Jumat, 29 Oktober 2010

Fasakh Perkawinan

PENDAHULUAN
Ada berbagai bentuk pembubaran pernikahan Bawah Hukum Keluarga Islam. Sebagian besar bentuk yang diprakarsai oleh suami atau dengan saling persetujuan (talak, zihar, ila ', li'an dan khul'). Satu-satunya cara seorang istri dapat memperoleh perceraian tanpa persetujuan suami adalah melalui pengadilan terminasi yang disebut Fasakh.
Bagaimanapun Islam juga telah memberi hak kepada isteri untuk membubarkan perkahwinannya melalui beberapa cara yaitu khul' ta'liq dan fasakhIni bermakna kedua-dua suami isteri diberi hak untuk membubarkan perkahwinan mereka melalui berbagai cara.
Bagaimanapun hak yang diberikan kepada seorang isteri untuk membuat tuntutan pembubaran, memerlukan sebab-sebab tertentu serta elemen-elemen sampingan yang lain seperti bayaran tebus atau pembubaran tersebut. istri hanya dapat diberikan pada alasan yang sangat terbatas yang jauh berbeda di antara mazhab tersebut.
Namun alasan pembubaran pernikahan atas prakarsa istri telah mengembangkan dan berkembang menjadi jumlah dasar sejak reformasi dalam Hukum Keluarga Islam dimulai pada abad ke-19.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk membahas pembangunan khususnya ketika Fasakh digunakan untuk memecahkan masalah, ditinggalkan suami kekejaman dan penganiayaan.
















PEMBAHASAN
Pengertian Fasakh
Fasakh ialah membatalkan pernikahan dengan kuasa khadli, baik kerana tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika akad nikah atau karena hal-hal lain yang dating kemudian yang mengakibatkan rusaknya perkawinan.
Hak melepaskan diri dari ikatan perkawinan tidak mutlak di tangan kaum lelaki, memang hak talak itu diberikan kepadanya, tetapi disamping itu kaum wanita diberi juga hak menuntut cerai dalam keadaan-keadaan dimana ternyata pihak lelaki berbuat menyalahi dalam menunaikan kewajibannya atau dalam keadaan-keadaan yang khusus. Dalam hal ini dijelaskan bahwa:
Thalak itu tetap berada ditangan suami, disamping itu istri juga diberi hak untuk melepaskan diri dari suami yang di bencinya, atau suami secara sengaja menyakiti istri atau mengganggunya. Dan demikian berarti kita menghalang-halangi kemungkinan kesewenang-wenangan pihak suami dengan hak talak yang ada ditangannya yang menyalahi akhlak islam.
Dengan adanya ungkapan ini, jelaslah bahwa siistri mempunyai hak pula dalam masalah perceraian ini. Dan dia juga dalam keadaan-keadaan tertentu berhak untuk memilih apakah dia akan tetap bersama suaminya atau tidak. Dalam hal ini Rasul sendiri pernah memberikan hak pilih itu kepada istrinya, apakah ingin bersamanya atau ingin cerai.
Salah satu hak istri untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan ialah dengan jalan fasakh. Untuk lebih jelasnya sebaiknya kami kemukakan pengertian fasakh perkawinan itu.
Fasakh menurut bahasa atau lughat ialah:
Fasakh adalah merusakkan pekerjaan atau aqad.
Menurut istilah syar’i fasakh berarti :

Fasakh aqad (perkawinan) adalah membatalkan aqad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.
Bagian-bagian fasakh perkawinan
Fasakh perkawinan ialah sesuatu yang merusakkan aqad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talak. Fasakh itu terbagi kepada dua macam yaitu:
1. Fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim.
2. Fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim.
Dengan demikian dapatlah diambil pengertian bahwa terjadi fasakh itu ada karena sebab yang dapat merusakkan perkawinan. Dan ditinjau kepada sebab yang merusakkan itu fasakh terbagi kepada dua macam ;
1. Fasakh yang bekehendak kepada keputusan hakim, ini harus melalui proses pengadilan.
2. Fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, ialah waktu suami istri mengetahui adanya sebab yang merusakkan perkawinan, ketika itu kereka wajib memfasakhkan perkawinannya, tanpa melalui proses pengadilan.
Dalam hal fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim dan yang tidak, terlebih dahulu ditinjau sebab-sebab terjadinya.
Mengenai ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim adalah bila: apa saja yang menjadi fasakh itu tersembunyi, tidak jelas, maka dalam hal ini berkehendak kepada keputusan hakim.
Misalnya suami impoten, sedangkan istri tidak senang dengan keadaan suaminya demikian, maka dia berhak menuntut fasakh kepada hakim.
2. Fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim adalah apabila sebab fasakh itu jelas, sebagaimana diterangkan bahwa: apa saja yang menjadi sebab fasakh itu jelas, dalam hal ini tidak berkehendak kepada keputusan hakim, seperti apabila nyata bagi suami istri itu bahwa mereka saudara sesusuan, ketika itu mereka sendiri wajib memfasakhkan perkawinannya.
Pelaksanaan Fasakh (pembatalan Perkawinan).
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan.
Akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah :
• Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di pengadilan agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan dalam suatu riwayat berikut :


Dari Umar ra. bahwa ia pernah pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara tentang laki-laki yang telah jauh dari istri-istri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap mereka, agar mereka mengirimkan nafkah atau menceraikan istrinya. Jika mereka telah menceraikannya hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.
• Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfaskhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Rasulullah saw bersabda :




Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda tentang laki-laki yang tidak memperoleh apa yang akan dinafkahkannya kepada istrinya, bolehlah keduanya bercerai (HR. Daruquthni dan Al-baihaqi)
Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai berikut :
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
• Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak raj’i.
• Seseorang menikahi istrinya yang telah dili’annya.
• Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudiaan bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa ‘iddahnya.
• Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
 berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
 berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya,
 berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu ayah tirinya.
 Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
 istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
• Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
• Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.
• Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam ‘iddah dari istri lain.
• Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
• Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
• Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
• Seseorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
• Seseorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
• Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalan jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan perkawinan adalah :
• Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
• Suami atau istri.
• Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.
• Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
• Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
• Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
• Perkawinan yang batal karena dari salah satu suami atau istri murtad.
• Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
• Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Salah satu terjadinya fasakh ini adalah adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan, bentuk ini disebut syiqaq.





.dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan.
Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad :
• Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan nasab atau sepersusuan.
• Waktu dikawinkan masih kecil dan tidak punya hak pilih tetapi, setelah besar dia menyatakan pilihan untuk membatalkan perkawinan.
• Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada penipuan, baik segi mahar atau pihak yang melangsungkan pernikahan.
Bentuk kesalahan terjadi setelah akad perkawinan :
• Salah seorang murtad dan tidak mau diajak kembali kepada Islam.
• Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri.
• Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya kehidupan ekonomi si suami.
Fasakh dalam Perundangan Islam
Bahawa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqqa).3 Apabila perkataan fasakh disandarkan kepada nikah maka ia akan membawa maksud membatal atau membubar pernikahan oleh sebab-sebab tertentu yang menghalang kekalnya perkawinan tersebut. Perceraian secara fasakh tidak dinyatakan secara terang di dalam al-Qur'an. Tetapi prinsipnya boleh dilihat dalam Surah al-Baqarah ayat 231 dan al-Nisa' ayat 35. Ia berbeda sekali dengan cara-cara pembubaran yang lain seperti talaq (Surah al-Baqarah ayat 229), khul'(Surah al-Baqarah ayat 229), zihar(Surah al-Mujadalah ayat 1-4), ila' (Surah aI-Baqarah ayat 226) dan li'an, (Surah al-Nur ayat 6-9) yang telah disebut di dalam al-Qur’an dengan jelasnya.
Walau bagaimanapun, fasakh diterima sebagai salah satu cara untuk membubarkan perkawinan berasaskan kepada prinsip yang terkandung dalam hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi:

