Rabu, 26 Januari 2011

kaidah-kaidah fiqh yang mukhtalaf alaih

PENDAHULUAN
Belakangan ini seringkali kita saksikan sekelompok kaum beragama, atas nama agama telah men-sesatkan, bahkan memandang kufur kelompok lain yang seagama. Fenomena al-idhlal (penyesatan) dan al-takfir (pengkafiran) ini akan terus menggelinding di tengah-tengah masyarakat.
Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan "la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-muttafaq 'alaih"/pandangan lain yang masih diperselisihkan ulama tidak boleh serta merta diingkari, berbeda dengan pandangan yang telah disepakati ulama maka kita boleh mengingkari pandangan sebaliknya. Sementara itu hampir seluruh ulama sepakat bahwa ajaran yang mukhtalaf fihi jauh lebih banyak dari ajaran yang muttafaq 'alaih. Ini artinya wilayah takfir dan idhlal dalam ajaran Islam sangatlah sempit, tidak mudah untuk mengkafirkan dan memandang sesat pihak lain.
Problem kita adalah tidak adanya kesepakatan di kalangan ulama tentang ajaran yang masuk dalam katagori mujma' 'alayhi dan mana yang mukhtalaf fihi. Akibatnya tidak ada standard baku atas dasar apa seseorang dapat dipandang kafir dan sesat. Perbedaan di luar masalah tersebut berlaku kaidah, "pendapat kita benar
tapi mungkin saja salah dan pandangan orang lain salah tapi juga mungkin benar" dan kaidah ikhtilafu ummati rahmatun. Inilah toleransi keberagamaan yang pernah dicontohkan dengan cantik oleh ulama salaf al-shalih. Dalam menyikapi satu kasus permasalahan dalam menerapkan kaidah mukhtalaf ini sesuai dengan pendapat yang dianggap lebih unggul dari kedua sisi kaidah yang ada.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk membahas tentang kaidah-kaidah fiqh yang mukhtalaf , untuk memudahkan dalam rangka mengetahui khilaf-khilaf ulama ini adalah dengan mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus pembahasan sebagian khilaf mereka.





PEMBAHASAN
Kaidah al mukhtalaf adalah kaidah yang berbentuk pertanyaan pada satu tema tertentu dengan dua jawaban atau lebih. Satu permasalahan yang seharusnya mempunyai jawaban yang pasti, ternyata di sana di temukan jawaban yang beragam. Disinilah letak keunikan kaidah muktalaf. Disebut mukhtalaf karena kaidah ini adalah kaidah yang subtansinya dikhilafkan dalam madzhab Syafi’i.
Ketika mengaplikasikan kaidah-kaidah al-mukhtalaf kedalam sebuah permasalahan, dengan tanpa menjelaskan predikat hukum mana yang lebih kuat dari dua sisi kaidah yang berbeda. Sebagian lagi, ada yang lebih kreatif dengan melakukan proses tarjih. Kekreatifan ini diteruskan pada saat menyikapi permasalahan lain dengan menerapkan kaidah dalam satu permasalahan yang sama dengan tinjauan sisi kaidah yang lain.
Seperti halnya ketika menanggapi pertanyaan pancingan yang terdapat dalam kaidah mukhtalaf pertama; apakah fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain ketika telah dilaksanakan? Ini adalah satu contoh penerapan kaidah yang berbentuk pertanyaan dengan tampilan dua jawaban yang berbeda. Sementara permasalahan yang dicoba untuk diangkat dalam kaidah adalah sama; yaitu seputar apakah fardlu kifayah akan menjadi fardlu ‘ayn ketika tengah dilaksanakan.
Respon jawaban yang berbeda walaupun berasal dari pertanyaan yang sama ini, muncul karena tinjauan masing-masing berbeda satu sama lain. Dengan bentuk ini salah satu manfaat yang dapat kita petik adalah kita dapat mengetahui kapan fardlu kifayah menjadi fardlu ‘ayn dan dalam kasus apa saja sebuah konstruk fardlu kifayah tidak berubah setatusnya menjadi bagian dari ibadah fardlu ‘ayn.
Dan dalam catatan pengembaraan eksperimen (istiqra’)hanya terdapat dua puluh kaidah mukhtalaf yang dapat kita lacak dalam kitab-kitab syafi’iyyah.
Sekadar untuk diketahui, dan untuk memudahkan kita dalam mendalami kaidah fiqh maupun fiqh secara langsung, dalam literature kitab-kitab fiqh klasik akan dijumpai satu permasalahan tetapi terdapat berbagai varian jawaban. Seperti yang terdapat dijumpai dalam kitab mahalli. Di sana, kita dapat menemukan satu latar masalah dengan varian jawaban yang beragam. Bahkan kita dapat menjumpai sampai empat jawaban yang sama sekali berbeda antara satu dengan yang lain. Salah satu tawaran alternative untuk memudahkan dalam rangka mengetahui khilaf-khilaf ulama’ ini adalah dengan mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus pembahasan sebagian khilaf mereka.
Untuk mengetahui esensi kaidah-kaidah mukhtalaf ini dengan mudah, kita perlu mengetahui beragam istilah yang dikenal dengan qawl, wajh, qawlani, wajhani, dan sebagainya. Beberapa kosa kata ini merupakan petunjuk praktis untuk mengetahui dimana pendapat tersebut diungkapkan, siapa yang menyampaikan sekaligus derajat kekuatannya sebagai pijakan hukum.
Yang perlu kita ketahui pertama kali, pengertian qawl berlainan dengan istilah wajh. Walaupun keduanya sama-sama berarti pendapat, namun dalam literature fiqh terdapat perbedaan prinsip di antara keduanya. Qawl adalah apa yang pernah ditulis atau difatwakan Imam al-Syafi’I, yang pada akhirnya akan terbagi menjadi dua, yaitu qawl qadim dan qawl jadid.
Yang perlu diingat lagi adalah, bahwa qawl dan wajh juga akan terpilah kedalam pelbagai bentuk istilah. Dengan mengenal nama-nama yang berbeda ini, secara otomatis akan member pengertian yang berbeda pula.
Beberapa istilah yang sering digunakan di dalam kaidah-kaidah mukhtalaf adalah:
 Al-Ashah: adalah pendapat yang paling valid diantara kualifikasi pendapat-pendapat lain dan pembandingnya dikenal dengan istilah al-shahih.
 Al-Azhhar: pendapat yang kevalidannya di atas al-shahih dal al-zhahir. Dalam pendapat jenis ini, kejelasan ashl dan ‘illatnya atau salah satu dari keduanya kuat.
 Al-Shahih Adalah pendapat yang ashl dan ‘illat atau salah satu dari keduanya benar.
 Al-zhahir digunakan untuk menamakan pendapat yang ashl, illat atau salah satu dari keduanya jelas.
 Al-Mu’tamad adalah pendapat dalam permasalahan hukum tertentu yang di jadikan pegangan bagi ‘ulama yang mendukungnya, walaupun pendapat ini sangat mungkin dinilai sebagai pendapat yang lemah bagi ulama’ yang lain.
Kaidah-Kaidah Mukhtalaf
Kaidah-kaidah yang mukhtalaf , artinya kaidah-kaidah yang masih diperselisihkan, dan tarjihnya juga tidak sama. Terkadang juga ada cabang yang diperselisihkan tapi hanya sebagian, atau karena masing-masing mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkan. Dan kaidah-kaidah yang seperti ini jumlahnya ada dua pulah, yaitu :
Kaidah ke 1

Shalat jum’at shalat zhuhur apakah yang diringkas ataukah shalat yang yang berdiri sendiri? Terdapat dua pendapat.
Dalam ranah kajian fiqh, Imam syafi’i melontarkan dua statemen yang berbeda mengenai status shalat jum’at. Menurut statemen awal (qawl qadim), shalat jum’at merupakan shalat dzuhur yang di ringkas rakaatnya menjadi dua. Sedangkan menurut statemen yang kedua(qawl jadid), shalat jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri.
Kaidah ke 2


Shalat dibelakang imam yang berhadas dan tidak diketahui keadaannya, apakah termasuk shalat berjama’ah atau sendirian? Terdapat dua pendapat.
Shalat yang dilakukan di belakang imam yang hadas dan tidak diketahui keadaannya tetap shah. Berangkat dari asumsi ini kemudian muncul dari dua wajh:
Pertama bahwa shalat yang dilakukan makmum tetap bernilai jamaah
Kedua shalat makmum dianggap sendirian karena shalat imamnya tidak shah.
Pendapat bahwa shalat mereka shalat jamaah, adalah pendapat yang lebih shaheh.
Kalau makmum mendapatkan imam sedang ruku’, kemudian mengikutinya (masbuq), kemudian mengetahui tetang hadasnya imam sebelum salam dan memisahkan diri, maka yang lebih shah adalah shalatnya dianggap shalat sendiri, dan rakaat pertama yang bersama dengan imam (mengikuti ruku’nya imam ) dianggap tidak sah.
Kaidah ke 3


