Kamis, 08 Juli 2010

wawasan al-quran tentang kepemimpinan wanita

WAWASAN AL QUR’AN TENTANG KEPEMIMPINAN WANITA
Makalah ini dipresentasikan guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Kontemporer
Disusun Oleh :
Muhaimin
Muhammad Munir







Dosen Pembimbing:
Helmy Yusuf, MA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT PERGURURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
( I PTIQ ) JAKARTA
2009/2010





PENDAHULUAN
Islam sangat memuliakan wanita. Al Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukannya yang sangat hormat kepada wanita, baik ia sebagai anak, istri, ibu, saudara, maupun peran yang lainnya.Begitu pentingnya hal ini, Allah swt mewahyukan sebuah surat dalam Al Qur’an kepada Nabi Muhammad saw yaitu surat Al Nisaa yang sebagian besar ayat dalam suarat ini membicarakan masalah wanita, baik yang berhubungan dengan kedudukan, peranan, dan perlindungan hukum dalam terhadap hak-hak wanita.
Bagi Islam sendiri wanita yang baik adalah wanita yang menjalankan kehidupannya seoptimal mungkin sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Dari segi penciptaannya, Al Qur’an menerangkan, bahwa wanita dan pria adalah sama-sama ciptaan Allah swt dan dalam derajat yang sama. Tidak ada isyarat bahwa pria lebih tinggi derajatnya daripada wanita. Hal ini dikarenakan karena wanita dan pria mempunyai hak yang sama dan setara. Namun pengertian sama dan setara dalam Islam berbeda dengan apa yang dituntut pada zaman-zaman sekarang, khususnya di dunia Barat., yang menuntut persamaan dan keidentikan antara pria dan wanita dalam segala hal.
Oleh sebab itu, lewat prolog di atas tentunya kami sebagai pemakalah akan mengambil sebuah pembahasan yang berkaitan dengan wanita, khususnya dalam hal kepemimpinan wanita lewat sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan khususnya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Tentunya kami sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu itu, kritik opini dan saran selalu penulis harapkan, agar semakin melengkapi materi makalah ini. Semoga apa yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat. Dan kesalahan dalam penyusunan dapat dimaafkan dan diperbaikin di masa mendatang.











PEMBAHASAN
WAWASAN AL QUR’AN DALAM KEPEMIMPINAN WANITA
Kita mungkin sering mendengar dan mengenal istilah emansiapasi wanita yang juga sering digunakan dalam acara hal-hal yang berkaitan dengan wanita, khususnya dalam kegiatan peringatan Hari Kartini. Emansipasi wanita itu sendiri dapat diartikan sebagai prospek pelepasan diri wanita dari kedudukan social ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukumyang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam Bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahlil al-marah.
Emansiapasi pada masa kini tidak lagi berarti perjuangannya untuk mencapai persamaan hak, tetapi telah sampai pada upaya untuk meningkatkan kapada sumber dayakaumwanita itu sendiri. Emansipasi yang baik yang dibenarkan dalam Islam adalah melihat pria bukan sebagai seteru atau lawan., tetapi sebagi partner, sebagi kawan seperjalanan dan perjuangan.
Di dalam ajaran Islam wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat kepada waniata agar jangan terbelenggu dengan kebodohan dan perbudakan yang menjadikan hialngnya hak sebagai seorang wanita.
Namun demikian, dalam kenyataannya pada berbagai bidang kehidupan, masih banyak terjadi pertentangan pendapat tentang kepemimpinan wanita. Masalah seperti ini sampai sekarang masih terus dibicarakan.
A. Pemimpin Wanita dalam Pandangan Islam
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai kholifah di muka bumi. Sebagaimana tugas pokok manusia, tidak berbeda pria dan wanita. Ini yang di dalam hukum Islam disebut taqlidiyyah. Disitu disebutkan bahwa setiap orang adalah mukallaf.
Mengenai status kholifah tadi, Rosulullah saw menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpin. Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dn social adalah pemimpin.
Di antara masalah yang kerap menjadi bahan perbincangan sepuatar kesetaraan antara kaum pria dan wanita adalah masalah tentang “kepemimpinan”. Islam menegaskan bahwa kepemimpinan ada di tangan pria. Allah berfirman:
              