tidak boleh ada kemadharatan dan tidak boleh saling manimbulkan kemadharatan.
Pembubaran perkawinan melalui fasakh memerlukan campurtangan khadli (hakim) atas sebab-sebab yang biasanya diketengahkan oleh seseorang isteri. Walaupun suami juga boleh menuntut fasakh namun suami mempunyai hak eksklusifnya yaitu talaq. Fasakh yang dituntut oleh isteri ini adalah takluk kepada beberapa sebab yang telah ditetapkan oleh para Fuqaha. Fasakh dan talaq ini adalah berbeda terutamanya dan efek pembubaran itu dimana fasakh tidak terhadang kepada halangan tertentu, berbanding dengan talaq yang terhadang kepada dua (talaq raj’i). Dengan kata lain suami isteri yang terbubar pekawinannya melalui metod fasakh boleh kembali kepada isteri dan suami yang sama untuk sekian kalinya dengan membuat akad dan mas kawin yang baru. Bagaimanapun fasakh yang jatuh dalam kategori selama-lamanya seperti fasakh perkawinan adik beradik kandung atau sesusuan dan juga murtad tidak boleh kembali semula. Fasakh kerana sebab-sebab ini tidak perlu kepada campur tangan Hakim, tanpa melalui prosedur pengadilan. tetapi bagi masyarakat Islam Indonesia, secara yuridis formilnya, untuk memperoleh pembuktian tentang putusnya perkawinan dan termasuk masalah fasakh ini dan pengakuan shahnya menurut undang-undang harus ditempuh melalui pengadilan agama.
Ini mengingat bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh, baik terhadap suami istri, maupun terhadap keluarganya. Maka melalui proses pengadian ini dimaksudkan supaya untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain diluar pengadilan. Dalam peraturan pemerintah no.9 tahun 1975 pasal 37 tercantum bahwa: batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.
Di dalam Perundangan Islam, perkara-perkara yang mengharuskan untuk fasakh bagi suami isteri adalah berbeda antara satu mazhab dengan mazhab yang lain. Dalam Mazhab Hanafi, seorang isteri boleh memohon untuk membubarkan perkawinan melalui cara fasakh hanya apabila suami yang dikawininya itu mengalami kecacatan dan keaiban. Dalam Mazhab Hanafi seorang isteri itu tidak boleh memohon fasakh atas sebab-sebab yang lain dari yang disebutkan itu sekalipun suami itu terkena penyakit sopak dan kusta. Begitu juga, seorang isteri yang telah dikawinkan oleh wali mujbirnya sewaktu umurnya belum baligh, berhak memohon fasakh perkawinannya apabila sampai umur baligh. Fasakh seperti ini dikenali
sebagai khiyar al-bulugh. Bagaimanapun fasakh kerana sebab khiyar al-bulugh tidak dibolehkan oleh mazhab Syafi'i dan Maliki. Pengertian suami berpenyakit mengikut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali mungkin agak luas sedikit, kerana ia termasuk segala penyakit seperti sopak dan kusta. Prinsip mereka dalam soal ini ialah sekiranya segala keaiban atau penyakit yang dialami oleh suami boleh menjejaskan perhubungan jenis antara mereka atau boleh berjangkit kepada isteri dan juga janin, maka isteri boleh memohon fasakh.
Selain dari alasan di atas, ketidak mampuan suami untuk membayar nafkah, hilang atau dipenjarakan juga diterima oleh Maliki, Syafi'i dan juga Hanbali sebagai alasan untuk menuntut fasakh. Bagaimanapun Mazhab Maliki dan Hanbali telah menambah satu lagi alasan iaitu berlaku kemudharatan dalam rumah tangga sebagai sebab untak memohon fasakh. Kemudaratan yang dimaksudkan di sini adalah kemudaratan kepada lima perkara yaitu, agama, diri, keturunan, harta, aqal (maruah). Keadaan ini akan berlaku, apabila pertingkahan dalam rumah tangga wujud. Ini bermakna sekiranya berlaku penderaan dan penganiayaan kepada isteri, maka keadaan ini boleh dijadikan alasan bagi isteri membubarkan pekawinannya melalui fasakh. Nampaknya dengan adanya peruntukan dari prinsip Mazhab Maliki ini maka masalah penderaan yang berlaku dalam masyarakat hari ini dapat diselesaikan.
Sebab Berlakunya Fasakh
Antara yang boleh menyebabkan berlakunya fasakh ialah:
Sebab yang merusakkan akad.
1). Istri termasuk dalam golongan orang yang haram dikawini sama ada sebab keturunan, susuan atau persemendaan atau bekas isteri yang dalam tempo 'iddah talaq' suami pertamanya.
2). Pernikahan yang dilakukan ketika belum baligh (kecil) dan apabila baligh minta difasakhkan akad itu.
Sebab yang mendatang selepas pernikahan
1). Seorang dari pada suami atau isteri itu murtad.
2). Pasangan suami isteri bukan Islam ketika bernikah dan seorang daripada mereka memelukIslam.
3). Suami melakukan satu daripada perkara yang diharamkan sebab persemendaan seperti berzina dengan ibu mertua.
Beberapa alasan yang dapat di ajukan dalam perkara fasakh perkawinan
Alasan-alasan yang dapat di ajukan istri dalam menuntut fasakh kepada hakim, dengan ini tidak membatasi adanya kemungkinan alas an-alasan lain yang dapat diajukan dalam minta fasakh ini. Diantaranya ialah:
a. Suami mempunyai cacat atau penyakit
b. Suami tidak mampu member nafkah
c. Suami melakukan kekejaman
d. Suami meninggalkan tempat kediaman bersama
e. Suami dihukum penjara.


Akibat Hukum Fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i . talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.
Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisah suami istri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Imam syafi’i berkata: “harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan imam maliki mengtakan: “harus menunggu selama satu bulan.” Sedangkan imam hambali mengatakan: “harus menunggu selama satu tahun,”
Semua itu maksudnya adalah selama masa waktu tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi.
Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama: ........bin.......pada hari ini. Kalau fasakh itu dilakukan oleh istri sendiri di muka hakim, maka ia berkata: aku fasakhkan nikahmu dari suamiku yang bernama: ...........bin..........pada hari ini. Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.
Perbedaan Antara Fasakh Dan Talak
Terputusnya hubungan perkawinan akibat fasakh, baik disebabkan adanya cacat dalam akad itu sendiri maupun disebabkan sesuatu yang menghambat keberlangsungannya (sebagaimana telah dijelaskan di atas) membatalkan akad nikah dan menghentikannya seketika dan secara langsung, seperti yang diakibatkan oleh talak ba’in.
Walaupun demikian, batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antar anak dan orangtuanya (sebagaimana ditegaskan juga dalam pasal 76 kompilasi hukum perkawinan di indonesia).
Pertama, perbedaan dari segi hakikat. Fasakh adalah pembatalan akad dari segi asasnya, dan bekaitan bagi menghilangkan ikatan menyertai (timbul karenanya); sedangkan talak (kecuali talak ba’in kubra) adalah pengakhiran akad tanpa efek menghilangkan kebolehan (hak) untik melakukan hubungan (kembali).
Kedua, perbedaan dari segi penyebabbnya. Fasakh adakalanya terjadi disebabkan bencana di atas akad yang menghilangkan perkawinan itu sendiri, dan adakalanya karena keadaan yang mengiringi akad itu sendiri tidak menghendaki kalangsungan daya ikat sejak asalnya. Contoh fasakh karena sebab bencana ialah murtadnya sang istri; sedangkan contoh karena sebab kedua ialah hak khiyar yang dimiliki masing-masing pasangan setelah baligh untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkawinannya yang dilakukan (dipaksakan) pihak lain sebelum mereka dewasa.
Ketiga, perbedaan karena pengaruhnya. Peristiwa fasakh tidak mengurangi bilangan-bilangan talak yang dimiliki suami; sedangkan penjatuhan talak akan mengurangi jumlah bilangan yang ada pada suami.














PENUTUP
Kesimpulan :
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa Hak untuk menuntut fasakh yang secara tradisinya merupakan hak isteri di bawah perundangan Islam diberikan juga kepada suami, sedangkan suami masih mempunyai hak untuk menceraikan isterinya. Undang-undang Keluarga Antara perkara yang diambil perhatian ialah memperuntukkan hak pembubaran
perkahwinan melalui fasakh sekiranya berlaku kemudaratan dalam rumah tangga.
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i . talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

Daftar Pustaka :
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta, Kencana, 2003
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta; Prenada Media Group, 2008
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989
Muhammad Bagir Al Habsyi, Fiqih Praktis 2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Keluarga Islam, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004
Nawawi Rambe, Fiqh Islam, Jakarta; Duta Pahala, 1994
http://www.islam.gov.my/portal/pdf/alasan.pdf
http://app.syariahcourt.gov.sg/syariah/front-end/TypeOfDivorce_Fasakh_M.aspx
FASAKH
Disusun Oleh :
Muhaimin Ks

Dosen Pembimbing :
Drs. Sarnoto, M. Hum



Fakultas Syariah V
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta
Tahun Ajaran 2010/2011

Kamis, 08 Juli 2010

wawasan al-quran tentang kepemimpinan wanita

WAWASAN AL QUR’AN TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA
Makalah ini dipresentasikan guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Kontemporer
Disusun Oleh :
Muhaimin
Muhammad Munir







Dosen Pembimbing:
Helmy Yusuf, MA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT PERGURURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
( I PTIQ ) JAKARTA
2009/2010





PENDAHULUAN
Islam sangat memuliakan wanita. Al Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukannya yang sangat hormat kepada wanita, baik ia sebagai anak, istri, ibu, saudara, maupun peran yang lainnya.Begitu pentingnya hal ini, Allah swt mewahyukan sebuah surat dalam Al Qur’an kepada Nabi Muhammad saw yaitu surat Al Nisaa yang sebagian besar ayat dalam suarat ini membicarakan masalah wanita, baik yang berhubungan dengan kedudukan, peranan, dan perlindungan hukum dalam terhadap hak-hak wanita.
Bagi Islam sendiri wanita yang baik adalah wanita yang menjalankan kehidupannya seoptimal mungkin sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Dari segi penciptaannya, Al Qur’an menerangkan, bahwa wanita dan pria adalah sama-sama ciptaan Allah swt dan dalam derajat yang sama. Tidak ada isyarat bahwa pria lebih tinggi derajatnya daripada wanita. Hal ini dikarenakan karena wanita dan pria mempunyai hak yang sama dan setara. Namun pengertian sama dan setara dalam Islam berbeda dengan apa yang dituntut pada zaman-zaman sekarang, khususnya di dunia Barat., yang menuntut persamaan dan keidentikan antara pria dan wanita dalam segala hal.
Oleh sebab itu, lewat prolog di atas tentunya kami sebagai pemakalah akan mengambil sebuah pembahasan yang berkaitan dengan wanita, khususnya dalam hal kepemimpinan wanita lewat sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan khususnya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Tentunya kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu itu, kritik opini dan saran selalu penulis harapkan, agar semakin melengkapi materi makalah ini. Semoga apa yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat. Dan kesalahan dalam penyusunan dapat dimaafkan dan diperbaikin di masa mendatang.