Seseorang yang melakukan sesuatu yang bias merusak fardlu pada permulaan atau tengah-tengah pelaksanaannya, tetapi tidak melakukan sesuatu yang merusak shalat sunnah, maka shalat fardlunya batal? Kemudian apakah shalatnya bernilai shalat sunnah atau menjadi batal sama sekali?terjadi dua pendapat.
Kaidah ini membahas tentang pelaksanaan ibadah fardlu yang pada awal ataupun di tengah-tengah pelaksanaannya terjadi hal-hal yang merusak shalat yang menjadikannya tidak dapat dinilai sebagai fardlu lagi.secara otomatis dengan melakukan hal semacam ini akan merusak kefardluan tersebut, dalam hal ini, bahwa ada perbedaan dalam mengunggulkan dua pendapat yang ada. Di antaranya furu’nya ialah : Apabila orang melakukan shalat fardlu kemudian karena untuk dapat mengikuti shalat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka shalatnya sah dan menjadi shalat sunnah.
Apabila dalam melakukan shalat fardlu tadi dia sudah tahu bahwa aka nada shalat jamaah, atau kalau dia membatalkannya itu, kemudian dia menukar fardlu dengan fardlu yang lain, atau untuk berpindah kepada shalat sunnah dengan tanpa sebab dan sebagainya.
Kaidah ke 4

Apakah pelaksanaan nadzar dijalankan seperti sesuatu yang wajib atau ja’iz? Ada dua pendapat.
Di antara furu’ yang berkenan dengan kaidah ini, ialah ;
Nadzar shalat harus dilaksanakan seperti melaksanakan shalat wajib, sehingga harus berdiri kalau mampu, demikian juga harus berniat waktu masih malam kalau berpuasa dan harus cukup umur dan tidak cacatkalau qurban.
Nadzar puasa hari tertentu dapat dilaksanakan dengan cara tidak seperti dalam melakukan puasa ramadlan yang berhubungan dengan niat yan wajibnya membayar kafarat kalau mengadakan hubungan deksuil diwaktu siang, sedangkan shalat dua rakaat dilaksanakan dengan cara melaksanakan shalat empat rakaat satu malam, baik dengan dua tasyahud atau satu tasyahud.
Kaidah ke 5

Yang menjadi pertimbangan utama dalam akad, lafadznya ataukah maknanya? Terjadi khilaf.
Ada beberapa perbedaan pendapat.
Qawl awwal menamai yang menjadi pertimbangan utama dalam akad adalah lafadnya.
Termasuk dari furu’ kaidah ini ialah:
Sedangkan qawl tsani menamai yang menjadi pertimbangan utama dalam akad adalah maknanya.
Contoh : Apabila zaid memberi uang kepada Umar dengan syarat agar umar memberi sarung pada Zaid. Ini menurut qawl awwal akadnya menjadi akad hibbah sedangkan menurut qawl tsani aqadnya menjadi aqad bay’.
Kaidah ke 6

Barang pinjaman yang digadaikan, apakah yang lebih dominan padanya hukum dlaman(jaminan) atau hukum ‘ariyah (pinjaman)? Terdapat dua pandangan.
Dua transaksi pada satu obyek dapat mempengaruhi penentuan status manakah yang lebih dominan baginya. Apakah ia akan dilihat sebagai barang pinjaman yang harus diganti rugi, jika terdi kerusakan, ataukah sebagai barang gadaian. Kalau barang tersebut dianggap sebagai barang pinjaman maka boleh/dapat diminta kembali, terapi kalau sebagai barang jaminan , tidak dapat diminta kembali, inilah yang lebih sah.
Apabila barang rusak ditangan pemberi gadai, maka yang menggadaikan yang harus menanggung, karena sebagai barang pinjaman.
Kaidah ke 7

Apakah setatus hiwalah adalah bay’ atau istifa’ (memenuhi hak orang lain)? Terjadi perbedaan pendapat.
Dalam menentukan esensi hiwalah ada banyak perbedaan; dalam satu tempo ia lebih cenderung bersetatus bay’, dan pada sisi yang lain ditentukan dengan istifa’. Apabila ada orang yang membeli barang dengan harga tertentu, kemudian penjual memindahkan pembayaran barang tersebut kepada orang lain kemudian terjadi pembeli mengembalikan barang karena ada cacatnya, maka kalau dianggap sebagai istifa’ tidak boleh dikembalikan, tetapi kalau sebagai jual beli boleh barang dikembalikan.
Kaidah ke 8

Apakah pembahasan hutang (ibra’) adalh pengguguran hutang ataukah pemberian milik terhadap hutang? Terdapat dua qawl.
Pembebasan hutang yang tidak diketahui jumlahnya oleh orang yang membebaskan, maka disini yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki, tidak sah pengguguran.
Sedangkan kalau pemberi pembebasan tahu jumlah hutang, maka yang lebih sah adalah isqot (pengguguran).
Kaidah ke 9

Apakah iqalah termasuk pembatalan jual beli atau jual beli kembali? Terdapat dua qawl.
Membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak menjadi muslim dan penjual menghendaki iqolah.
Kalau iqolah itu merupakan jual beli , tidak sah iqolah. Tetapi kalau iqolah itu dianggap sebagai pembatalan jual beli, maka sah seperti kalau mengembalikan barang pembelian karena ada cacat.
Kalau iqolah itu dianggap sebagai fasakh, maka tidak perlu ijab Kabul, sedangkan kalau dianggap sebagai bay’ maka harus ada ijab Kabul.

Kaidah ke 10

Maskawin yang telah dinyatakan dalam akad sebelum diterima oleh istri, apakah dijamin oleh suami berdasarkan akad atau dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri? Terdapat dua pandangan.
Menurut qawl ashah tidak boleh menjual mahar sebelum diserahkan kepada istri, berdasar bahwa hal itu adalah dlaman al aqd. Sedangkan menurut pendapat yang kedua dinyatakan shah, karena berdasar pada dlaman al yad.
Kaidah ke 11

Apakah talak raj’I dapat memutus ikatan pernikahan atau tidak? Terdapat dua pendapat.
Seandainya suami mempergauli bekas istri masih dalam iddah, kemudian baru merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang mengatakan bahwa talak raj’I adalah memutuskan pernikahan.
Kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikannya menurut pendapat yang lebih sah, tepi menurut pendapat kedua, bolem memandikan seperti masih sebagai istri.
Kaidah ke 12

Apakah dzihar ebih menyerupai talak atau sumpah?
Apabila seorang suami mendzihar kepada empat istrinya sekaligus dengan satu pernyataan; “kalian semua bagiku seperti punggung ibuku”. Dengan ucapannya ini, menurut qawl jadid ia wajib membayar empat kafarah, Karena lebih diserupakan dengan thalak.
Dzihar yang dibatasi dengan waktu, menurut qawl ashah tetap sah sebagaimana sumpah. Tetapi kalau disamakan dengan thalak, tidak sah.
Kaidah ke 13

Apakah fardlu kifayah berubah menjadi fardlu ‘ayn ketika telah dikerjakan atau tidak? Terdapat khilaf.
Pendapat yang lebih sah, shalat jenazah apabila seseorang sudah mulai mengerjakannya, maka haram baginya untuk meninggalkannya. Menurut Imam Ghozali, yang lebih soheh selain shalat jenazah dan jihad maka fardlu kifayah tetap fardlu, walaupun sudah dimulai mengerjakannya.
Kaidah ke 14

Sesuatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti yang tidak hilang ataukah seperti yang tidak kembali (barang baru).
Wanita yang telah ditalak sebelum dipergauli, hilang pemilikannya atas shodaq. Kalau suaminya kembali, maka kembali pula hak pemilikannya terhadap shodaq seperti apa adanya shodaq semula.
Harta yang pada akhir tahun harus dizakati kemudian hilang di tengah tahun, dan kemudian kembali, maka tetap pada akhir tahun harus di zakati, seperti tidak pernah hilang.
Kaidah ke 15

Hal yang dijadikan tolok ukur peristiwa, apakah waktu yang sedang berlangsung ataukah waktu yang akan dating? Terjadi khilaf.
Apabila seseorang bersumpah benar-benar akan memakan sepotong roti besok paginya, tetapi sebelum dating waktunya dia telah menghancurkan roti tersebut.
Adakah dia dihukumi melanggar sumpahnya pada waktu itu, ataukah menunggu setelah datang waktu paginya?
Dua pendapat ini yang lebih sah adalah pendapat yang kedua.
Kaidah ke 16

Ketika sifat khusus dari suatu hal dihukumi batal, apakah karakter umumnya masih berlaku? Terdapat khilaf.
Ketika seseorang melakukan ihram haji pada waktu selain bulan haji, maka menurut qawl ashah hajinya batal dan menurut pokok keumumannya sebagai ihram masih tetap ada, sedangkan jika ia melakukan umrah, amka umrahnya sah. Ketetapan itu karena memandang ihram secara umum.
Kaidah ke 17

Apakah janin digolongkan sebagai sesuatu yang diketahui, atau tidak? Terjadi khilaf.
Menjual binatang yang bunting tidak dengan anak yang dikandungnya. Menurut pendapat yang ebih kuat tidak sah, karena yang dikandung adalah sesuatu yang tidak diketahui, sebab sesuatu yang tidak diketahui kemudian dikecualikan daripadanya dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka menjadilah yang diketahui menjadi tidak diketahui.