“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan kerena mereka telah memberikah nafkah sebagian dari kekayaan mereka….
Kata qawwamun disini jamak dari kata qawwaam yang berarti orsng ysng melaksanakan sesuatuu secara sungguh-sungguh sehingga hasilnya optimal dan sempurna. Oleh karena itu kata qawwamun bisa diartikan penanggung jawab, pelindung pengurus, bisa berarti kepala atau pemimpin, yang diambil dari kata qiyaam sebagi asal kata kerja qaama-yaquumu yang berarti berdiri.
Jadi kata qawwamuun menurut bahasa adalah orang-orang yang melaksanakan tanggung jawab atau para pemimpin dalam suatu urusan. Pada ayat ini, qawwamuun adalah orang-orang yang memimpin, yang mengurusi atau bertanggung jawab terhadap keluarganya yaitu para suami selama mereka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada keluarganya.
Dalam hal ini kata qawwamun bukan berarti penguasa atau majikan, tetapi dalam pengertian bahwa suami adalah kepala keluarga. Sedangkan perempuan adalah pemimpin rumah tangga.
Ini jika berbicara tentang kepemimpinan dalam rumah tangga, namun jika berbicara kepemimpinan dalam bidang politik, hal ini sering diperselisihkan bahkan dipertentangkan pada beberapa kalangan. Pandangan yang mengatakan bahwa penolakan kepemimpinan wanita sebagai upaya mendekreditkan wanita telah berangkat dari persspektif gender. Yakni satu pandangan yang didasari oleh persamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang termasuk dalam hal politik terutama dalam kepresidenan wanita.
Pandangan ini telah meniadakan peran agama Islam dalm menghadapi berbagai persoalan termasuk dalam kepemimpinan. Dalam hal ini lebih tepat bahwa pandangan ini mengacu kepada sekuler, sehingga wajar dalam hal kepemimpinan tidak menyudutkan wanita.
1. Islam mengharamkan Kepemimpinan Perempuan dalam Negara
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan agama Islam sebagai cara pandang menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Di mana cara pandang mengharuskan menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandran dan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah termasuk persoalan kepemimpinan wanita.
Pengkajian yang mendalam termasuk pendapat empat madzhab mengatakan bahwa hokum pemimpin wanita adalah haram. Hal ini sesuai pernyataan di bawah ini:
“Kholifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqoha) telah sepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam”
Argumen paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah:
 Sabda Rosulullah saw:
حدثنا عثمان بن الهثيم حدثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال: “لقد نفّعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم أيّام الجمل بعدما كدتُ أن ألحقَ بأصحاب الجمل فأقاتل معهم. قال: لمّا بلغ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أنّ أهل فارس قد ملّكوا عليهم بنت كسرى قال: لن يفلح قوم ولّوا أمرهم إمرأة
“….Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai Ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.””
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorang pun pakar hadits yang mempersoalkan keshahihannya. Sedangkan dari segi dirayahnya, dalalah hadits ini menunjukan dengan pasti haramnyawanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk ikhbar, dilihat dari shigatnya hadits ini tidak otomatis menunjukan hokum mubah. Sebeb parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khitab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya bukan sighatnya.
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusannya kekuasaannya kepada wanita. Akan tetapi walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjdi raja, namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum. Kata kaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Sedangkan asbabul wurudhadits di atas tidak pula bisa bisa digunkan dalil untuk mentakhsiskan. Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits.
Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu ushul fiqh, “al-‘ibro bi ‘umum al-lafdzi la bi khususi al-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab). Adapun hokum yang terkandung di dalamnya pembahasnnya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukan keharamannya secara pasti. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal aw li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang. Jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukan adanya dzam (celaan) dari Rosulullah saw.
Sumber lain mengemukakan Letak kata kunci dari matan hadis tersebut adalah kalimat لن يفلح dimana “lan” memiliki fungsi sebagai huruf nafi lil-istiqbal, yang menafikan kemungkinan yang akan terjadi. Sementara ”yuflih” yang berasal dari fi’il madhi “aflaha” dalam kamus al-munawwir memiliki arti berhasil baik (sukses; najah) terdiri dari fi’il mudhari’ memberikan pemaknaan akan sebuah kesuksesan pada waktu itu dan atau di masa mendatang. Kemudian kalimat “wallau” yang memiliki arti menguasakan atau mempercayakan.Yang perlu disoroti dari bangunan kalimat tersebut adalah tiadanya forbidden statement (ungkapan pelarangan), melainkan sebatas “peramalan” akan sesuatu yang masih belum pasti karena masih bersifat asumtif yang tidak niscaya, walaupun “disampaikan oleh Nabi”. Tapi kemungkinan mengandung makna lain di balik statemen tersebut, masih perlu untuk dilacak bersama lewat sentuhan historis-sosiologis.
Hadis diatas diriwayatkan oleh seorang Bukhari yang dalam pemahaman ulama’ salaf semua hadisnya tidak perlu dipertanyakan, sehingga sebagian besar ulama menerima bulat-bulat hadis ini. Memang, secara sanad, hadis tersebut memiliki mata-rantai perawi yang dalam perspektif kritikus hadis “kesemuanya” dipandang siqah. Dengan demikian, besar kemungkinan—untuk tidak mengatakan pasti—hadis tersebut ittshal, benar-benar merupakan hadis Nabi.
Namun demikian, ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa perawi pertama (Abu Bakrah) pada masa khalifah Umar bin Khattab, pernah dihukum cambuk karena memberi kesaksian palsu terhadap tuduhan zina al-Mughiroh bin Syu’bah. Dalam menguji kualitas hadis, ittishal as-sanad tidak hanya menjadi persyaratan, melainkan kualifikasi dalam segi moralitas perawi juga dapat menjadi salah satu unsur valid atau tidaknya sebuah hadis.
Karena riwayat mengenai kecacatan Abu Bakrah banyak tidak terbaca oleh para kritikus hadis yang lain, hadis tersebut berimplikasi pada konstruk pemikiran ulama’ salaf serta-merta memberikan larangan mutlak terhadap kepemimpinan perempuan dengan memberikan persyaratan adanya keharusan berjenis kelamin laki-laki untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut tampak dalam pelbagai pendapat Imam Ghazali, Ibn Hazm, Kamal ibn Abi Syarif, dan Kamal ibn Abi Hammam, yang menurut Yusuf Musa, para imam tersebut mensyaratkan seorang laki-laki untuk dapat diangkat menjadi pemimpin.
Pada hadits di atas tidak terlalu terpengaruh atas takdir perempuan ataupun hak-haknya melainkan dengan yang berkaitan dengan perbedaan natural dalam pembentukan biologis dan psikologis laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut Islam dalam memandang kepala Negara bukan semata-mata sebagai figure.
Kemudian pernyataan diatas dipertegas kembali bahwa walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hokum, tetapi menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang puncuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak boleh menjadi kholifah, tetapi selain itu bisa.
 Di dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala Negara:
          