PEMBAHASAN
WAWASAN AL QUR’AN DALAM KEPEMIMPINAN WANITA
Kita mungkin sering mendengar dan mengenal istilah emansiapasi wanita yang juga sering digunakan dalam acara hal-hal yang berkaitan dengan wanita, khususnya dalam kegiatan peringatan Hari Kartini. Emansipasi wanita itu sendiri dapat diartikan sebagai prospek pelepasan diri wanita dari kedudukan social ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukumyang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam Bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahlil al-marah.
Emansiapasi pada masa kini tidak lagi berarti perjuangannya untuk mencapai persamaan hak, tetapi telah sampai pada upaya untuk meningkatkan kapada sumber dayakaumwanita itu sendiri. Emansipasi yang baik yang dibenarkan dalam Islam adalah melihat pria bukan sebagai seteru atau lawan., tetapi sebagi partner, sebagi kawan seperjalanan dan perjuangan.
Di dalam ajaran Islam wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat kepada waniata agar jangan terbelenggu dengan kebodohan dan perbudakan yang menjadikan hialngnya hak sebagai seorang wanita.
Namun demikian, dalam kenyataannya pada berbagai bidang kehidupan, masih banyak terjadi pertentangan pendapat tentang kepemimpinan wanita. Masalah seperti ini sampai sekarang masih terus dibicarakan.
A. Pemimpin Wanita dalam Pandangan Islam
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai kholifah di muka bumi. Sebagaimana tugas pokok manusia, tidak berbeda pria dan wanita. Ini yang di dalam hukum Islam disebut taqlidiyyah. Disitu disebutkan bahwa setiap orang adalah mukallaf.
Mengenai status kholifah tadi, Rosulullah saw menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpin. Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dn social adalah pemimpin.
Di antara masalah yang kerap menjadi bahan perbincangan sepuatar kesetaraan antara kaum pria dan wanita adalah masalah tentang “kepemimpinan”. Islam menegaskan bahwa kepemimpinan ada di tangan pria. Allah berfirman:
              

“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan kerena mereka telah memberikah nafkah sebagian dari kekayaan mereka….
Kata qawwamun disini jamak dari kata qawwaam yang berarti orsng ysng melaksanakan sesuatuu secara sungguh-sungguh sehingga hasilnya optimal dan sempurna. Oleh karena itu kata qawwamun bisa diartikan penanggung jawab, pelindung pengurus, bisa berarti kepala atau pemimpin, yang diambil dari kata qiyaam sebagi asal kata kerja qaama-yaquumu yang berarti berdiri.
Jadi kata qawwamuun menurut bahasa adalah orang-orang yang melaksanakan tanggung jawab atau para pemimpin dalam suatu urusan. Pada ayat ini, qawwamuun adalah orang-orang yang memimpin, yang mengurusi atau bertanggung jawab terhadap keluarganya yaitu para suami selama mereka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada keluarganya.
Dalam hal ini kata qawwamun bukan berarti penguasa atau majikan, tetapi dalam pengertian bahwa suami adalah kepala keluarga. Sedangkan perempuan adalah pemimpin rumah tangga.
Ini jika berbicara tentang kepemimpinan dalam rumah tangga, namun jika berbicara kepemimpinan dalam bidang politik, hal ini sering diperselisihkan bahkan dipertentangkan pada beberapa kalangan. Pandangan yang mengatakan bahwa penolakan kepemimpinan wanita sebagai upaya mendekreditkan wanita telah berangkat dari persspektif gender. Yakni satu pandangan yang didasari oleh persamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang termasuk dalam hal politik terutama dalam kepresidenan wanita.
Pandangan ini telah meniadakan peran agama Islam dalm menghadapi berbagai persoalan termasuk dalam kepemimpinan. Dalam hal ini lebih tepat bahwa pandangan ini mengacu kepada sekuler, sehingga wajar dalam hal kepemimpinan tidak menyudutkan wanita.
1. Islam mengharamkan Kepemimpinan Perempuan dalam Negara
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan agama Islam sebagai cara pandang menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Di mana cara pandang mengharuskan menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandran dan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah termasuk persoalan kepemimpinan wanita.
Pengkajian yang mendalam termasuk pendapat empat madzhab mengatakan bahwa hokum pemimpin wanita adalah haram. Hal ini sesuai pernyataan di bawah ini:
“Kholifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqoha) telah sepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam”
Argumen paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah:
 Sabda Rosulullah saw:
حدثنا عثمان بن الهثيم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: “لقد نفّعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيّام الجمل بعدما كدتُ أن ألحقَ بأصحاب الجمل فأقاتل معهم. قال: لمّا بلغ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أنّ أهل فارس قد ملّكوا عليهم بنت كسرى قال: لن يفلح قوم ولّوا أمرهم إمرأة
“….Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai Ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.””
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorang pun pakar hadits yang mempersoalkan keshahihannya. Sedangkan dari segi dirayahnya, dalalah hadits ini menunjukan dengan pasti haramnyawanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk ikhbar, dilihat dari shigatnya hadits ini tidak otomatis menunjukan hokum mubah. Sebeb parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khitab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya bukan sighatnya.
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusannya kekuasaannya kepada wanita. Akan tetapi walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjdi raja, namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum. Kata kaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Sedangkan asbabul wurudhadits di atas tidak pula bisa bisa digunkan dalil untuk mentakhsiskan. Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits.
Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu ushul fiqh, “al-‘ibro bi ‘umum al-lafdzi la bi khususi al-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab). Adapun hokum yang terkandung di dalamnya pembahasnnya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukan keharamannya secara pasti. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal aw li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang. Jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukan adanya dzam (celaan) dari Rosulullah saw.
Sumber lain mengemukakan Letak kata kunci dari matan hadis tersebut adalah kalimat لن يفلح dimana “lan” memiliki fungsi sebagai huruf nafi lil-istiqbal, yang menafikan kemungkinan yang akan terjadi. Sementara ”yuflih” yang berasal dari fi’il madhi “aflaha” dalam kamus al-munawwir memiliki arti berhasil baik (sukses; najah) terdiri dari fi’il mudhari’ memberikan pemaknaan akan sebuah kesuksesan pada waktu itu dan atau di masa mendatang. Kemudian kalimat “wallau” yang memiliki arti menguasakan atau mempercayakan.Yang perlu disoroti dari bangunan kalimat tersebut adalah tiadanya forbidden statement (ungkapan pelarangan), melainkan sebatas “peramalan” akan sesuatu yang masih belum pasti karena masih bersifat asumtif yang tidak niscaya, walaupun “disampaikan oleh Nabi”. Tapi kemungkinan mengandung makna lain di balik statemen tersebut, masih perlu untuk dilacak bersama lewat sentuhan historis-sosiologis.
Hadis diatas diriwayatkan oleh seorang Bukhari yang dalam pemahaman ulama’ salaf semua hadisnya tidak perlu dipertanyakan, sehingga sebagian besar ulama menerima bulat-bulat hadis ini. Memang, secara sanad, hadis tersebut memiliki mata-rantai perawi yang dalam perspektif kritikus hadis “kesemuanya” dipandang siqah. Dengan demikian, besar kemungkinan—untuk tidak mengatakan pasti—hadis tersebut ittshal, benar-benar merupakan hadis Nabi.
Namun demikian, ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa perawi pertama (Abu Bakrah) pada masa khalifah Umar bin Khattab, pernah dihukum cambuk karena memberi kesaksian palsu terhadap tuduhan zina al-Mughiroh bin Syu’bah. Dalam menguji kualitas hadis, ittishal as-sanad tidak hanya menjadi persyaratan, melainkan kualifikasi dalam segi moralitas perawi juga dapat menjadi salah satu unsur valid atau tidaknya sebuah hadis.
Karena riwayat mengenai kecacatan Abu Bakrah banyak tidak terbaca oleh para kritikus hadis yang lain, hadis tersebut berimplikasi pada konstruk pemikiran ulama’ salaf serta-merta memberikan larangan mutlak terhadap kepemimpinan perempuan dengan memberikan persyaratan adanya keharusan berjenis kelamin laki-laki untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut tampak dalam pelbagai pendapat Imam Ghazali, Ibn Hazm, Kamal ibn Abi Syarif, dan Kamal ibn Abi Hammam, yang menurut Yusuf Musa, para imam tersebut mensyaratkan seorang laki-laki untuk dapat diangkat menjadi pemimpin.
Pada hadits di atas tidak terlalu terpengaruh atas takdir perempuan ataupun hak-haknya melainkan dengan yang berkaitan dengan perbedaan natural dalam pembentukan biologis dan psikologis laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut Islam dalam memandang kepala Negara bukan semata-mata sebagai figure.
Kemudian pernyataan diatas dipertegas kembali bahwa walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hokum, tetapi menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang puncuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak boleh menjadi kholifah, tetapi selain itu bisa.
 Di dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala Negara:
          
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya dan ulil amri di antara kamu”
Ayat ini memerintahkan agar ummat Muslim taat dan patuh kepada Allah, Rosun Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar terciptanya kemaslahatan umum. Patuh di sini berlaku bagi para ulil amri yang sesuai dengan perintah Allah dalam melaksanakan hokum-hukumNya, seperti melaksanakan ajran-ajaran yang dibawa oleh Rosulullah dan lain sebagainya.
Tentunya dalam hal ulil amri disini haruslah orang yang berilmu dan berpengetahuan yang luas akan hal pemerintahan. Kaitannya dengan kepemimpinan bahwasnya Islam melarang bagi wanita untuk menempuk kepala Negara bertujuan untuk menghindari hal-hal yang kiranya wanita itu tidak dapat memberikan kemasalhatan bagi rakyatnya. Karena dalam hal keadilan perempuan itu lebih lemah daripada laki-laki.
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan wanita, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri baik ditingkat kepala negara maupun dalam perangkat-perangkatnya. Di samping tinjauan syara’, tinjauan sejarah pun membuktikan baik di masa Khulafaturrasyidin, Bany Umayyah, Abbasiyah, atau pemerintahan sesudahnya tidak pernah sekalipun kholifah yang diangkat adalah seorang wanita.
Memang pernah di Mesir pernah berkuasa seeorang Ratu yang bernama Sjaratuddur dari Dinasti Mamalik yang tunduk pada Khilafah Abasiyah yang waktu itu dijabat oleh Kholifah Al Mustanshir Billah. Pada saat Malikus Sholih meninggal, kekuasaan diberikan kepada Sjaratuddur. Mendengar peristiwa itu Kholifah mengirimkan surat yang menanyakan apakah di Mesir tidak ada laki-laki? Kalaupun tidak ada kholifah akan mengirimkan seorang laki-laki dari Baghdad untuk berkuasa di Mesir. Akhirnya Sajaratuddur mengundurkan diri yang kemudian digantikan Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelaslah bhwa tidak ada refernsi historis dalam Islam yang menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
2. Sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah…
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!.
Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwasanya Islam tidak menyetujui akan adanya suatu sistem yang yang benar-benar tidak bersumber dari Al Qur’an al Hadits, bagaimana dengan halnya sistem di indonesia yang berbentuk republik, apakah kita akan bersikap egois semata, karena kita belum melihat dari mata mana kita mengharamkan sistem repubilk. Menurut pemahaman kami, tidak setuju apabila dengan segera tiba-tiba orang mengharamkan bahkan membenci sistem yang telah berlaku di negara kita. Kita lihat dulu dari sejarah dan kemapanan negara kita dalam hal ini, selain itu juga kita harus melihat kemaslahatan rakyat kita selama ini. Kita tidak boleh egois sebelah kaitannya dengan hal khilafiah.
Mengenai dengan presiden yang negara kita berlakukan, kaitannya pernah tejadi presiden perempuan, tentunya hal ini seharusnya menjadi renungan kita ke depan untuk mempersiapkan lebih dini pemimpin laki-laki yang tentunya lebih dipentingkan dalam dalam dengan tidak mengesampingkan peran wanita sebagai seorang yang dapat membantu dari belakang demi kemajuan bersama. Mungkin ini tanggapan dari kami kaitannya dengan adanya pernyataan di atas.
B. Hakim Perempuan dalam Pandangan Islam
Masalah boleh atau tidaknya hakim sampai saat ini masih menjadi objek perdebatan yang masih menuai perbedaan di kalangan ulama fiqh. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman para ulama akan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Menurut jumhur Ulama, Imam Malik. Imam Safi’I, dan Imam Hambali melarang seorang wanita menjadi hakim. Dasarnya adalah sesuai dengan firman Allah:
             