Kaidah ke 18

Apakah sesuatu yang jarang terjadi dihukumi sesuai dengan jenisnya, atau memiliki hukum sendiri? Terjadi khilaf di dalamnya.
Menyentuh alat kelamin laki-laki yang sudah tetpotong, apakah masih membatalkan wudlu atau tidak?. Menurut qawl ashah masih dapat membatalkan, sebab walaupun telah terputus namun nama dzakar tidak terlepas dari potongan itu. Dengan demikian potongan itu masih termasuk jenis dzakar. Sehingga hukumnya mengikuti jenis dzakar yang belum terpotong. Sementara pembanding qawl ashah menyatakan tidak membatalkan, karena dengan terputusnya dzakar, maka ia sudah dapat dikatakan sebagai dzakar yang tersendiri, bukan termasuk jenis dzakar umum.
Kaidah ke 19

Apakah orang yang mampu meraih keyakinan diperkanankan berijtihad dan mengambil prasangka yang kuat (zhan)? Terjadi khilaf.
Orang mempunyai dua bejana air, yang satu najis dan yang satu lagi suci. Dia dapat dengan yaqin untuk memperoleh air yang suci karena dia ditengah laut misalnya.
Dalam hal ini dia masih diizinkan untuk berijtihad, meneliti berdasarkan dhon mana dari dua bejana tadi yang suci.
Demikian juga orang m,empunyai dua baju, yang satu suci, yang satu najis.
Dia boleh meneliti mana yang suci untuk dipergunakan, walaupun dia dapat berganti dengan pakaiannya yang lain yang jelas suci.


Kaidah ke 20

Apakah penghalang baru keberadaannya dianggap sebagai suatu yang menyertai? Terjadi khilaf.
Penghalang adalah sesuatu yang dengan kemunculannya dalam pandangan syara’ dapat menghalangi wujudnya hukum tertentu yang disebut mani’ li al hukmi atau dapat menjadikan hukum sebab akibat dianggap tidak berlaku yang dikenal dengan mani’ li al sabab.
Contoh: Menambah air sehingga menjadi banyak terhadap air yang musta’mal; sembuhnya orang yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan shalat; murtadnya orang yang sedang ihram; niat ma’shiat dalam bepergian taat, maka: Hukumnya air menjadi suci dan dapat mensucikan; shalatnya batal; demikian juga ihramnya, dan tidak ada rukhshoh bagi musafir yang demikian.









PENUTUP
Daftar Pustaka:
Abdul Majid, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid fiqhiyyah dalam perspektif fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Bisyri Mushthafa, Tarjamah Nadzam Al-Faraidul Bahiyyah fi Al-Qawaid Al Fiqhiyyah, Rembang: Menara Kudus.
Maimun Zubair, Formulasi Nalar fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Kediri; Purna Siswa III Aliyah 2005

AYAT TENTANG KEWAJIBAN MENEGAKKAN KEADILAN DAN MENUNAIKAN AMANAH

PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki tingkat keaslian serta keluasan pembahasan dalam ilmu pengetahuan tidak akan pernah kering dari panafsiran, ibarat lautan tanpa batas yang tidak akan pernah kering di minum oleh zaman, oleh karena itu penafsiran dalam Al Qur’an tidak akan pernah mencapai titik akhir kecuali atas kehendak Allah, Al Qur’an sendiri diturunkan Allah sebagai kitab terakhir bagi umat di alam semesta artinya tidak akan ada lagi kitab suci yang akan di turunkan oleh Allah SWT. Walaupun Allah mampu untuk menurunkannya, itulah janji Allah.
Akhir-akhir ini, kita disuguhkan dengan slogan-slogan baik di media cetak, elektronik, atau spanduk yang bertebaran di jalan-jalan, yang berisi ajakan, seruan dari para calon pemimpin untuk mempercayai dan memilih mereka dalam pemilu yang akan datang. Mereka memberikan janji bahwa mereka adalah orang yang dapat dipercaya untuk mengemban amanah rakyat dan berlaku adil jika terpilih. Meskipun pada kenyataannya, setelah terpilih banyak yang terkena amnesia sesaat, yaitu lupa dengan janji dan amanah yang telah diberikan kepada mereka. Selain itu, akhir-akhir ini pun kita disuguhkan dengan berita-berita terkait kasus suap dan korupsi yang melibatkan banyak pejabat Negara. Jumlah uang suap dan yang dikorupsi pun sangat mencengangkan. Kasus tersebut membuka mata kita, bahwa tidaklah mudah untuk menjalankan amanah dan berlaku adil.
Oleh sebab itu, lewat prolog di atas tentunya kami sebagai pemakalah akan berusaha menjelaskan tafsir surat al-Nisa ayat 58-60 dan surat al-Maidah ayat 8 yang isi dari pembahasan ayat tersebut adalah menjelaskan tentang kewajiban menegakkan keadilan dan menunaikan amanah.
Tentunya kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik opini dan saran selalu penulis harapkan, agar semakin melengkapi materi makalah ini. Semoga apa yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat. Dan kesalahan dalam penyusunan dapat dimaafkan dan diperbaiki di masa mendatang.






PEMBAHASAN
AYAT TENTANG KEWAJIBAN MENEGAKKAN KEADILAN DAN MENUNAIKAN AMANAH
A. QS Al-Nisaa: 58-60
 •           ••     •      •                                                                   
Artinya: 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
60. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut,
Sabab Nuzul
Dari Ibnu Abbas ra. Menjelaskan bahwa setelah makkah berhasil ditakhlukkan, Rasulullah saw. Memanggil Usman Bin Thalhah ra. Untuk meminta kunci ka’bah kepada Rasul saw. Tiba-tiba Abbas ra. Berdiri dan berkata, “ wahai Rasulullah, demi Allah, berikan kunci itu kepadaku, agar aku rangkap tugas pemberi minum dan pemegang kunci ka’bah sekaligus.” Usman ra. Pun kembali menahan tangannya. Melihat itu Rasulullah saw. Pun berdiri membuka pintu ka’bah, dan masuk kedalamnya. Setelah itu, beliau melakukan thawaf. Tak lama, Jibril as. Dating dan menyampaikan pesan dari Allah agar kunci itu di kembalikan kepada Usman ra. Rasul saw pun memanggil Usman ra. Dan menyerahkan kunci itu kepadanya. Maka turunlah ayat ini. ( HR. Ibnu Mardawaih )
Dari Ibnu Abbas ra. Menjelaskan, bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qaisra. Ketika ia diutus Rasulullah saw. Untuk memimpin suatu pasukan perang. ( HR. Bukhari dan Muslim)
Kosa Kata
Kata ()Al-Amaanaat jamak dari amanat ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi manat Allah terhadap hamba-Nya, amanat seseorang terhadap sesamanya dan terhadap dirinya sendiri. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.
Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw. “tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.” Selanjutnya, amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tertsebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.bahwa ayat ini menggunakan bentuk jamak dari kata manah. Hal ini karena amanah bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non-material dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan.
Tafsir Ayat
Allah SWT. Mengabarkan, bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam hadis al-Hasan dari Samurah, bahwa Rasulullah saw. Bersabda :


“ tunaikanlah amanah kepada yang memberikan amanah dan jangan khianati orang yang berkhianat kepadamu.” ( HR. Ahmad dan Ahlu al sunnah).
Hal itu mencakup seluruh amanah yang wajib bagi manusia, berupa hak-hak Allah SWT. Terhadap para hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nazar dan selain dari itu, yang kesemuanya adalah amanah yang diberikan tanpa pengawasan hamba-Nya yang lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba lainnya, seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan tanpa pengawasan saksi. Itukah yang diperintahkan oleh Allag SWT. Untuk ditunaikan. Barang siapa yang tidak melakukannya di dunia ini, maka akan dimintai pertanggung jawabnya di hari kiyamat, sebagaimana yang terdapat di dalam hadis shahih , bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda:


