunya pedoman untuk menghukumi hanyalah al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dalam langkah penafsirannya, Ibn Taimiyyah menggunakan corak sastra budaya kemasyrakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunujuk ayat-ayat, dengan mengemukakannya dalam bahasa yang mudah dimengerti. Ia mencurahkan perhatian pada ikhitiar menemukan solusi al-Quran terhadap persoalan yang digadapi di lingkungannya. Untuk itu terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al-Quran mengenai suatu persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Oleh sebab itu cara yang ditempuh oleh Ibn Taimiyah ini merupakan penafsiran maudlu'i atau tematik

tafsir ibnu taimiyyah

makalah IAD

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk atau pembimbing dan kitab undang-undang dan perbaikan. Walaupun tidak didentifikasikan sebagai kitab ilmu alam, arsitek dan fisika, tatapi Al-Qur’an memberikan rambu-rambu dan keterangan yang detail terhadap beberapa masalah alami, kedokteran, geografi, astronomi yang selalu diperdebatkan oleh orang-orang ilmuan hingga saat ini. Dalam hal ini Al-Qur’an menjawab dan meluruskan dengan meyangkal atau membenarkan hal-hal yang berkaitan hal tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bagi orang atheisme khususnya ahli-ahli astronomi yang membuat pernyatan tentang hal-hal astronomi yang menyimpang dari Al_Qur’an yang tentunya disini Al-Quran ikut bicara dalam proses menyakinkan umat Islam agar tidak tersesat oleh pernyatan orang-orang Barat, walaupun tidak semua para ahli Eropa menolak adanya peran penting Al-Quran dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu Astronomi.
Namun pada makalah ini kami akan membatasi pembahasan tentang masalah Astronomi yang akan terfokus pada pembahasan penciptaan alam semesta dilihat dari Dunia Islam maupun Ilmu Pengetahuan Modern. Kami berharap dengan makalah ini dapat membantu para pembaca dalam mengetahui hakikat alam semesta yang sebenarnya, baik dari Islam maupun dari para ilmuan. Karena bagaimanapun para ilmuan adalah orang-orang yang telah berjuang demi menemukan hakikat kehidupan, walaupun dari salah satu mereka menyimpang dari Islam yang nantinya juga akan dijawab dengan tegas oleh Al-Qur’an.





BAB II
PEMBAHASAN

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI ISLAM
DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN

Bagaimana alam semesta berawal adalah pertayaan yang mempesona manusia sepanjang zaman. Para pendukung materialisme tidak mau mengakui adanya kebenaran tentang penciptaan alam semesta ini. Mereka tetap berkeyakinan bahwa alam semesta tidak berawal dan bersifat kekal. Mereka hendak mengingkari adanya penciptaan. Dengan kata lain mereka mengingkari adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta. Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad saw untuk membingungkan manusia. Sebagian tokoh ilmuan yang menganggap hal seperti diantaranya, Copernicus, George Gemof , dan lain-lain. Pendapat mereka ini sebenarnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno yang mengatakan bahwa materi tidak berawal dan tidak berakhir. Mereka tidak tahu bahwa langit dan bumi adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bahkan Allah telah memberikan tanda-tandanya dalam Al-qur’an sebagai berikut:




Artinya:” Kami akan memeperlihatkan kepada mereka tanda kekuasaan Kami di segnap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.
Ayat ini adalah bukti yang sangat jelas bahwa Al-Qur’an bukan ciptaan Muhammad tidak seperti apa yang diduga golongan orientalis, sesungguhnya Al-Qur’an adalah wahyu Allah, diturunkan kepada hati seorang pemimpin utusan bahasa Arab yang kuat. Jika Al Quran itu hanyalah karangan Muhammad, lalu mungkinkah 14 abad yang lalu ketika ilmu pengetahuan belum secanggih sekarang, seorang manusia di tengah gurun yang gersang di Arab bisa mengetahui bahwa alam semesta diciptakan ?.
Walaupun Demikian tidak semua para Ilmuan Barat menyangkal adanya pengorbanan Al-Qur’an dalam menjawab teka teki penciptaan alam semesta. Di bawah ini kami akan menjelaskan teori para ilmuan dalam berpendapat tentang penciptaan alam semesta.
1. Teori Big Ban
Albert Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad 20, berdasarkan perhitungan yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai ‘kesalahan terbesar dalam karirnya’. Apa arti dari mengembangnya alam semesta? Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa 'titik tunggal’ ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki ‘volume nol‘, dan ‘kepadatan tak hingga‘. Alam semesta telah terbentuk melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini. Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini dinamakan ‘Big Bang‘, dan teorinya dikenal dengan nama tersebut. Perlu dikemukakan bahwa ‘volume nol‘ merupakan pernyataan teoritis yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Ilmu pengetahuan dapat mendefinisikan konsep ‘ketiadaan‘, yang berada di luar batas pemahaman manusia, hanya dengan menyatakannya sebagai ‘titik bervolume nol‘. Sebenarnya, ‘sebuah titik tak bervolume‘ berarti ‘ketiadaan‘. Demikianlah alam semesta muncul menjadi ada dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia telah diciptakan.
Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad 20, telah dinyatakan dalam Alqur‘an 14 abad lampau:


Artinya:“Dia Pencipta langit dan bumi”