“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan kerena mereka telah memberikah nafkah sebagian dari kekayaan mereka…….
Adapun pendapat lain yang mendukung penolakan wanita sebagai seorang hakim secara mutlak, mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qhadi menurut syara’ sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat , padahal secara umum wanita lemah akalnya. Di mana Rosulullah menafsirkan ketidak keesempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian wanita nilainya setengah dari keaksian laki-laki.
Sedangkan menurut ulama yang lain mengatakan bahwa hakim perempuan dibolehkan secara mutlak yakni dalam semua perkara. Alasan mereka yang mengemukakan hal seperti itu adalah bahwa wanita mempunyai potensi dan boleh menjadi hakim. Alasan lain bahwasanya semua manusia yang dapat menengahi suatu masalah diantara manusia, maka keputusannya sah. Kecuali hal-hal yang sudah menjadi ‘Ijma yaitu masalah kepemimpinan yang besar seperti kholifah.
Kemudian dijelaskan kembali bahwa mengenai jabatan hakim kecuali qadhi mazhalim yang mengadili para pejabat diperbolehkan dijabat oleh seorang wanita, karena qadhi dalam system pemerintahan Islam tidak termasuk jabatan kekuasaan. Qhadi adalah jabatan mengadili perkara perselisihan di antara anggota masyarakat atau pelanggaran ketertiban umum, atau hak-hak jamaah di mana fungsi qhadi sebagai pemutus perkara adalah menyampaikan keputusan hokum Allah swt atas-tiap-tiap perkara.
Dengan demikian pejabat memberitahukan hokum Allah itu biasa dijabat oleh siapa saja, boleh laki-laki ataupun perempuan selagi dia tahu dan paham akan hokum Allah.
C. Pembatasan Dalam Islam (Mahram)
 • •      ••           • 
“ Hai istri-istri nabi !kamu tidak seperti perempuan-perempuan lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicarasehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Pada Ayat ini Allah memerintahkan istri-istri nabi untuk berdiam diri di ruamah masing-masing. Perintah ini berlaku untuk istri-istri nabi dan ummul mukminat lainnya. Mereka dilarang memamerkan perhiasannya, dan bertingkah laku eperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu sebelum zaman Nabi Muhammad saw. Perhiasan dan kecantikan seorang istri itu adalah hanya untuk suaminya dan bukan untuk dipamerkan kepada orang lain. Segala perbuatan yang menjurus kea rah perzinaan dilarang keras oleh agama Islam. Hal sangat logis dan berlaku bagi wanita yang mana akhir-akhir ini banyak sekali para wanita yang menuntuk haknya agar disamakan dengan laki-laki dalam segala hal, padahal ini sangat dilarang oleh Allah karena melihat dampak dan efeknya apabila laki-laki dan perempuan disamakan dalam segala hal.
Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada wanita-wanita muslim lewat ayat ini agar selalu berhati-hati dalam bertindak terhadap suami agar tidak melampoi batas. Kemudian Allah swt menerangkan sebab dikeluarkannya perintah itu, ialah karena Allah bermaksud akan membersihkan mereka dari kekotoran kefasikan dan kemunafikan yang biasa menempel kepada orang yang berdosa.
Ayat ini juga merupakan ayat yang khusus berkenaan dengan istri-istri nabi Muhammad saw. Oleh karena hal ini terbatas hanya untuk mereka. Hal ini bertujuan untuk membedakan anta istri-istri Nabi dengan perempuan-perempuan lain. Sehingga mereka diwajibkan tinggal di rumah dengan sebagian besar waktunya.
Walaupun ayat ini dkhususkan kepada istri-istri Nabi, setidaknya kita sebagai ummatnya selalu meneladani sifat-sifat Nabi dalam mendidik istri-istri Nabi, termasuk disuruh untuk tinggal di rumah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak rumah tangga. Terlebih lagi ayat tersebut tidak berarti bahwa mereka harus tinggal di rumah secara mutlaq. Semata-mata yang dimaksud adalah tinggal di dalam rumah selama tidak ada keperluan yang memasak untuk keluar rumah.
Disini kita perlu kembali kepada prinsip pertama yang dijelaskan di dalam Al Qur’an bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan hak mendapatkan pekerjaan bagi laki-laki dan perempuan tanpa terikat satu tempat. Hanya saja dalam prosesnya ada ketentuan penyesuaian dengan status dan kemampuan. Al Qur’an mengisahkan dua anak gadis Nabi Syu’aib yang pekerjaannya pengembala ternak milik ayahnya. Disini Al-Quran memberi contoh hak perempuan yang bekerja di luar rumah sesuai kondisi dan kemampuannya.
Namun demikian, walaupun dikenal dalam ajaran Islam bahwa perempuan mempunyai hak dan kesempatan berkarir yang sama menjalankan tugasnya menjadi wanita karir, ada pembatasan yang diberlakukan. Yaitu, dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sbegai seorang wanita secara alamiah. Ataun lebih tepatnya wanita karir tidak melupakan kodratnya sebagi perempuan, seperti mendidik anak, mengurusi keluarga, suami, sehingga tetap ada komitmen syariah di dalamnya.
Seperti halnya juga dalam bepergian, bahwasanya seorang perempuan yang mau bepergian harusnya dengan mahramnya. Hal ini untuk menjaga keamanan bagi si wanita dari hal-hal yang membahayakan dirinya.
D. Analisa-Kritis Kepemimpinan Perempuan
Dengan berbagai deskripsi diatas, penulis tidak mendapatkan adanya sebuah pelarangan yang bersifat syar’i terkait dengan kepemimpinan perempuan. Mengalisa hadis diatas, penulis mendapatkan tiga (3) subject matter yang dapat dijadikan sebuah kunci utama dalam mengkritisi hadis tersebut. Pertama, tentang status perawi pertama (Abu Bakrah) yang menurut sebagian kritikus hadis memiliki cacat moral. Kedua, asbab al-wurud mikro yang menurut penulis sangat politis, spesifik, dan tidak rasional jika dipaksakan untuk menjeneraliris realitas masyarakat yang berbeda baik ruang maupun waktu. Ketiga, social-setting makro dari masyarakat pada waktu itu yang masih sangat patriakhal, sehingga kepemimpinan perempuan masih perlu untuk dihindari karena perempuan pada waktu itu masih unqualified. Dengan demikian, adanya penafsiran yang kemudian menjadi alat untuk melegitimasi superioritas laki-laki dalam kepemimpinan, perlu untuk didekonstruksi. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial.
Dalam kepemimpinan, nilai yang dianggap paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi kemampuan, kapasitas, ghiroh, dan skill. Kepemimpinan erat kaitannya dengan politik, dalam hal ini perempuan memiliki hak politik yang sama dengan kaum laki-laki. Hak politik perempuan artinya hak untuk berpendapat, untuk menjadi anggota lembaga perwakilan, dan untuk memperoleh kekuasaan yang benar atas sesuatu seperti memimpin lembaga formal, organisasi, partai dan negara.
Sejauhmana seorang pemimpin dapat bertanggungjawab dengan semua kinerja secara professional, itulah kunci utama dalam sebuah kepemimpinan yang diserukan oleh Nabi dengan statemennya:
كلكم راع وكلكم مسوءول عم رعيته, متفـق علـيه عن ابن عمر به مرفوعا
Hadis tersebut dapat menjadi alat untuk membendung justice claim terhadap pelbagai stigma miring kepemimpinan perempuan. Adanya penafsiran secara parsial terhadap hadis yang dijadikan alat untuk memposisikan perempuan inferior dari laki-laki perlu untuk mendapat sentuhan kritis. Disinilah perlunya kita kembali kepada prinsip mengambil apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif yang sesuai dengan kondisi dimana dan kapan kita berada.



PENUTUP
Islam adalah agama paripurna yang memberikan solusi apa saja yang berkaitan dengan problematika kehidupan secara rinci dan global. Tidak ada satu pun yang tidak dapat terselesaikan dalam Islam. Termasuk dalam hal kepemimpinan wanita yang sering sekali kita dengar dengan istilah gender yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan termasuk halnya akan hakim wanita dan pembatasan wanita dalam perbuatan. Dengan mengadakan pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan dalam makalah ini, sudah sepatutnya kami selaku pemakalah akan mengambil inti atau kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut.
Pertama, bahwasanya kalau menyangkut hal-hak jabatan kekuasaan, termasuk pemimpin Negara maka Islam mengharamkan wanita sebagai kepala Negara yang mengaturnya. Walaupun system di Negara kita bukan Khilafah melainkan Republik.
Kedua, Qhadi dalam Islam masih terjadi perdebatan untuk menentukan boleh atau tidaknya dipegang oleh wanita. Namun selama tidak ada nash qath’I yang mengharamkan pekerjaan ini, maka masalahnya diserahkan kepada negaranya masing-masing. Ringkasnya masalah tentang qhadi wanita dalam Islam, tidak menjadi masalah negative dari sisi pengambilan dalil dan fatwa, yang mana masih membuka lebar-lebar bagi ahli fiqh yang mau memberikan sumbangsihnya dalam menyesaikan masalah ini.
Yang terakhi, bahwasanya Islam adalah agama yang mudah, baik untuk laki-laki dan perempuan dalam kaitannya hak dan kesempatan mereka dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagi kholifah di muka bumi ini.
Demikian kesimpulan yang dapat kami ambil dari apa yang yang ada dalam makalah kami ini, semoga kita sebagi ummat yang berada dalam agama yang sempurna sangat perlu dan wajib mempelajarinya sebagai calon pewaris Nabi yang terhindar dari hal-hal yang dapat menyesatkan kita. Amiin.