“ Sungguh, kamu akan tunaikan hak kepada ahlinya, hingga akan di qisas untuk (pembalasan) seekor kambing yang tidak bertanduk terhadap kambing yang bertanduk”.
Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan adalah antara lain : melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjahui larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarraub kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap hambanya yang harus dilaksanakan antara lain; mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apapun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di dalamnya:
a. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apapun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hokum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana di tegaskan Allah dalam ayat ini.
   •• 
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
b. Sifat adil ulama terhadap orang awam, seperti menanamkan kedalam hati mereka aqidah yang benar, membimbingnya kepada mal-amal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasehat-nasehat yang menambah kuat imannya, menyelamatkannya dari perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan melakukan kebajikan mengeluarkan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah SWT.
c. Sifat adil seorang suami terhadap istrinya, begitupun sebaliknya, seperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, tidak membeberkan rahasia pihak yang lain, terutama rahasia khusus antara keduanya yang tidak baik diketahui orang lain.
Amanat seorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia berbuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan akhirat, dan lain sebagainya.
Ayat di atas, ketika memerintahkan menunaikan amanah, di tekankannya bahwa amanah tersebut harus di tunaikan kepada ahlaha yakni pemiliknya, dan ketika memerintahkan menetapkan hokum dengan adil, di nyatakan apabila kamu menetapkan hokum di antara manusia. Ini berarti bahwa perintah berlaku adil itu ditujukan terhadap manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan, atau ras.
Dan Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Muhammadsaw supaya memperhatikan bagaimana anehnya sikap dan tingkah laku orang-orang yang telah mengaku dirinya beriman kepada Al-Quran yang di turunkan kepada Rasulullah saw. Dan kepada kitab-kitab suci lainnya yang diturunkan kepada para Nabi dan rasul sebelumnya. Orang-orang yang mengaku beriman ini, telah berbuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan pengakuan keimanan yang mereka ucapkan.
Orientasi Hukum
Ketahuilah, bahwa muamalah manusia, baik itu dilakukan dengan Rabb-Nya, atau dengan sesame manusia, atau terhadap dirinya, ia mesti memelihara amanah. Inilah tugas kaum muslimin sekaligus akhlak mereka, yaitu menunaikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya dan memutuskan hokum dengan adil di antara manusia sesuai dengan manhaj dan ajaran Allah.
Amanat-amanat itu sudah tentu di mulai dengan amanat yang terbesar, yaitu amanat yang dihubungkan Allah dengan fitrah manusia, amanat yang bumi dan langit serta gunung-gunung tidak mau memikulnya, tetapi manusialah yang mau memikulnya. Yang dimaksud adalah amanat hidayah, makrifah, dan iman kepada Allah dengan niat, kehendak hati, kesungguhan, dan arahan. Inilah amanat fitrah insaniyyah yang husus. Selain manusia, makhluk yang lain diberi ilham oleh Allah untuk mengimani-Nya, mengenal-Nya, beribadah kepada-Nya, dan menaati-Nya. Juga ditetapkan-Nya untuk mengikuti undang-undang alamnya tanpa melakukan upaya, tanpa kesengajaan, tanpa kehendak, dan tanpa arahan. Maka hanya manusia sendirilah yang diserahkan kepada fitrah, akal, makrifah, iradah, tujuan dan usahanya untuk sampai kepada Allah sebagaimana firmannya:
   •   •    
Artinya: 69. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Di antara amanat-amanat ini yang masuk di tengah-tengah amanat yang disebutkan adalah amanat kepada mereka, yaitu amanat dalam bermuamalah, amanat yang berupa titipan materi, amanat yang berupa kesetiaan rakyat kepada pemimpin dan kesetiaan pemimpin kepada rakyat, amanat untuk memelihara anak-anak kecil, amanat untuk menjaga kehormatan jamaah-harta benda dan wilayah serta semua kewajiban dan tugas dalam kedua lapangan kehidupan itu secara garis besar. Inilah manat-amanat yang diperintahkan Allah untuk ditunaikan dan disebutkan di dalam nash ini secara global.
Adapun dalam perintah agar memutuskan hokum dengan adil di antara manusia, maka nash ini bersifat mutlak yang berarti meliputi keadilan yang menyeluruh di antara semua manusia, bukan keadilan di natara sesame kaum muslimin dan terhadap ahli kitab saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia hanya karena dia diidentifikasi sebagai manusia. Maka, identitas sebagai manusia inilah yang menjadikannya berhak terhadap keadilan itu menurut . identitas ini terkena untuk semua manusia, mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih ataupun berkulit hitam, orang Arab ataupun orang ajam.
Umat islam harus menegakkan keadilan ini di dalam memutuskan hokum di antara manusia-apabila mereka memutuskan hokum di dalam urusan mereka dengan keadilan yang sama sekali belum pernah di kenal oleh manusia kecuali hanya di tangan Islam saja, kecuali di dalam hokum kaum muslimin saja. Orang yang kehilangan keadilan sebelum dan sesudah kepimpinan ini, maka ia tidak akan merasakannya sama sekali dalam bentuknya yang mulia, seperti yang diberikan kepada seluruh manusia karena semata-mata mereka sebagai manusia bukan karena sifat-sifat lalin sebai tambahan dari identitas pokok yang dimiliki oleh semua manusia.
Itulah prinsip hokum dalam Islam. Sebagai amanat dengan segala yang di tunjukinya maka ia juga merupakan prinsip kehidupan dalam masyarakat Islam.
Perintah menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan perintah memutuskan hokum di antara manusia dengan adil ini diiringi dengan peringatan bahwa yang demikian itu merupakan pengajaran dan pengarahan yang sangat baik dari Allah SWT. Penutup ayat ini memberikan lecutan semangat kepada manusia untuk menjalankan perintah-Nya. Manusia tidak boleh merasa aman ketika tidak menunaikan amanah. Allah Swt. pasti mengetahuinya. Seorang penguasa juga tidak boleh merasa tenteram ketika tidak menetapkan keputusan yang tidak adil. Meskipun pihak yang dizalimi tidak mampu menuntutnya, Allah Swt. mendengar dan mengetahui ketidakadilan itu.
B. QS. Al-Maidah; 8
          •            •        
Artinya : 8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang mukmin agar dapat melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka inginkan dan harapkan. Dalam penyaksikan, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya tanpa memperbedakan siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat.aayt ini senafas dengan surat al-Nisa ayat;135
                                   •      
Artinya : 135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya ialah dalah ayat tersebutditerangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan penyaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan.
Di atas dinyatakan bahwa adil lebih dekat kepada takwa. Bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk subtansi subtansi ajaran islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, islam tidak demikian. Ini karena kasih, dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat, dapat berdampak buruk.
Orientasi Hukum
Ayat tersebut menganjurkan untuk menegakkan keadilan, juga menjadi saksi dengan adil dan terhadap keadilan, yakni jangan menjadi saksi dalam sesuatu yang tidak adil.
Dan jangan karena terdorong oleh rasa kebencian dan permusuhan sehingga berlaku tidak adil. Dan bertakwalah selalu pada Allah dalam semua amal perbuatan. Sunnguh Allah mengetahui sedalam-dalamnya amal perbuatan semua yang baik akan dib alas dengan baik sedang yang jahat akan menerima akibat balasannya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sangsi yang berat, ketika itu kasih tidak boleh berperan karena ia dapat menghambat ketetapan hokum atasnya. Ketika itu yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya.
Bertindak Amanah dan Adil
Pada dasarnya, seluruh manusia diperintahkan untuk menunaikan amanah dan berlaku adil. Akan tetapi, dilihat dari besarnya amanah yang diemban oleh manusia pemimpin atau penguasalah yang amanahnya lebih besar dari manusia yang lain. Karena itu, posisi seorang pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya dengan amanah, melaksanakan kepercayaan rakyatnya, dan menetapkan hukum sesuai prinsip keadilan. Dan pemimpim yang diberi amanat untuk mengurusi segala permasalahan, dan berjanji terhadap mereka untuk melakukan persamaan. Keadilan wajib dilakukan termasuk terhadap musuh sekalipun. Keadilan harus ditegakkan dan ini adalah salah satu kelebihan agama Islam, sebagaimana dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 8.
Makna awal kata al-‘adl adalah al-musâwah fî kulli syay’ (setara dalam segala sesuatu). Karena itu, setiap perkara yang keluar dari kezaliman dan permusuhan disebut adil. Realitas itu bisa terjadi jika hukum yang digunakan untuk memutuskannya adalah hukum yang adil. Bagi mereka yang telah memimpin dengan adil, Rasulullah Saw memberikan janji kebahagiaan dalam sabdanya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a., “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas punggung yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa jalla, dan kedua sisinya dalam keadaan baik, yaitu orang-orang berlaku adil dalam hukum, dalam keluarga, dan dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka”(HR. Muslim).
Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan banyak orang saat ini. Kata keadilan memiliki berbagai macam definisi menurut persepsi masing-masing. Mereka berusaha menuntut keadilan ditegakkan bagi mereka atas orang-orang yang telah menindas mereka, atau merampas sesuatu yang menjadi milik mereka dan lain sebagainya. Kemudian, kejaksaan berusaha tampil ke depan sebagai pemberi harapan bagi pernuntut keadilan dengan menuntut para pelanggar keadilan dan hak-hak orang lain dengan tuntutan yang seadil-adilnya menurut persepsi mereka. Hakim pun tak kalah sigap dalam bersaing dengan yang lain untuk tampil sebagai penegak keadilan, bahkan mereka berada pada posisi vital tegaknya keadilan. Merekalah ujung tombak penegak keadilan.
Ini juga tak lepas dari perbedaan definisi keadilan dalam pandangan masing-masing orang, serta beda pendapat tentang kadar suatu hukuman yang benar-benar adil. Itulah jadinya, kalau manusia menuruti hawa nafsunya dan berpaling dari hukum Allah. Mereka terus akan berselisih tanpa henti. Menolak hukum Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yang baik dan adil bagi hamba-Nya adalah suatu kesombongan di hadapan Allah. Maka, seharusnyalah orang-orang yang beriman menegakkan keadilan karena Allah, juga menjadi saksi karena Allah. Karena jika hal itu dilakukan karena selain Allah, maka niscaya keadilan tidak akan pernah tegak.
Karena itulah, Allah menyeru orang-orang beriman dengan sebutan orang-orang yang beriman, karena dengan begitu orang-orang yang benar-benar beriman merasa mendapat suatu penghormatan dari Allah yang juga mengandung unsur pengakuan Allah terhadap iman mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih patuh akan perintah yang akan diberikan Allah setelah seruan itu. Perintah pertama adalah menegakkan keadilan karena Allah, kedua adalah menjadi saksi juga karena Allah. Meskipun dapat berakibat buruk pada diri sendiri,
selama itu merupakan kebenaran, maka kesaksian itu harus dilakukan.




