Teori Big Bang menunjukkan bahwa semua benda di alam semesta pada awalnya adalah satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Ini diartikan bahwa keseluruhan materi diciptakan melalui Big Bang atau ledakan raksasa dari satu titik tunggal, dan membentuk alam semesta kini dengan cara pemisahan satu dari yang lain. Big Bang, Fakta Menjijikkan Bagi Kaum Materialis Big Bang merupakan petunjuk nyata bahwa alam semesta telah ‘diciptakan dari ketiadaan‘, dengan kata lain ia diciptakan oleh Allah.
2. Teori Manunggalnya Alam ( Cosmos )
Teori merupakan pengembangan dari teori Big Ban. Teori ini mengatakan bahwa bahwa bumi adalah sebagian dari gas yanga panas lalu memisah dan mendingin (membeku) kemudian manmade tempat yang patut dihuni manusia.
Tentang kebenaran teori ini mereka berargumentasi dengan adanya benda-benda berapi yang berada di dalam perut bumi. Teori modrn ini sesuai dengan apa yang ditunjukan dalam firman Allah sebagai berikut :




Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu padu, kemudian Kami pisahkan antaranya keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?”
Prof. Thabbarah menyatakan, “ Ini adalah mu’jizat Al-Qur’an yang dikuatkan oleh Ilmu Pengetahuan modern bahwa alam adalah suatu kesatuan benda yang berasal dari gas kemudian memisah menjadi kabut-kabut.
Diceritakan dari Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, “ Langit itu rapat tidak menurunkan hujan dan bumi pun rapat tidak mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka tatkala Allah menjadikan penduduk bumi Ia memecah langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan.”
Mengenai asal kejadian Cosmos , seorang ahli Astronomi Jean mengatakan bahwa ala mini pada mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luas, sedangkan kabut-kabut itu tercipta dari gagas tersebut yang memadat.Teri ini kita dapatkan penguatnya dalam Al-Qur’an sebagai berikut:






Artinya:”Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-perintahKu dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.”
Itulah perkembangan ilmu Pengetahuan Modern sekaligus Al-Qur’an yang selalu menjadi awal acuan bahkan menyangkal bagi para musuh Allah yang menyelewengkan hal-hal yang telah ditetapkan oleh Alloh swt. Dengan adanya perkembangan seperti ini maka para ilmuan Modern terus menerus menelusuri ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hakikat kehidupan di bumi diantara:
1. Atom
Atom adalah bagian terkecil dan tidak bisa dibagi yang didapati dalam semua unsur. Anggapan ini terjadi pada abad yang silam. Namun karena kegigihan para ilmuan akhirnya para ilmuan berpendapat bahwa atom masih bisa dibagi-bagi. Atom dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, proton, neutron, dan electron.
Hal ini juga telah ada pada Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu.






Artinya:”Tidak ada tersembunyi dari Tuhanmu seberat zarrah (atom pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada pula yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz).”
2. Zat Asam
Zat Asam dalam hal ini adalah Oksigen ( O2 ) yang merupakan kebutuhan vital untuk manusia dalam hal pernafasan. Mengapa hal ini dipelajari oleh para ilmuan? Hal ini dikarenakan karena Oksigen merupakan suatu yang sangat penting untuk kelansungan hidup bagi semua mahluk hidup di dunia ini. Bahkan para ilmuan dapat menampung Oksigen untuk para astronot melakuakan penerbangan ke luar angkasa, karena di luar angkasa akan ada kekurangan Oksigen tidak seperti halnya di Bumi. Gejala ilmiah ini telah ditunjukan oleh Al-Qur’an sebelum diciptakan penerbangan dan sebelum abad 14 abad yang lalu.
Perhatikan ayat di bawah ini:







Artinya: “Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam. Dan barang siapa yyang dikehendaki Alloh kesesatannya, nscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Dan pada abad ini dibuktikan mukjizatnya Al-Qur’an serta mencatat adanya kecocokan ayat Al-Qur’an dengan realita ilmiah. Hal ini betul-betul menjadi penguat kebenaran kenabian Muhammad saw.
Sekiranya masih banyak sekali penemuan penemuan ilmu pengetahuan modern yang sebenarnya telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai penguat sekaligus penyangkal bagi anggapan yang menyesatkan. Ilmu pengetahuan modern yang ditemukan dalam perkembangan selanjutnya diantaranya yang sering diperdebatkan oleh manusia adalah kejadian manusia dari segi proses produksi serta orgam-orgam dalam manusia serta ideology para ilmuan tentang ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan di mata dunia Islam. Adakalanya sejalan dengan Al-Qur’an dan adakalanya berseberangan dengan Al-Qur’an. Hal inilah yang perlu diperjuangkan oleh para pewaris para Nabi dalam menegakan agama Islam.


BAB III
PENUTU

Demikian penguraian yang dapat kami jelaskan, tentunya dari berbagai penjelasan di atas perlu kami tegaskan kembali dengan mengambil beberapa kesimpulan sebagai wacana umum dalam pembahasan tentang kelahiran ilmu pengetahuan modern dan dunia Islam.Pertama, bahwa ilmu pengetahuan modern pertama kali lahir yaitu ketika abad 20 yang dipelopori oleh para ilmuan yang diawali dengan perdebatan kejadian alam semesta yang sebenarnya telah ada penjelasannya dalam Al-Qur’anulkarim. Kedua, dengan lahirnya ilmu ini maka berkembanglah ilmu-ilmu lain baik yang berhubungan dengan alam maupun ilmu lainnya. Ketiga, Al-Quran adalah mu’jizat Alloh yang tidak dapat disangkal oleh siapapun baik dari kalangan Islam maupun dari kalangan non Islam, dan Al-Quran akan selalu memperkuat atau menyangkal hal-hal yang baru yang ditemukan oleh manusia zaman sekarang.
Demikian kesimpulan yang dapat kami sampaikan, kita sebagai manusia yang Muslim dan berakal tentunya mempunyai kewajiban dalam menegakan kebenaran Islam dalam bentuk apapun, agar kita terhindar dari kesesatan. Na’udzubillah. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
- Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono. Ilmu Alamiah Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia. 1998.
- Internet : //www.kejadian alam semesta.com.