DAFTAR PUSTAKA

- Al Qur’an Al Karim.
- Ahmad, Khurshid.2007. Islam Its Meaning and Massage. The Islamic Fondation.
- A.W. Munawwir.1997. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Prograsif.
- Bahnasawi, Salim Ali.1996. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
- Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
- Engineer, Asghar Ali.1998. Hak-hak Perempuan Dalam Islam. Jakarta: LSSP.
- Hamim Ilyas, dkk. 2008. Perempuan Tertindas: Kajian Hadis-Hadis “Misoginis”.
Yogyakarta: elSAQ Press dan PSW.
- Imam Al-Qurthubiy. 1951. Al-Jaami’ Li Ahkam Al Qur’an. Cairo: Dar Al Sya’b.
- Jafar, M Anis Qasim.1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung: Zaman Wacana.
- Munir, Lily Zakiyah Munir. 1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Prospektif Islam. Bandung: Mizan.
- Sonhaji dkk. 1990. Al Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf.
- Subhan, Zaetunah. 2006Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: LKIS.
- Syamsuddin Muhammad as-Sikhawi. 1987. al-Maqosid al-Hasanah. Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- ______, 2006. Al-Qur’an dan Tafsirnya Edisi Yang Disempurnakan. Jakarta: Departemen Agama RI.

Internet
- Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita, www.angelfire.com.
- Kepemimpinan wanita Dalam Pandangan Islam, www.gaulislam.com
- Hak wanita Dalam Memimpin peradilan, www.pesantrenonline.com

Kamis, 24 Juni 2010

Penentuan Metode Penelitian

PENDAHULUAN
Apabila seseorang mengadakan penelitian, secara sadar atau tidak dalam dirinya ada cara memandang hal atau peristiwa tertentu. Mengapa dia bertindak dan berperilaku demikian? Tidak lain karena dirinya sudah terbentuk satu perangkat kepercayaan yang di asarkan atas asumsi-asumsi tertentu. Cara memendang demikian merupakan paradigma,dan jika seseorang mengadakan penelitian kualitatif, ia perlu mendalami paradigma yang menyertainya.
Ada persoalan lain adalah kausalitas, apakah hal itu layak dilaksanakan jika penelitian ini mendasarkan diri pada upaya menemukan teori dari data? Persoalan lain yang perlu diungkapkan ialah cara peneliti berperilaku dalam mengungkapkan peristiwa, keadaan situasi, kebudayaan, organisasi, dan semacamnya. Apaakah cara pendekatan yang digunakan itu meninjau dirinya, etik, ataukah dari segi dunia yang dihadapinya, dari segi subyek, situasi,dan latar yang dihadapinya.
Suatu penelitian, siapapun yang yang melakukan, dan apapun format penelitian yang digunakan, tentunya akan berlangsung dari tahap ke tahap. Adapun tahap-tahap ynag lazimnya dilalui pada setiap penelitian ialah : Pemilihan dan analisis masalah penelitian, penentuan metodologi penelitian yang akan digunakan, pengumpulan data, analisis, dan interpretasi data, serta penyusunan laporan penelitian.
Dalam makalah ini kami akan membahas pokok persoalan, yaitu menentukan metode penelitian yang di gunakan. Kami sadar dan memahami, bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan pertimbangan kami dalam proses penyempurnaan makalah ini. Terima kasih.












PEMBAHASAN
A. Penentuan Metode Penelitian
Keguanaan metodelogi penelitian dalam sebuah penelitian sangat penting, mengingat dengan motode penelitian yang realbility terhadap obejek penelitian,akan menghindarkan masuknya faktor subjektifitas penelitian dalam sebauh penelitian, untuk menentukan apakah sebuah penelitian layak dilakukan, dapat juga dilihat dari aspek metodologi penelitian yang digunakan, metodologi penelitian merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif yang dapat digunakan dalam penelitian efek media dalam ilmu komunikasi. Pada dasarnya didalam penggunaan metode penelitian dalam suatu penelitian tidak ada yang mutlak, artinya suatu metode penelitian baik itu metode kualitatif ataukah metode kuantitatif tidak dapat dikatakan sama benar dan lebih unggul dari yang lainnya. Oleh sebab itu, adalah cukup naif manakala mengemukakan tentang keunggulan yang didasarkan pada penonjolan angka-angka, tanpa memperhatikan jenis bentuk, atau hakekat penelitian atau yang lebih jauh lagi yaitu, manfaat bagi hakekat kemanusian.
Dengan demikian, penggunaan suatu metode penelitian yang cocok dalam sebuah penelitian terletak pada tujuan penelitian itu sendiri serta sejauh mana penelitian itu berdaya guna untuk memecahkan persoalan kemanusiaan serta meningkatkan kesejahteraan insaniah, bukanlah semata-mata bertumpuh pada metode penelitian yang digunakan. mengemukakan bahwa penelitian seorang ilmuwan bukan hanya terletak pada kemampuan berpikirnya belaka, tetapi seharusnya termasuk pada kedewasaan sikap dan tindakan.
Dalam membaca etnografi dengan kritis memerlukan perhatian pada konsep-konsep yang digunakan dan referensinya. Peneliti yang mengambil cara pemikiran (Modes of Thought) pada teori atau kebudayaan sebagai fokus analisis dan deskripsinya itu mengemukakan suatu sistem ide atau gagasan yang memandu tindakan-tindakan para individu dan mempersiapkannya sebagai tolak ukur penafsiran atau pemberian makna pada tingkah lakunya sendiri dan tingkah laku orang lain.
Bagi peneliti yang menggunakan cara tindakan (Modes of action) atau proses, maka dari fokus studinya itu mengungkapkan tingkah laku nyata dari para individu, menafsirkan tingkah laku seperti itu dengan referensi pada ide yang terkait dengan individu dan juga
faktor lainnya seperti tekanan lingkungan terhadap tingkah laku. langkah berikutnya ialah penentuan metodologi penelitian yang akan digunakan, sehingga masalah-masalah tadi dapat terjawab secara tepat dan teradalahkan keshahihannya. Penentuan metodologi penelitian ini, sering pula disebut dengan”strategi pemecahan masalah” karena pada tahap ini, mempersoalkan “bagaimana” masalah-masalah penelitian tersebut hendak dipecahkan atau ditemukan jawabannya.
Pada tahap ini, yang perlu di tentukan adalah :
1. Jenis, atau format penelitian yang akan digunakan. Mengenai jenis, atau format penelitian yang digunakan, pada dasarnya menunjuk pada tipe pendekatan penelitian yang akan digunakan; apakah studi kasus, ataukah untuk tujuan eksplanasi; dan apakah unit studinya individu, ataukah unit studinya kelompok. Format penelitian kuantitatif tergantung pada permasalahan dan tujuan penelitian itu sendiri. Dalam metodologi penelitian kuantitatif terdapat dua format penelitian, yaitu
a. format deskriptif
b. format eksplanasi.
Format Deskriptif : Penelitian kuantitatif dengan mengunakan format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat, yang menjadi obyek penelitian ini, berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat ke permukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tersebut. Pada umumnya penelitian ini menggunakan statistik induktif untuk menganalisis data penelitiannya. Format deskriptif ini dapat dilakukan pada penelitian studi kasus dan survei, sehingga terdapat format deskriptif studi kasus dan format deskriptif survei.
Format deskriptif studi kasus memiliki ciri-ciri yang tidak menyebar, tetapi lebih memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai variabel, sehingga memungkinkan studi yang dilakukan dapat mendalam terhadap sasaran penelitian. Untuk mencapai maksud tersebut, peneliti membutuhkan waktu yang relatif lama dalam penelitiannya. Disamping itu, ciri lain dari deskriptif studi kasus adalah merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peran yang sangat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai variabel yang diteliti. Penelitian ini sesungguhnya hanya menggunakan kasus tertentu atau sebuah wilayah tertentu sebagai obyek penelitian, sehingga bersifat kasuistik terhadap obyek penelitian.
Format deskriptif survei memiliki ciri yang berlainan dengan studi kasus, tetapi sifatnya yang deskriptif membuat penelitian ini tidak jauh beda dengan studi kasus. Pada survei ciri penyebaran ditonjolkan dihampir semua pengungkapannya, dan karena populasinya yang luas menyebabkan penelitian ini tidak mampu mencapai data yang mendalam, sebagaimana studi kasus. Ketidakmampuan tersebut menyebabkan survei bersifat dangkal dan hanya dipermukaan saja, akan tetapi dengan survei memungkinkan mengeneralisasi suatu gejala tertentu terhadap gejala yang populasinya lebih besar. Dengan populasi yang besar tersebut maka dimungkinkan untuk menggunakan sampel dalam suatu penelitian sehingga akan meringankan peneliti.
Format Eksplanasi : Format Eksplanasi dimaksudkan untuk menjelaskan suatu generalisasi sampel terhadap populasinya atau menjelaskan hubungan, perbedaan atau pengaruh dari satu variabel terhadap veriabel yang lain. Oleh karena itu, dalam format eksplanasi peneliti menggunakan sampel dan hipotesis penelitian. Beberapa pendapat para ahli juga mengatakan bahwa penelitian eksplanasi dapat digunakan untuk mengembangkan dan menyempurnakan teori, dan disamping itu penelitian eksplanasi juga memiliki kredibilitas untuk mengukur, menguji hubungan sebab akibat dari dua atau lebih variabel dengan menggunakan analisis statistik inferensial (induktif). Penelitian dengan format eksplanasi dapat dilakukan dengan survei dan eksperimen.
Dalam format eksplanasi survey, peneliti diwajibkan membangun hipotesis penelitian dan mengujinya di lapangan, karena format ini bertujuan mencari hubungan sebab akibat dari variabel-variabel yang diteliti. Dengan demikian, alat utama yang digunakan untuk analisis data adalah statistik inferensial. Sedangkan format eksplanasi eksperimen, disamping memiliki sifat-sifat yang hampir sama dengan eksplanasi survei, juga lebih bersifat laboratoris, artinya dalam eksperimen mengutamakan cara-cara memanipulasi obyek penelitian yang dilakukan sedemikian rupa untuk tujuan penelitian.
Dalam penelitian eksplanasi eksperimen terdapat variabel yang dimanipulasi dan variabel yang tidak dimanipulasi, selain itu untuk mengontrol pengaruh kedua varibel tersebut digunakan variabel kontrol.
2. Metode, sumber, dan alat pengumpulan data (untuk survai disertai teknik pengambilan sample, dan untuk eksperimen disertai pola eksperimen yang akan dilakukan). Ini juga perlu ditentukan; apakah metode pengumpulan datanya wawancara, ataukah angket, ataukan documenter, ataukah tes, ataukah observasi, atau lainnya; apakah sumber datanya (kalau orang, siapa orangnya dan untuk mendapatkan data yang mana; kalau dokumen, dokumen apa saja, dan untuk mendapatkan data yang mana; kalau situasi atau kondisi, situasi atau kondisi apa saja, dan untuk mendapatkan data yang mana); apa dan bagaimanakah alat pengumpulan datanya (apakah pedoman wawancara, ataukah panduan observasi, ataukah form isian dokumentasi, ataukah, ataukah angket, ataukah soal-soal tes; dan bagaimanakah alat-alat tersebut disusun atau dikembangkan, sehingga memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas). Masih dalam hubungan ini, bila survai yang digunakan,perlu ditegaskan populasinya, serta tekhnik pengambilan sampel yang akan dilakukan. Bila hasil penelitian akan di generalisasikan (kesimpulan data sample yang dapat diberlakukan untuk populasi) maka sample yang digunakan sebagai sumber data harus representative dapat dilakukan dengan cara mengambil sample dari populasi secara random sampai jumlah tertentu. dan bila eksperimen yang digunakan, perlu dinyatakan secara tegas pola eksperimen yang akan dilakukan.
3. setrategi analisis data. Pada dasarnya menunjuk pada bagaimana data (yang hendak dikumpulkan) akan diolah, dianalisis, dan diinterpresentasikan untuk menjawab masing-masing masalah dan hipotesis.
Hasil tahap pertama (pemilihan dan analisis masalah ) dan hasil tahap kedua (penentuan metodologi penelitian), lazimnya dituangkan dalam dessain atau rancangan penelitian; semacam “cetak biru”(blue print) suatu penelitian yang akan dilaksanakan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin, teori yang grounded. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. Dalam kenyataannya, analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data dari pada setelah selesai pengumpulan data.
B. Penentuan Metode dan Instrumen
Telah di pahami beberapa metode dan instrument pengumpulan data. Masing-masing metode dan instrument mempunyai kebaikan dan keburukan. Dalam melaksanakan satu penelitian biasanya digunakan lebih dari satu metode atau instrument, agar kelemahan yang satu dapat ditutup dengan kebaikan yang lain.kadang-kadang suatu metode merupakan keharusan untuk dipakai dalam penelitian. Tetapi kadang-kadang merupakan salah satu alternative saja, sehingga pilihan metode yang dapat digunakan dapat dipilih-pilih.
Tidak sedikit peneliti yang mengacaukan pengertian metode dengan instrument. Sebetulnya kedua hal tersebut berkaitan, dan peneliti juga harus dapat memahami kaitannya.
• Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitinya. Variasi metode dimaksud adalah: angket, wawancara, pengamatan atau observasi, tes,dokumentasi.
• Instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah dioalah. Variasi jenis instrument penelitian adalah: angket, ceklis(check-list) atau daftar centang, pedoman wawancara, pedoman pengamatan. Ceklis sendiri memiliki wujud yang bermacam-macam.
Dengan demikian maka dapat dikatakan : “ peneliti di dalam menerapkan metode penelitian menggunakan instrument atau alat, agar data yang diperoleh lebih baik”.
Pemilihan metode dan instrument penelitian sangat ditentukan oleh beberapa hal, yaitu: objek penelitian, sumber data, waktu dan dana yang tersedia, jumlah tenaga peneliti, dan teknik yang akan digunakan untuk mengolah data bila suddah terkuumpul. Mungkin saja seseorng ingin sekali menggunakan metode wawancara untuk mengumpulkan data tetapi karena waktu yang tersedia sempit, lalu menggunakan angket. Demikian juga mungkin peneliti ingin menggunakan mmetode pengamatan secara cermat terhadap objek, tetapi metode pengamatan memerlukan waktu lama dan keterampilan yang memmadai.
Dibandingkan antara wawancara dan pengamatan metode angket memang lebih praktis. Angket juga memiliki kelemahan. Oleh karena itu penentuan metode penelitian memerlukan pemikiran dan pertimbanagan yang matang.
Untuk melengkapi penjelasan tentang hubungan antara metode dengan instrument, berikut ini disampaikan uraian tentang metode dan instrument dalam kaitannya sumber data.
Contoh: misalnya penelitian dengan variabeel :
“kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas”.
Agar diperoleh data yang lengkap yang betul-betul menjelaskan kualitas belajar-mengajar dari berbagai segi, peneliti, mengumpulkan data dari beberapa sumber data, antara lain : guru (orang), siswa(orang), proses belajar-mengajar yang sedang beralngsung (tempat), kondisi dan sarana fisik (tempat), catatan yang dimiliki oleh siswa(kertas), dan daftar nilai(kertas). Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena social maupun alam. Meneliti dengan data yang sudah ada lebih tepat kalau dinamakan membuat laporan dari pada melakukan penelitian. Namun demikian dalam skala yang palin rendah laporan juga dapat dinyatakan sebagai bentuk penelitian.
Karena pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrument peneliitian. Jadi instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomene alam maupun social yang diamati. Secara speesiffik semua fenomena ini disebut variable penelitian. Jika peneliti ingin cermat, maka perlu digunakan tabel kisi-kisi tentang hubungan hal-hal tersebut.
Dalam menentukan sumber data, jenis metode pengumpulan data dan instrument penelitian, peneliti sangat perlu mempertimbangkan beberapa hal lain, yaiitu tenaga, waktu, dana dan factor-faktor pendukung maupun penghambat. Namun untuk langkah awal, agar pada akhirnya diperoleh metode dan instrument yang tepat, sebaiknya peneliti berfikir ideal dahulu, sesudah itu baru mempertimbangkan factor-faktor tersebut.

