PENUTUP
Kesimpulan :
Allah mewajibkan kepada setiap muslim yang memikul amanat, supaya melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, baik amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Atau amanat sesama manusia. Allah SWT memerintahkan kepada setiap muslim supaya berlaku adil, dalam setiap tindakannya. Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, supaya selalu cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik dalam mengerjakan pekerjaan yang bertalian dengan Agama Allah maupun dengan urusan duniawi.
Kebencian terhadap sesuatu kaum, tidak boleh mendorong seseorang untuk tidak berbuat jujur atau berlaku tidak adil. Harus adil dalam memberikan persaksian tanpa melihat siapa orangnya, walaupun akan merugikan diri sendiri, sahabat dan kerabat. Keadilan wajib di tegakkan dalam segala hal, karena keadilan menimbulkan ketentraman, kemakmuran dan kebahagiaan, dan ketidak adilan akan menimbulkan sebaliknya.
Pada dasarnya, seluruh manusia diperintahkan untuk menunaikan amanah dan berlaku adil.

Daftar pustaka :
Al Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsir Al-Munir, Beirut: Daar Al Fikr, 2003
As’ad, Yasin, Fi zhilalil Quran terj, Jakarta; Gema Insani Press, 1992
Bahraesyi, Salim, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, Surabaya: Bina Ilmu, 2004
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1991 Ghaffar, Abdul, Tafsir Ibnu Kasir tarj, Bogor : Pustaka Imam As-Safi’I, 2001
Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah , (pesan, kesan dan keserasian al-Quran). Jakarta: Lentera Hati, 2002
Syihabuddin, Terjemah Tafsir Ruhul Bayan, juz V, Bandung; Diponegoro, 1996

Sabtu, 22 Januari 2011

(MAKALAH) FADHILAH / KEUTAMAAN SURAT AL FATIHAH #Oleh: Muhaimin#

PENDAHULUAN

“ Manusia yang paling baik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-qur’an dan mengajarkannya, “ Sabda Rasulullah saw. Hadis ini adalah sebagian di antara hadis-hadis yang berkenan dengan keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Hadis-hadis seperti itu disebut fadhail” berasal dari kata fadhilah yang berarti keutamaan, kebajikan atau manfaat utama. Hadis fadhail meskipun dhaif boleh disebarkan untuk mendorong orang beramal shaleh. Di sini kami akan hadis-hadis yang berkenaan dengan dengan keutamaan al-fatihah, dengan sedapat mungkin merujuk pada hadis-hadis yang shahih atau paling tidak hasan. Ketika kita menyebutkan hadis-hadis tentang nama-nama al-fatihah, di sini kita akan mengemukakan sebagian dari keutamaan al fatihah.































PEMBAHASAN
FADHILAH / KEUTAMAAN SURAT AL FATIHAH



Surah Al-Fatihah (Arab: الفاتح , al-Fātihah, "Pembukaan") adalah surah pertama dalam al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surah yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap diantara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an
Mengenai asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) surat al-Fatihah, sebagaimana diriwatkan oleh Ali bin Abi Tholib (mantu Rosulullah Muhammad saw: “Surat al-Fatihah turun di Mekah dari perbendaharaan di bawah ‘arsy’”

Surat Al-Fatihah merupakan surat dalam al-Quran yang memiliki banyak keutamaan berdasarkan hadits-hadits Rasulullah yang shahih. Surat ini wajib dibaca ketika shalat dan tidak sah shalat seseorang ketika dia tidak membaca surat ini.

Riwayat lain menyatakan, Amr bin Shalih bertutur kepada kami: “Ayahku bertutur kepadaku, dari al-Kalbi, dari Abu Salih, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi berdiri di Mekah, lalu beliau membaca, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Kemudian orang-orang Quraisy mengatakan, “Semoga Allah menghancurkan mulutmu (atau kalimat senada).”

Selain dinamai Al-Fatihah (Pembuka), surah ini sering juga disebut Fatihatul Kitab (Pembukaan Kitab), Ummul Kitab (Induk Kitab), Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an), As-Sabu'ul Matsani (Tujuh yang Diulang), Ash-Shalah (Arab: الصلاة, Shalat), al-Hamd (Arab: الحمد, Pujian), Al-Wafiyah (Arab: الوافية, Yang Sempurna), al-Kanz (Arab: الكنز, Simpanan Yang Tebal), asy-Syafiyah (Yang Menyembuhkan), Asy-Syifa (Arab: الشفاء, Obat), al-Kafiyah (Arab: الكافية, Yang Mencukupi), al-Asas (Pokok), al-Ruqyah (Mantra), asy-Syukru (Syukur), ad-Du'au (Do'a), dan al-Waqiyah (Yang Melindungi dari Kesesatan).Banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan keutamaannya, baik dari sisi kandungan atau kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla.







Surat AL-Fatihah memiliki banyak keutamaan diantaranya:

Turun langsung dari ‘Arsy Tuhan

Dari Jakfar bin Muhammad as. Dari ayahnya dari kakeknya sampai kepada Nabi saw. Ia bersabda, ketika Allah SWT. Bermaksud menurunkan Al-fatihah, ayat kursi, syahidallahu, qul illahumma malik al mulk, semua ayat itu bergantung di ‘arsy Tuhan. Tidak ada penghalang di antaranya dengan Allah. Semua ayat itu berkata, tuhanku kau turunkan kami ke kampong yang penuh dosa, kepada orang yang menentangmu, padahal kami bergantung pada kebersihan dan kesucianmu. Allah SWT. Berfirman, Demi keagungan-Ku dan kemuliaan-Ku, jika seorang hamba membaca kamu sesudah salatnya, aku akan tempatkan dia di wisma kesucian(firdaus), aku akan perhatikan dia dengan mata-Ku yang terpelihara setiap hari tujuh puluh kali pandangan, aku akan penuhi setiap kali tujuh puluh keperluannya, paling sedikit di antaranya adalah mapunanku. Aku lindungi ia dari semua musuh. Aku akan membelanya. Tidak ada yang mencegahnya masuk surge kecuali kematian.

Keistimewaan bagi Ummat Rasulullah saw

Diriwayatkan dari Hasan bin Ali : pada suatu hari, serombongan orang Yahudi menemui Nabi saw. Di antara pertanyaan mereka, “ kabarkan kepada kami tujuh hal yang Allah berikan kepadamu dan tidak diberikan kepada Nabi yang lain; Allah berikan kepada umatmu, tidak kepada umat yang lain? Nabi saw bersabda; Allah memberikan kepadaku Al-fatihah, azan, jamaah di masjid, hari jumat, menjaharkan tiga salat, keringanan bagi umatku dalamkeadaan sakit, safar, salat jenazah, dan syafaat bagi pelaku dosa besar di antara umatku.

Besarnya Pahala bagi yang Membacanya

Dari Ali as. Nabi saw bersabda, pada malam isra, aku berhenti di bawah ‘arsy. Aku melihat ke atasku dan kulihat dua papan bergantung terbuat dari mutiara dan yakut. Pada papan yang satu tertulis Al-Fatihah, dan pada papan yang seluruh Al-Quran. Aku berkata; Tuhanku, muliakanlah umatku dengan dua papan ini. Tuhan yang Mahatinggi berfirman;aku sudah memuliakan kamu dan umatmu dengan keduanya(yakni firman Tuhan: sudah aku berikan kepadamu tujuh yang diulang dan Al-quran yang agung). Aku berkata; apa pahala yang membaca fatihah? Alah SWT. Berfirman, YA Muhammad, barang siapa yang membaca tujuh ayat itu satu kali, aku haramkan baginya tujuh pintu jahannam. Aku berkata, Tuhanku apa pahala orang yang membaca Al-Quran satu kali? Allah SWT. Berfirman, YA Muhammad, untuk setiap huruf, aku berikan padanya satu pohon di surga.

Salat tidak Sah tanpa Al-Fatihah

Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, Turmudzi, Al-Nasai, Ibn Majah dengan sanad yang bersambung kepada Nabi Bahwa Rasulullah saw. Bersabda; tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihah al kitab.” Al-Darul Quthni meriwayatkan dari ubadah bin Al- Shamit, “ tidak mendapat pahala salat orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” Ahmad, Muslim, Abu Daud, Al-Nasai menyampaikan sabda Nabi saw. Barang siapa yang melakukan salat tetapi tidak membaca Al-Quran di dalamnya, maka salatnya itu bercacat, bercacat, bercacat.

Memberikan Pengampunan dan Perlindungan

Di riwayatkan oleh Muhyiddin Ibn Arabi dalam futuhat al makkiyyah dengan sanadnya yang bersambung kepada Nabi saw. Bahwa Allah SWT berfirman; Hai Israil, demi keagungan-Ku, kemurahan-Ku dan kemuliaan-Ku siapa yang membaca Bismillahirrahmanirrahim bersambung dengan Al-fatihah satu kali, saksikanlah bahwa aku mengampuni dosa-dosanya, menerima kebaikannya, dan memaafkan kesalahannya. Aku tidak akan membakar lidahnya dengan api dan siksa pada hari kiamat, pada hari ketakutan yang besar. Ia akan berjumpa dengan-Ku sebelum para Nabi dan para Wali.

Al-Thabrani meriwayatkan dengan sanad dari al- Saib bin Yazid: Nabi saw memohonkan perlindungan bagiku dengan Fatihat Al Kitab.

Memberikan Kesembuhan untuk Berbagai Penyakit

Rasulullah saw bersabda kepada Jabir Bin Abdullah, hai Jabir, maukah kamu saya ajarkan surat yang paling itama yang Allah turunkan dalam kitab-Nya. YA Rasul Allah, ajarkanlah surat itu kepadaku. Kemudian Rasulullah saw. Mengajarkan kepadanya Alhamdulillah, umm kitab, seraya berkata, maukah aku beritakan ebih lanjut tentang al-fatihah? Jabir menjawab, tentu saja, demi ayah dan ibuku. Ya Rasul Allah, beritakanlah itu kepadaku. ‘ Rasulullah saw bersabda, Al Fatihah itu obat dari segala penyakit, kecuali kematian.

Surat Al-Fatihah merupakan surat yang paling agung dalam al-Quran

Dari Abu Sa'id bin al-Mualla ia berkata aku melaksanakan shalat, lalu aku dipanggil oleh Rasulullah dan aku tidak memnuhi panggilan beliau karena aku sedang shalat, hingga aku selesai shalat barulah aku mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah bersabda,"Apa yang mencegahmu untuk mendatangiku saat aku memanggilmu?" Maka aku (Abu Sa'id) menjawab,"Wahai Rasulullah saat itu aku sedang shalat." Lalu Rasulullah menjawab,"Bukankan Allah berfirman:Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang meberi kehidupan kepadamu (Al-Anfal:24)" kemudian beliau pun bersabda,"Sungguh aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam al-Quran ini sebelum engkau keluar dari masjid." Kemudian beliau memegang tanganku dan beranjak untuk keluar dari masjid. Ketika beliau akan keluar masjid, aku berkata,"Wahai Rasulullah, bukankah tadi engkau mengatakan akan mengajarkan surat yang paling agung dalam al-Quran?" Beliau menjawab,"Benar, yaitu alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin, dia ini adalah sab'ul matsani (tujuh yang diulang-ulang) dan al-quran yang agung yang diberikan kepadaku.

Surat yang belum pernah ada kecuali di al-Quran

Suatu ketika Rasulullah memanggil sahabat Ubay bin Ka'ab, kemudian Nabi mengatakan kepada Ubay bin Ka'ab,"Sungguh Aku berharap engkau tidak keluar dari pintu masjid ini sehingga engkau mengetahui satu surat yang Allah belum pernah turunkan dalam Taurat, juga dalam Injil, tidak juga dalam al-Quran seperti ini." Ubay bin Ka'ab berkata aku pun memperlambat jalanku karena menginginkan hal itu. kemudian aku bertanya,"Wahai Rasululah apa surat yang engkau janjikan untuk kau ajarkan kepadaku?" Rasulullah menjawab ,"Apa yang engkau baca ketika engkau memulai shalat?" maka Ubay bin ka'ab menjawab "Aku membaca alhamdulillahirabbil 'aalamaiin sampai akhirnya (sampai selesai)." Kemudian Rasululah bersabda,"Itulah surat tersebut, (surat) itu adalah sab'ul matsani (tujuh yang diulang-ulang), dan al-Quranul 'azhim yang telah diberikan kepadaku.

Surat al-Fatihah dapat digunakan sebagai ruqyah

Abu sa'id al-khudri berkata ketika kami dalam suatu perjalanan, kami singgah di suatu tempat lalu datanglah seorang jariyah (budak wanita), dia berkata,"Sesungguhnya kepala kampung disini salim (tersengat hewan berbisa), sedangkan orang-orang dikampung ini sedang tidak ada. apakah diantara kalian ada yang dapat meruqyah?" Lalu dikatakan kepadanya tidak ada seorang pun diantara kami yang dapat meruqyah. Lalu abu said mencoba meruqyahnya dengan membaca surat al-Fatihah lalu sembuhlah kepala kampung tersebut. Kemudian kepala kampung itu memerintahkan untuk memberikan 30 ekor kambing kepada para sahabat, juga memberikan susu kepada mereka. Maka para sahabat pun berkata,"Janganlah ada yang menyentuhnya hingga kita tanyakan kepada Rasulullah. lalu kami pun pulang." Setibanya kami di Madinah, kami menceritakan kisah ini kepada Rasulullah. Kemudian beliau berkata,"Apa yang membuatmu mengetahui bahwa itu adalah ruqyah?" kemudian beliau berkata lagi,"Bagikanlah hadiah itu dan berikanlah sebagian untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa hasil dari praktek ruqyah adalah dibenarkan menurut syariat islam, artinya apabila seseorang sakit lalu ada yang meruqyahnya hingga si sakit itu sembuh, maka hadiah dari si sakit kepada orang yang meruqyahnya tadi adalah halal. Hadits tersebut juga menunjukkan tentang bolehnya melakukan ruqyah yang sesuai dengan syariat islam.

Surat al-Fatihah merupakan cahaya

Dari Abdullah bin Abbas ia berkata: ketika Jibril duduk disamping Nabi, tiba-tiba ia mendengar suara keras di atasnya. Kemudian Jibril memandang ke atas dan berkata,"Ini adalah sebuah pintu dilangit yang belum pernah dibuka sebelumnya." Lalu dari pintu tersebut turunlah malaikat. Jibril berkata,"Ini adalah malaikat yang turun ke bumi dan ia belum pernah turun sebelumnya." Kemudian malaikat itu mengucapkan salam kepada Nabi dan berkata,"Hendaklah engkau bergembira dengan diberikannya kepadamu dua cahaya yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebeluimmu yaitu faatihatul kitaaab dan khawaatimu suuratil baarah (penutup surat al-Baqarah), tidaklah engkau membaca satu huruf saja darinya melainkan akan diberikan kepadamu."

Allah senantiasa menjawab bacaan hamba-Nya ketika membaca surat al-Fatihah

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: "Aku telah membagi shalat (maksudnya adalah surat al-fatihah) antara aku dengan hambaku menjadi dua bagian, dan bagi hambaku apa yang dia minta. Apabila hambaku membaca alhamdulillahi rabbil 'aalaamin, maka Allah berfirman,"Hamba-Ku telah memujiku." Apabila ia membaca arrahmaanir rahiim, maka Allah berfirman"Hamba-Ku telah menyanjung-Ku." Dan apabila hamba-Ku membaca maalikiyaumiddin maka Allah taala berfirman,"Hamba-Ku telah memuliakanku" (dalam riwayat lain "hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku") Apabila hamba-Ku membaca iyyakana'budu wa iyyaka nasta'in maka Allah berfirman,"Ini antara aku dengan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya." Dan apabila hambaku membaca ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathalladzina an'amta 'alaihim, ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhalliin, maka Allah berfirman,"Inilah bagi hamba-Ku dan baginya apa yang dia minta.