PENUTUP
Kesimpulan
Pada langkah penentuan metodologi penelitian yang akan digunakan, pada tahap ini yang perlu ditentukan adalah:
- jenis atau format penelitian yang akan digunakan
- metode, sumber dan alat pengumpulan data
- strategi analisis data.
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitinya. Pemilihan metode dan instrument penelitian sangat ditentukan oleh beberapa hal, yaitu: objek penelitian, sumber data, waktu dan dana yang tersedia, jumlah tenaga peneliti, dan teknik yang akan digunakan untuk mengolah data bila suddah terkumpul.

Daftar pustaka :

Ari kunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996)
Syamsir Salam, Jaenal Arifin, Metodologi Penelitian sosial, ( Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung : Alfabet, 2009)
http://pksm.mercubuana.ac.id
www.format penelitian.com

tafsir ayat-ayat tentang manusia

Pendahuluan
Al-qur’an merupakan kitab Allah yang terakhir diturunkan ke bumi. Sebagai kitab penutup, Al-qur’an melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Al-qur’an terdiri dari beberapa ayat. Akan tetapi, isinya mencakup semua aspek-aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Dari satu ayat dapat ditarik beberapa hukum bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung dalam ayat tesebut. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan Rahmat bagi umat manusia. bagaimana dimensi tentang manusia merupakan acuan, dengan beberapa perbedaan pendapat dan kesimpulan mudah-mudahan kita bisa mentadaburi dan mengetahui, aspek-aspek, dimensi dan hakikat manusia.

Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan ayat-ayat tentang manusia dengan menitik beratkan kepada kosa kata, syarah, tafsir dan pesan ayat tersebut.
Pembahasan
A. Pengertian
Secara bahasa lafal berasal dari bahasa arab yang berarti tanda, sedangkan secara istilah : Ayat adalah sekumpulan dari kalam Allah SWT. Yang bertingkat-tingkat dalam suatu surat dari Al-quran.”
Sedangkan Manusia dalam Al-Quran ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.
l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
2. Menggunakan kata basyar.
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.