PENUTUP

Surat Al-Fatihah merupakan ummul doa baik di dalam bacaan tiap-tiap salat, maupun penutup dari suatu kenduri atau di dalam rapat-rapat akbar. Sebagaimana dalam uraian-uraian hadis di atas bahwa keutamaan al-fatihah memang sangat banyak, yang di antaranya: Allah senantiasa menjawab bacaan hamba-Nya ketika membaca surat al-Fatihah, merupakan cahaya, sebagai ruqyah, Surat yang belum pernah ada kecuali di al-Quran, surat yang paling agung dalam al-Quran, Memberikan Kesembuhan untuk Berbagai Penyakit, Memberikan Pengampunan dan Perlindungan, Salat tidak Sah tanpa Al-Fatihah, Keistimewaan bagi Ummat Rasulullah saw, Turun langsung dari ‘Arsy Tuhan.

Selasa, 11 Januari 2011

tafsir surat al-ashr

PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bukti akan kebenaran diutusnya beliau sebagai Rasul. Al-Qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad tersebut untuk disampaikan kepada umat manusia agar dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk, Untuk dapat memahami Al-Qur'an dengan benar sebagai pedoman dan petunjuk tidak hanya cukup dengan memiliki disiplin ilmu yang terkait dengan al-Qur'an. Tetapi membutuhkan suatu metode atau pendekatan yang tepat agar bisa sampai kepada pemahaman yang mengarah kepada sesuatu yang seharusnya di kehendaki oleh Allah, meskipun tidak ada yang bisa memastikan apa yang didapatkannya merupakan pemahaman yang paling tepat sesuai yang di kehendak oleh Allah SWT.
Para pembaca yang mulia –semoga Allah subhanahu wata’ala membuka segala pintu kebaikan kepada kita– untuk makalah kali ini kami akan mengulas tafsir surat Al Ashr. Surat ini merupakan surat yang sangat pendek, mesikpun bukan yang terpendek dalam Al-Qur'an. Karena sebagaimana sudah maklum, bahwa yang terpendek adalah surat Al-Kautsar. Surat Al-Ashr, meskipun pendek, akan tetapi sangat dalam makna yang terkandung di dalamnya. Hal-hal yang terkandung di dalamnya sangat komplek. Kekomplekkan tersebut menyangkut kebahagiaan, kesengsaraan, serta kesuksesan dan kegagalan manusia hidup di dunia. Maka, penulis sepakat dengan ungkapan yang menyatakan, "Surat Al-Ashr merupakan filosofis kehidupan."









PEMBAHASAN
Tafsir Surat Al-Ashr
وَالْعَصْرِ {1} إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2} إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}
Artinya: demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Kosa kata;
Kata ( ) al Ashr terambil dari kata ‘ashara-ya’shiru-‘ashran, berarti memerah, memeras, atau menekan, yakni menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar. Angin yang tekanannya sedemikian keras sehingga memorakporandakan segala sesuatu dinamai I’shar/waktu. Tatkala perjalanan matahari telah melampaui pertengahan dan telah menuju kepada terbenamnya dinamai ‘ashr/asar. Penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya. Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya ia kemudian mencurahkan hujan dinamai al mu’shirat.
Kata ( (al insan/manusia terambil dari akar kata yang dapat berarti gerak atau dinamisme, lupa, merasa bahagia (senang). Ketiga arti ini menggambarkan sebagian dari sifat serta cirri khas manusia. Ia bergerak bahkan seyogianyamemiliki dinamisme, ia juga memiliki sifat lupa atau seyogianya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain serta ia pun merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya atau seyogianya selalu berusaha member kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya. Kata al-insan yang mengambil bentuk ma’rifat menunjuk kepada jenis-jenis manusia tanpa kecuali, baik mukmin atau kafir.
Kata ( ) khusr mempunyai banyak arti , antara lain, sesat, celaka, lemah, tipuan, dan sebagainya yang kesemuanya mengarah kepada makna-makna yang negative atau tidak disenamgi oleh siapapun.
Kata ( )’amal/pekerjaan digunakan oleh Al-quran untuk menggambarkan penggunaan daya manusia-daya piker, fisik, kalbu, dan daya hidup yang dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin.
Kata ( ) shalih terambil dari kata ( ) shaluha antonim dari kata fasid/rusak. Dengan demikian, kata shalih diartikan sebagai tiadanya (terhentinya) kerusakan. Kata ini diartikan juga bermanfaat dan sesuai.
Kata ( ) tawashau terambil dari kata washa, washiyatan yang secara umum diartikan sebagai menyuruh secara baik.
Kata ( ) al haqq berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang terjadi, Allah SWT. Adalah puncak dari segala yang haq karena dia tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga haq karena nilai-nilai tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak dapat berubah, sifatnya pasti, dan sesuatu yang pasti menjadi benar, dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan.
Dalam surat pendek yang terdiri atas tiga ayat tersebut, tercermin manhaj yang lengkap bagi kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki islam. Tampaklah rambu-rambu tashawwur imani dengan hakikatnya yang besar dan lengkap dalam bentuk yang sejelas-jelasnya dan secermat-cermatnya.
Surah ini melletakkan dustur islami secara menyeluruh dalam kalimat-kalimat pendek. Juga mengidentifikasi umat islam dengan hakikat dan kativitasnya dalam sebauah ayat, yaitu ayat ketiga dari surah ini. Hal ini adalah sebuah paparan singkat yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh selain Allah.
Hakikat besar yang ditetapkan dalam surah ini secara total adalah bahwa dalam semua rentangan zaman dan perkembangan manusia sepanjang masa, hanya ada satu manhaj yang menguntungkan dan satu jalan yang menyelamatkan, yaitu manhaj yang telah dilukiskan batas- batasnya dan di terangkan rambu-rambu jalannya oleh surah ini. Adapun yang berada di luar dan bertentangan dengannya adalah kesia-siaan dan kerugian.
Manhaj itu adalah iman, amal shaleh, saling menasehati untuk menaati kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.
Tafsir :
Dalam ayat satu, Allah bersumpah dengan masa yang terjadi di dalamnya bermacam-macam kejadian dan pengalaman yang menjadi bukti atas kekuasaan Allah yang mutlak, hikmah-Nya yang tinggi, dan ilmu-Nya yang sangat luas. Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa itu sendiri, seperti pergantian siang dengan malam yang terus menerus, habisnya umur manusia, dan sebagainya merupakan tanda keagungan Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan.
Apa yang dialami manusia dalam masa itu dari senang dan susah, miskin dan kaya, senggang dan sibuk, suka dan duka, dan lain-lain menunjukkan secara gambling bahwa bagi alam semesta ini ada pencipta dan pengaturnya. semua itu menunjukkan kepada orang-orang yang berakal waras, bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan dan mengaturnya. Seharusnya Allah SWT. Lah yang disembah dan diminta, sehingga dapat menghilangkan segala bentuk kesusahan dan menarik kebaikan. Tetapi, kaum kafir mengaitkan bencana dan berbagai peristiwa kepada masa. Mereka mengatakan bencana ini mersumber dari masa, atau masa itu adalah masa paceklik.
Kemudian, Allah mengajarkan kepada mereka bahwa masa itu adalah salah satu di antara makhluk Allah. Masa itu merupakan wadah yang di dalamnya terjadi berbagai peristiwa baik atau buruk. Jika seseorang tertimpa musibah, maka semua itu karena perbuatannya sendiri, dan masa (zaman) tidak ikut bertanggung jawab.
Waktu adalah modal utama manusia, apabila tidak di isi dengan kegiatan yang positif, ia akan berlalu begitu saja. Ia akan hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modalpun telah hilang. Sayyidina Ali ra. Pernah berkata : “ rizki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetpi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok.
Dalam ayat ke dua, Allah mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah sungguh secara keseluruhan berada dalam kerugian bila tidak menggunakan waktu dengan baik atau dipakai untuk melakukan keburukan. Perbuatan buruk manusia merupakan sumber kecelakaan yang menjerumuskannya kedalam kebinasaan. Dosa seseorang terhadap Tuhannya yang member nikmat tidak terkira kepadanya adalah suatu pelanggaran yang tidak ada bandingannya sehingga merugikan dirinya. Jadi, sebagai sumbernya bukanlah masa atau tempat. Ia sendirilah yang menjerumuskan dirinya keda kedalam kehancuran. Dosa seseorang terhadap Yang Maha Menciptakan dan yang Maha menganugrahi kenikmatan dan dapat dirasakan olehnya, adalah perbuatan yang paling berdosa. Kerugian seakan-akan menjadi satu tempat atau wadah, dan manusia berada (diliputi) oleh wadah tersebut. Keterangan tersebut mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi dari diri dan usahanya yang uput dari kerugian; dan kerugian itu, amat besar lagi beraneka ragam.
Waktu adalah modal utama manusia. Apabila waktu itu tidak diisi dengan kegiatan yang positif, maka ia akan berlalu begitu saja; ia akan hilang. Dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modalpun telah hilang.
Kalau demikian, waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka kita merugi, bahkan kalaupun diisi tetapi dengan hal-hal yang negative, maka manusiapun diliputi oleh kerugian.
Disinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua, dan dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi saw. Yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.
“ Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) banyak manusia, kesehatan dan waktu.”
Semua manusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam. Yang tidak merugi adalah yang dikecualikan oleh ayat ketiga.
Dalam ayat ke tiga, Allah menjelaskan bahwa jika manusia tidak mau hidupnya merugi, maka ia harus beriman kepada-Nya, melaksanakan ibadah sebagaimana yang diperintahkannya, berbuat baik untuk dirinya sendiri, dan berusaha menimbulkan manfaat kepada orang lain.
Di samping beriman dan beramal saleh, mereka harus saling nasihat-menasihati untuk menaati kebenaran dan tetap berlaku sabar, menjahui perbuatan maksiat yang setiap orang cenderung kepadanya, karena dorongan hawa nafsunya. Yakinlah dengan I’tikad yang benar. Bahwa alam semesta ini hanya memiliki satu Tuhan Yang Maha Menciptakan dan yang memberikan ridla kepada orang yang taat, dan murka kepada orang-orang yang berbuat maksiat. Dan yakinlah bahwa di antara keutamaan dan keburukan itu sangat berbeda. Dengan demikian, perbedaan ini dapat dijadikan sebagai pendorong untuk beramal baik atau kebajikan. Jadi, setiap orang itu haruslah bias bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, atau kebaikan seseorang hendaknya dapat dirasakan oleh orang lain.
Setiap amal saleh harus memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah wujud amal, yang biasanya terlihat di alam nyata. Di sini, orang lain dapat memberikan penilaian sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya. Penilaian baik diberikan manakala kenyataan yang dilihatnya itu menghasilkan manfaat dan menolak mudharat. Sisi kedua adalah motif pekerjaan itu. Mengenai sisi ini, hanya Allah SWT. Yang dapat menilainya. Rasulullah saw. Bersabda: “ setiap pekerjaan sesuai dengan niatnya” ( HR Bukhari dan Muslim melalui Umar Ibn Al-Khattab). Dengan demikian, lebih jauh kita dapat berkata bahwa, di sisi Allah, nilai suatu pekerjaan bukan semata-mata dari bentuk lahiriah yang tampak di alam nyata, tetapi yang lebih penting adalah niat peakunya. Karena itu, dapat dimengerti kenapa kalimat amal shalih banyak sekali digandengkan dengan iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan suatu amal.
Amal saleh merupakan buah alami bagi iman, dan gerakan yang didorong oleh adanya hakikat iman yang mantap di dalam hati. Jadi, iman merupakan hakikat yang aktif dan dinamis. Apabila sudah mantap di dalam hati, maka ia akan berusaha merealisasikan diri di uar dalam bentuk amal saleh. Inilah iman islami, yang tidak mungkin stagnan (mandek) tanpa bergerak, dan tidak mungkin hanya bersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang hidup di luar diri orang yang beriman. Apabila ia tidak bergerak dengan gerakan yang otomatis ini, maka iman itu palsuatau telah mati. Keadaannya seperti bunga yang tidak dapat menahan bau harumnya. Ia menjadi sumber otomatis. Kalau tidak, berarti ia tidak ada wujudnya. Dari sinilah tampak nilai iman bahwa ia adalah harakah (gerakan), amal, pembangunan, dan pemakmuran yang menuju Allah. Iman bukan sekadar lintasan. Dan bukan sesuatu yang pasif yang tersimpan di dalam hati. Ia juga bukan sekadar niat-niat baik yang tidak terwujud dalam gerakan nyata. Ini adalah karakter islam yang menonjol yang menjadi kekuatan pembangunan yang sangat besar di dalam kehidupan. Di samping itu, tidak seorang manusiapun yang dapat memastikan diterima atau ditolaknya suatu amal karena ia hanya dapat melihat satu sisi dari amal itu, yaitu sisi yang nyata saja. Bukankah Rasulullah saw. Bersabda, bahwa niat baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah? Iniah antara lain kandungan arti firman Allah :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

Dan mereka saling berwasiat antar sesama agar berpegang pada kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi, dan kebaikan-kebaikan itu tidak akan lenyap bekas-bekasnya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal yang baik ini tersimpulkan di dalam iman kepada Allah, mengikuti ajaran-ajaran Kitab-Nya dan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasulullah dalam seluruh tindakan, baik mengenai perjanjian atau perbuatan dan lain sebagainya.
Selain berwasiat menyangkut haq (kebenaran) yang diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari oaring lain serta mengajarkannya kepada orang lain. Seseorang belum lagi terbebaskan dari ekrugian bila sekadar beriman, beramal saleh dan emngetahui kebenaran itu untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dari celah-celah lafal tawashi saling menasihati dengan makna, tabiat, dan hakikatnya, tampaklah potret umat yang kompak dan saling bertanggung jawab. Umat pilihan, umat yang baik, umat yang penuh pengertian, dan umat yang bermutu di muka bumi dengan berpegang pada dan menegakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Ini merupakan gambaran paling tinggi dan paling indah bagi umat pilihan. Demikianlah yang dikehendaki islam terhadap umatnya. Ia menghendaki umat Islam sebagaiumat terbaik, kuat, penuh pengertian, tanggap, sensitive terhadap kebenaran dan kebaikan, dan saling menasehati untuk manaati kebenaran dan menetapi kesabaran, semuanya dilakukan dengan penuh kasih saying, penuh solidaritas, tolong-menolong, dan penuh rasa persaudaraan, yang selalu disiram dengan kata “ tawashi” dalam Al-Quran.
Dan mereka juga saling mewasiatkan antar sesame kepada kesabaran, dan menekan diri untuk tidak berbuat maksiat, yang biasanya disenangi oeh manusia yang nalurinya senang terhadap hal-hal seperti ini. Di samping itu, sabar dalam taat kepada Allah, yang biasanyasangat berat dilaksanakan oleh umat manusia; juga bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Semuanya itu diterima dengan rela hati, lahir dan batin.
Saling berwasiat untuk bersabar ini akan dapat meningkatkan kekuatan. Karena, dapat membangkitkan kesadaran akan kesamaan tujuan, kesatuan arah, dan saling mendukungnya antara yang satu dan yang lain; dan membekali mereka dengan kecintaan, keteguhan, dan kebersambungan. Juga dengan lain-lain makna jamaah yang hakikat islam tidak dapat hidup kecuali di bawah udaranya, dan tidak akan muncul kecuali dari celah-celahnya. Kalau tidak demikian, maka yang ada hanya kerugian dan kesia-siaan.
Kedua wasiat di atas mengandung makna bahwa kita dituntut, di samping mengembangkan kebenaran dalam diri kita masing-masing, kita juga dituntut mengembangkannya pada diri orang lain. Manusia di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.
Surah ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja tetapi juga amal salehnya bahkan amal saleh pun bersama iman belum cukup. Amal saleh bukan asal beramal. Amalpun beraneka ragam, kali ini suatu amal dianjurkan, di kali lain mungkin bentuk amal yang sama diwajibkan bahkan mungkin juga sebaliknya justru terlarang. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedang iman adalah revolusi internal. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan, kekuatan ilmu terpisah sedang kekuatan iman menyatu, keduanya adalah keindahan dan hiasan, ilmu adalah keindahan akal, sedang iman keindahan jiwa. Ilmu hiasan pikiran dan iman hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir oleh ilmu dan ketenangan batin oleh iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malapetaka duniawi, sedang iman memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan komplek-komplek kejiwaan serta mala petaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedang iman menyesuaikan dengan jati dirinya.















Kesimpulan :
Allah bersumpah dengan masa dengan pengertian bahwa manusia secara keseluruhan dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya tetap berlaku sabar. Oleh sebab itu, manusia perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya. Agar hidup di dunia dengan perasaan bahagia, memperoleh semua yang menjadi cita-citanya, dan kelak di akhirat akan mendapatkan kenikmatan yang menggembirakan untuk selamanya. Semoga Allah menjadikan kita ini di antara orang-orang yang beramal, yaitu orang-orang yang saling berwasiat kepada kebaikan dan kesabaran di antara mereka. Amin.
Daftar Pustaka :
Al-Quran dan Tarjamahnya
Abu Bakar, Bahrun, Tarjamah Tafsir Al Maraghi, Semarang : CV. Thoha Putra Semarang, 1989
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Tafsirnya (Edisi Yang di Sempurnakan), Jakarta; Departemen Agama RI, 2008
Syihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2009
________________, Tafsir Al-Quran Al-karim Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Atas Turunnya Wahyu , Bandung : Pustaka Hidayah, 1997
Yasin, As’ad , Tarjamah Tafsir Fi Dzilal Al Qur’an, Jakarta : Gema Insani Press, 2002