B. Surah At-tin 1-6
Kesempurnaan Penciptaan Manusia
 •                              
Artinya: Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun 2 Dan demi bukit Sinai, 3. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman,4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .5. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Syarah
Dalam ayat-ayat ini Allah menyuruh manusia supaya benar-benar memperhatikan nikmat karunia Allah swt. Untuk menambah kekuatan iman dan tauhid kepada kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Yang tiada tara bandingannya.
Kemudian dalam ayat-ayat ini Allah juga menyuruh kita memperhatikan buah yang kita makan untuk mengenal betapa besar nikmat karunia Allah swt. Dalam segala apa yang disediakan untuk kepentingan kebutuhan manusia, setelah menyebut makanan jasmani buah tin dan zaitun maka mengingatkan kepada wahyu yang diturunkan Allah di atas bukit Thur sina dan kota Mekkah yang keduanya merupakan perlengkapan hajat kebutuhan manusia sebagai makhluk yang terdiri, dari jasmani dan rohani. Bila makanan jasmani sudah terpenuhi maka jangan lupa makanan rohani lebih penting bahkan lebih utama, sebab kepentingan jasmani dalam hidup sementara sedang kepentingan sedang kepentingan rohani untuk kehidupan yang kekal abadi selanjutnya. Karena itu Allah mengingatkan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam kejadian yang seindah-indahnya, cantik, tampan, dan gagah perkasa, tetapi kemudian terjerumus dalam lembah kehinaan yang serendah-rendahny, kecuali orang tetap beriman, patuh, taat, dan Islam menyerah kepada Allah maka merekalah yang akan tetap mulia bahkan mendapat tempat kedudukan di sisi Allah dengan segala pahala dan kesenangan, kepuasan, kenikmatan yang tidak terbatas.
Kosa kata : Asfala 
Kata asfala adalah bentuk superlatif dari kata as-sufl, as-safl, as-sufalah/as-safalah. Dalam bahasa Arab, kata asfala dan bermakna rendah, antonym tinggi. Dengan demikian asfala berarti paling rendah, tetapi kemudian maknanya berkembang dalam bentuk metafor yang menunjukan kerendahan martabat dan kehinaan.
Dalam Al-quran ditemukan setidaknya tiga makna kata asfal;
1. Paling bawah.
2. Paling merugi.
3. Paling hina.
Jika dikaitkan dengan sebelumnya (summa radadnahu), maka kedudukannya adalah untuk menggambarkan keadaan saat manusia dikembalikan, yaitu dikembalikan ke tempat (neraka) yang paling rendah dan hina). Ikrimah dan Qatadah, memahami ayat tersebut dengan pengembalian kepada keadaan lemah dan bentuk yang tidak lagi bagus karena lanjut usia, setelah sebelumnya tercipta dalam bentuk sebaik-baiknya.
Tafsir
a. Manusia yang paling baik dan sempurna kejadiannya itu akan menjadi tidak berguna bila tidak dijaga pertumbuhannya dan tidak dipelihara kesehatannya. Manusia yang paling sempurna rohaninya itu akan menjadi jahat dan merusak di muka bumi ini bila tidak diberi agama dan pendidikan yang baik. Manusia yang lemah akan menjadi beban, dan manusia yang jahat akan merusak masyarakatnya. Akhirnya di akhirat ia akan masuk neraka. Dengan demikian manusia itu akan menjadi makhluk terhina.
b. Yang terhindar dari kehinaan itu adalah orang-orang yang beriman dan berbuat baik. Manusia yang memiliki sikap hidup yang didasarkan atas iman dan perbuatan baik itu akan memperoleh balasan dari Allah tanpa putus-putusnya. Iman dan perbuatan baiknya itu akan berbuah di dunia, berupa kesentosaan hidup baginya dan bagi masyarakatnya, dan kebahagian hidup di akhirat di dalam surga.
Pesan
a. Manusia yang paling sempurna kejadiaannya itu bisa berubah menjadi manusia yang rusak dan menjadi beban bagi masyarakat bila jasmaninya tidak dibina dan kesehatannya tidak dipelihara.
b. Manusia yang tersempurna rohaninya itu akan merusak masyarakat bila tidak diberi agama dan pendidikan yang paling baik. Akhirnya di akhirat ia akan masuk neraka, dan karena itu menjadi makhluk terhina.
c. Tolak ukur kemuliaan adalah iman dan buku iman itu yaitu perbuatan baik.
C. Surat Al-A’raf 7 : 175-176
Perumpamaan Manusia Yang Mandustakan Ayat-Ayat Allah
                  •    •                         
Artinya: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

Kosa kata :  
Perumpamaan bagaikan anjing, artinya bagaikan anjing yang selalu mengulurkan lidahnya dalam segala hal, selalu menjilat-jilatdan tidak berguna baginya iman dan pengetahuannya.
Tafsir
Allah memberikan perumpamaan orang yang hina ini, yang Allah datngkan ayat-ayat-Nya, lalu ia melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, (diumpamakan) dengan seekor anjing. Tidaklah kehinaan anjing itu membuat Allah enggan dengan memberikan perumpamaan dengannya. Demikian juga Allah memberikan perumpamaan dengan seekor lalat pada surah Al-hajj 22 : 73, perumpamaan dengan rumah laba-laba pada surat Al-ankabuut 29 : 41, perumpamaan dengan seekor keledai pada surat Al-Jumu’ah 62 : 5.
Ayat ini diturunkan menceritakan kepada kita kisah Bal’am, untuk mengingatkan kepada kita bahwa meskipun seorang itu sudah mencapai ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang dicapai oleh para Nabi tetapi lalu ia maksiat condong kepada dunia, maka akhirnya bernasib sebagaimana Bal’am yang disebut oleh Allah : Famatsaluhu kamatsalil kalbi in tahmil alaihi yalhats atau tatrukhu yalhats. Orang itu contohnya bagaikan anjing yang selalu mengulurkan lidahnya dalam segala hal, selalu menjilat-jilat dan tidak berguna baginya segala peringatan, ancaman, dan nasihat, tidak berguna baginya iman dan pengetahuannya. Karena itulah ayat ditutup dengan kalimat : Faqshusil qashasha la’allahum yatafakkarun: Ikutilah kisah ini supaya mereka berpikir dan memperhatikan.
Pesan
Wahai manusia, mawas diri dan berhati-hatilah dengan duniamu dan janganlah kamu terlena dengannya sehingga terjadi seperti itu.



D. Surat Al-Isra’ : 70
Manusia Makhluk Yang Dimuliakan Allah

                 
Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Kosa kata : Karramna 
Kata karramna diambil dari akar kata karaman yang berarti kemuliaan Karaman yang berarti Kami (Allah) telah memuliakan. Adanya tasydid pada lafaz karrama menunjukkan banyaknya kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia, adalah anugerah berupa keistimewaan yang sifatnya internal. Dalam konteks ayat ini, manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugrahkan kepada selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati, walaupun ia telah menjadi mayat. Darah, harta, dan kehormatan manusia tidak boleh dialirkan dan dirampas begitu saja. Semuanya harus dihormati dan dimuliakan.
Tafsir
Allah memuliakan Bani Adam yaitu manusia dari makhluk-makhluk yang lain, baik malaikat, jin, semua jenis hewan, dan tumbuh-tumbuhan, kelebihan manusia dari makhluk-makhluk yang lain berupa fisik maupun non fisik, sebagaimana firman Allah :
                     
Artinya: 4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Selain diberi panca indra yang sempurna, manusia juga diberi hati yang berfungsi untuk menimbang dan membuat keputusan. Firman Allah :
    •            
Artinya : ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Meskipun demikian, banyak manusia yang tidak menyadari akan ketinggian derajatnya sehingga tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala ;
  •                               
Artinya ; ” Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi.”
Pesan
a. Ingatlah!! Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling mulia di antara kebanyakan makhluk-Nya karena mereka memiliki akal, rupa yang indah, dan bentuk badan yang serasi.
b. Ingatlah!! pada hari perhitungan, manusia akan dihimpun dengan membawa kitab masing-masing yang memuat catatan yang lengkap mengenai amal mereka.
c. Ingatlah!! orang yang ketika hidup di dunia tidak mau menggunakan akalnya untuk memperhatkan tanda-tanda kekuasaan Allah, akan menjadi orang yang buta hatiny. Di akhirat, mereka akan mengalami keadaan yang sama, bahkan mereka lebih buta dan tidak dapat mencari jalan yang bisa menyelamatkan mereka dari siksaan api negara.
E. Surat Al-Mukminun : 5
Manusia Menjaga Kemaluan Dari Perbuatan Keji
    
Artinya : ”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.”
Kosa kata
Kata () hafizhun terambil dari kata ( حفظ)hifz yang antara lain berarti memelihara
atau menahan. Yang dimaksud adalah memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang tidak dibenarkan agama, serta menahannya sehingga selalu terawasi dan tidak tergelincir dalam keburukan. Bahkan boleh jadi pemeliharaan ini meluas maknanya sehingga mencakup tuntunan Nabi saw. Agar memelihara calon pasangan yang tepat dan baik, tidak hanya berdasar kecantikan dan ketampanan saja.
Kata ( فروج ) furuj adalah jamak dari kata ( فرج ) farj yang pada mulanya dimaksudkan dalam arti segala yang buruk diucapkan pada pria atau wanita. Dari sini kata tersebut biasa diterjemahkan dengan alat kelamin.
Tafsir
Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat kelima dari orang mukmin yang berbahagia, yaitu suka menjaga kemaluannya dari setiap perbuatan keji seperti berzina, mengerjakan pekerjaan kaum luth (homoseksual), onani, dan sebagainya. Bersenggama yang diperbolehkan hanya dengan istri yang telah dinikahi dengan sah atau dengan jariahnya (budak perempuan) yang diperoleh dari jihad fisabilillah, karena mereka dalam hal ini tidak tercela.
Akan tetapi, barang siapa yang berbuat di luar yang tersebut itu, mereka itulah orang-orang yang melampau batas. Dalam ayat ini dan yang sebelumnya Allah menjelaskan bahwa kebahagiaan seorang hamba Allah itu tergantung kepada pemeliharaan kemaluannya dari berbagai penyalahgunaan supaya tidak termasuk orang yang tercela dan melampaui batas.
Menahan ajakan, hawa nafsu, jauh lebih ringan dari pada menanggung akibat dari perbuatan zina itu. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya supaya menyampaikan perintah itu kepada umatnya, agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.
Pesan
Jagalah kemaluan kalian selama hidup di dunia, janganlah berhubungan badan melainkan hanya dengan istri. Hindari sesuatu yang menimbulkan dampak negatife dari dorongan penyaluran seksual secara tidak sah. Dari segi sosial zina dapat berakibat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Sedangkan dari segi kesehatan fisik, efek negatif zina antara lain dapat mengakibatkan penyakit gonore, spilis (raja singa) dan luka, dll.
F. Surat Ali Imran 3:102
Manusia Yang Paling Mulia di Hadapan Allah
     •   •    
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam
Kosa kata : At-Tuqah
Artinya taqwa, sama dengan kata At-Taudah, yang berasal dari kata Itta’ada
(perlahan-lahan).
Tafsir
Wajib bagi kamu bertaqwa dengan benar kepada Allah dengan cara melaksanakan
Ayat lain yang sama maknanya adalah firman Allah swt. :
•                 
Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
Artinya bersungguh-sungguhlah kamu bertaqwa kepada-Nya sekuat kamu.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa bertaqwa kepada Allah, hendaknya bermujahadah kepada-Nya, benar-benar jihad dalam arti tidak mundur sedikit pun karena mendapatkan celaan, menegakkan kebenaran secara adil, sekalipun terhadap diri mereka, ayah-ayah mereka, dan ibu-ibu mereka.
Janganlah kamu sekali-kali mati melainkan jika kamu benar-benar dalam keadaan ikhlas kepada Allah, tidak menjadikan sekutu bagi-Nya dengan siapa pun. Dengan kata lain janganlah kamu berperangai selain dari Islam, bila kamu kedatangan ajalmu.
Pesan
Tetaplah kamu dalam Islam peliharalah kewajiban-kewajibannya, dan tinggalkanlah larangan-larangan sampai mati.











DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI (DEPAG). Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta : DEPAG, 2006.
_________________________. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta : DEPAG, 2008.
Syaikh.Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul bayan ; penerjemah, Bari, Rivai, Muhammad. Jakarta : Pustaka-Azzam, 2007.
M. Quraish Shihab,. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta : Lentera Hati, 2002.
M. Mutawali Sya’rawi,. Terj. Tafsir Sya’rawi. Penerjemah, Ikatan Alumni Universitas al- Azhar Mesir di Medan. Jilid kedua. Jakarta : PT. Ikrar Mandiriabadi, 2005.
Ahmad Mustafa Al-Maragi,. Terj. Tafsir Al-Maragi. Penerjemah, Bahrun Abu Bakar, Lc. Dan Drs. Hery Noer Aly. Juz IV. Semarang : CV. Toha Putra Semarang, 1993.
Ibnu Katsier, Terj. Tafsir Ibnu Katsier. Penerjemah, H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2004.

WALIMAH AL-‘URSY

PENDAHULUAN
Pernikahan memiliki berbagai dampak yang penting dan berbagai konsekuensi yang besar. Pernikahan merupakan ikatan antara suami istri, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, baik hak badan, hak sosial, maupun hak harta.
Orang yang menikah hendaklah mengadakan walimah (perayaan) menurut kemampuannya, memberi hidangan dengan mengundang orang banyak, diperuntukkan pada acara yang diadakan sebagai wujud kebahagiaan atas pernikahan, disamping itu agar keluarga dekat atau kerabat yang memiliki hubungan dengannya, seperti saudara, paman dan tetangga mereka, ia memiliki hak kekerabatan sesuai tingkat kedekatan dengannya dan mereka mendoakan keluarga yang punya hajat.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ bahwa rasulullah saw. Bersabda, “Hidangan pesta pada hari pertama adalah hak (benar), hidangan pesta pada hari kedua adalah sunnah, sedangkan hidangan pesta pada hari ketiga adalah sum’ah ( untuk pamer). Orang yang memperdengarkan diri(agar dipuji orang). Maka Allah memperdengarkan diri dengannya.”(HR. Abu Daud dan Ahmad).
Al Bukhari dalam Shahih Al-bukhari berkata, Nabi saw. Tidak pernah menentukan batas dalam menyelenggarakan pesta, sehari atau dua hari.”Jadi, seseorang boleh saja menyelenggarakan pesta lebih dari sehari, hingga dua atau tiga hari, akan tetapi yang mendekati sunnah adalah pesta dalam sehari dan satu kali pesta.
Oleh sebab itu, lewat makalah inilah kami akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan walimah al-‘ursy. Yang mana pada makalah ini kami akan membahas tentang pengertian, dasar hukum, hukum menghadiri, hikmah walimah dll.
Sebagai seorang penulis tentunya kami merasa bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna yang tentunya masih perlu penambahan dan perbaikan. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan pertimbangan kami dalam proses melangkah jauh ke depan untuk dapat menyempurnakan makalah ini.




PEMBAHASAN
WALIMAH AL-‘URSY
A. Pengertian Walimah
Kata walimah ( ) jama’ dari kata walaim ( ) artinya jamuan, pesta. Kata al-‘ursy artinya perkawinan, jadi walimah al-‘ursy berarti pesta perkawinan.
Dari segi bahasa walimah ( ) artinya Al-jam’u= kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat, dan para tetangga.
Sedangkan dari segi istilah walimah ( ) berasal dari kata Arab Al walima artinya makanan pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam cara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Walimah adalah :
“Yaitu makanan yang di buat untuk pesta perkawinan”
Memberi hidangan dengan mengundang orang banyak ada sembilan macam ;
1. Walimah untuk acara pengantinan ( al Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa sebutan “walimah” diperuntukkan pada acara yang diadakan sebagai wujud kebahagiaan atas pernikahan atau khitan atau acara lainnya. Namun demikian penggunaan kata “walimah” biasa diguinakan untuk walimah Al-‘Ursy)
2. Khars,yakni makanan yang disajikan untuk para undangan pada peristiwa persalinan
3. Makanan yang disajikan untuk para undangan pada acara bayi yang baru lahir dinamakan aqiqah
4. I’dzar, walimah khitan atau lainnya
5. Wakirah (diambil dari kata al-wakr, artinya tempat kembali) yakni acara syukuran setelah membangun rumah
6. Naqi’ah, acara penyambutan orang yang pulang dari perjalanan jauh (musafir)
7. Wadhimah, acara yang diadakan karena ada musibah
8. Imlak, acara makan-makan pada akad perkawinan, dinamakan juga walimah syandaghi, dan
9. Ma’dubah, acara yang diadakan tanpa ada sebab tertentu
Walimah Al-‘ursy diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Walimah bisa juga diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
B. Dasar Hukum Walimah
Orang yang menikah hendaklah mengadakan perayaan menurut kemampuannya. Mengenai hukum perayaan tersebut, sebagian ‘ulama mengatakan wajib, sedangkan yang lain hanya mengatakan sunnah.
Sabda Nabi saw. Kepada Abdul Al- Rahman Bin ‘Auf sewaktu dia menikah:

“Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Walimah al- ‘ursy hukumnya sunnah muakkad, bagi sang suami yang Rasyid dan wali suami yang tidak rasyid, diambilkan dari harta milik suami. Paling sedikit walimah tidak ada batasnya, tapi yang lebih afdhal bagi yang kuasa adalah seekor kambing. Waktunya yang paling afdhal mengadakan walimah al-Ursy adalah setelah terjadi pesetubuhan, sebagai ittiba’ Rasulallah saw, dilaksanakannya sebelum persetubuhan setelah akad adalah telah memperoleh asal kesunnahannya. walimah Al-‘ursy diselenggarakan pada waktu malam hari adalah lebih utama.
Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah muakkad. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw.

Dari Anas, ia berkata; Rasulullah saw. Belum pernah mengadakan walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Buraidah, ia berkata: ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah saw bersabda; sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya” (HR. Ahamad)

Rasulallah saw. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud gandum”(HR. Bukhari)
Beberapa hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu di tujukan olen Nabi saw. Bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan mebedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuakan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.
C. Hukum Menghadiri Walimah
Adapun memenuhi undanagan walimah (resepsi/pesta) perkawinan hukumnya wajib, karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
a. Tidak ada ‘udzur syar’i
b. Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan mungkar
c. Tidak memvedakan kaya dan miskin.
Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadits Nabi saw sebagai berikut :
Jika salah seorang di antaramu diundang makan, hendaklah diijabah (dikabulkan, jika ia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki tinggalkanlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda;

Barang siapa tidak menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari)
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka tidak wajib mendatanginya, tidak juga sunnah. Misalnya orang yang mengundan berkata; wahai orang banyak! Datangilah setiap orang yang kamu temui.
Wajib bagi orang yang tidak terhalang udzur jum’at dan sang qadhi menghadiri walimah al-‘ursy yang diselenggarakan setelah akad nikah bukan sebelum akad jika mempelai yang muslim itu memanggilnya sendiri atau utusan wakilnya yang kepercayaan atau juga untuk anak mumayiz(sudah dewasa) yang tidak diketahui berkata dusta, serta undangan diberikan merata kepada segenap orang-orang yang disebut sifatnya sesuai maksud pengundang, misalnya segenap tetangga dan sanak familinya atau segenap handai tolan atau teman satu kerjanya. Disyaratkan juga hendaknya dengan menghadiri walimah tidak membuat terjadi kesendirian yang haram dilakukan, undangan walimah orang wanita dihadiri oleh wanita juga bila mendapat izin suami atau atau tuan pemiliknya, tidak boleh dihadiri oleh orang laki-laki kecuali jika disana terdapat penghapus haramnya kesendirian semisal adanya mahram lelakinya wanita pengundang atau mahram lelaki atau teman wanita (istrinya) lelaki yang hadir itu.
Ada ‘Ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ‘Ulama yang mengatakan sunnah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ‘ulama, adalah sunnah muakkad. Sebagain golongan Syafi’i berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur sahabat dan tabi’in, karena hadits-hadits di atas memberikan pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.
Secara rinci, undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a). Pengundangnya mukallaf, merdeka, dan berakal sehat.
b). Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja, sedangkan orang miskin tidak
c). Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi dan dihormati
d). Pengundangnya beragama islam (pendapat yang lebih sah)
e). Khusus pula dihari pertama (pendapat yang terkenal)
f). Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain, maka yang pertama harus didahulukan.
g). Tidak diselenggarakan kemungkaran dan hal-hal lain yang menghalangi kehadirannya.
h). Yang di undang tidak ada udzur syarak.
Memerhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja, hukumnya adalh makruh.
Nabi Muhammad saw, bersabda :

Dari Abu hurairah ra. Bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda, “ makanan yang palng jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya). Barang siapa tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR. Muslim).
Dalam riwayat lain juga disebutkan:

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “ sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin.” (HR. Bukhari)
D. Hikmah Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah), antara lain sebagai berikut:
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah.
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri.
5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
6. Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antar mempelai telah resmi menjadi suami istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.
Di samping itu, dengan adanya walimah al-‘ursy kita dapat melaksanakan perintah Rasulullah saw. Yang menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan walimah al-ursy walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.












PENUTUP
Kesimpulan:
Walimah adalah makanan yang disajikan sebagai tanda kebahagiaan dalam resepsi pernikahan, akad nikah dan sebagainya.
Mengenai hukum perayaan tersebut, sebagian ‘Ulama mengatakan wajib, sedangkan yang lain hanya mengatakan sunnah. Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah muakkad.
Adapun memenuhi undangan walimah (resepsi/pesta) perkawinan hukumnya wajib, karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya. Ada ‘Ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ‘Ulama yang mengatakan sunnah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas.
Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ‘ulama, adalah sunnah muakkad. Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah)
Daftar Pustaka:
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Aliy ‘As’ad, Fathul Mu’in terj, Kudus: Menara Kudus, 1979.
M. A. Tihami, Sahrani, Sohari, Fiqih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1994
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyyah Berdasarkan Al qur’an dan Hadits, Jakarta: PT.Niaga Swadaya,2010.




HUKUM SYARA’ TENTANG WALIMAH
Makalah ini di ajukan guna untuk memenuhi tugas mata Kuliah Fiqih Munakahat

Disusun Oleh:
Muhaimin Ks





Dosen Pembimbing:
Drs. Sarnoto, M. Hum



FAKULTAS SYARI’AH
AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA 2009-2010