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya dan ulil amri di antara kamu”
Ayat ini memerintahkan agar ummat Muslim taat dan patuh kepada Allah, Rosun Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar terciptanya kemaslahatan umum. Patuh di sini berlaku bagi para ulil amri yang sesuai dengan perintah Allah dalam melaksanakan hokum-hukumNya, seperti melaksanakan ajran-ajaran yang dibawa oleh Rosulullah dan lain sebagainya.
Tentunya dalam hal ulil amri disini haruslah orang yang berilmu dan berpengetahuan yang luas akan hal pemerintahan. Kaitannya dengan kepemimpinan bahwasnya Islam melarang bagi wanita untuk menempuk kepala Negara bertujuan untuk menghindari hal-hal yang kiranya wanita itu tidak dapat memberikan kemasalhatan bagi rakyatnya. Karena dalam hal keadilan perempuan itu lebih lemah daripada laki-laki.
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan wanita, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri baik ditingkat kepala negara maupun dalam perangkat-perangkatnya. Di samping tinjauan syara’, tinjauan sejarah pun membuktikan baik di masa Khulafaturrasyidin, Bany Umayyah, Abbasiyah, atau pemerintahan sesudahnya tidak pernah sekalipun kholifah yang diangkat adalah seorang wanita.
Memang pernah di Mesir pernah berkuasa seeorang Ratu yang bernama Sjaratuddur dari Dinasti Mamalik yang tunduk pada Khilafah Abasiyah yang waktu itu dijabat oleh Kholifah Al Mustanshir Billah. Pada saat Malikus Sholih meninggal, kekuasaan diberikan kepada Sjaratuddur. Mendengar peristiwa itu Kholifah mengirimkan surat yang menanyakan apakah di Mesir tidak ada laki-laki? Kalaupun tidak ada kholifah akan mengirimkan seorang laki-laki dari Baghdad untuk berkuasa di Mesir. Akhirnya Sajaratuddur mengundurkan diri yang kemudian digantikan Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelaslah bhwa tidak ada refernsi historis dalam Islam yang menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
2. Sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah…
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!.
Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwasanya Islam tidak menyetujui akan adanya suatu sistem yang yang benar-benar tidak bersumber dari Al Qur’an al Hadits, bagaimana dengan halnya sistem di indonesia yang berbentuk republik, apakah kita akan bersikap egois semata, karena kita belum melihat dari mata mana kita mengharamkan sistem repubilk. Menurut pemahaman kami, tidak setuju apabila dengan segera tiba-tiba orang mengharamkan bahkan membenci sistem yang telah berlaku di negara kita. Kita lihat dulu dari sejarah dan kemapanan negara kita dalam hal ini, selain itu juga kita harus melihat kemaslahatan rakyat kita selama ini. Kita tidak boleh egois sebelah kaitannya dengan hal khilafiah.
Mengenai dengan presiden yang negara kita berlakukan, kaitannya pernah tejadi presiden perempuan, tentunya hal ini seharusnya menjadi renungan kita ke depan untuk mempersiapkan lebih dini pemimpin laki-laki yang tentunya lebih dipentingkan dalam dalam dengan tidak mengesampingkan peran wanita sebagai seorang yang dapat membantu dari belakang demi kemajuan bersama. Mungkin ini tanggapan dari kami kaitannya dengan adanya pernyataan di atas.
B. Hakim Perempuan dalam Pandangan Islam
Masalah boleh atau tidaknya hakim sampai saat ini masih menjadi objek perdebatan yang masih menuai perbedaan di kalangan ulama fiqh. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman para ulama akan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Menurut jumhur Ulama, Imam Malik. Imam Safi’I, dan Imam Hambali melarang seorang wanita menjadi hakim. Dasarnya adalah sesuai dengan firman Allah:
             
“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan kerena mereka telah memberikah nafkah sebagian dari kekayaan mereka…….
Adapun pendapat lain yang mendukung penolakan wanita sebagai seorang hakim secara mutlak, mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qhadi menurut syara’ sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat , padahal secara umum wanita lemah akalnya. Di mana Rosulullah menafsirkan ketidak keesempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian wanita nilainya setengah dari keaksian laki-laki.
Sedangkan menurut ulama yang lain mengatakan bahwa hakim perempuan dibolehkan secara mutlak yakni dalam semua perkara. Alasan mereka yang mengemukakan hal seperti itu adalah bahwa wanita mempunyai potensi dan boleh menjadi hakim. Alasan lain bahwasanya semua manusia yang dapat menengahi suatu masalah diantara manusia, maka keputusannya sah. Kecuali hal-hal yang sudah menjadi ‘Ijma yaitu masalah kepemimpinan yang besar seperti kholifah.
Kemudian dijelaskan kembali bahwa mengenai jabatan hakim kecuali qadhi mazhalim yang mengadili para pejabat diperbolehkan dijabat oleh seorang wanita, karena qadhi dalam system pemerintahan Islam tidak termasuk jabatan kekuasaan. Qhadi adalah jabatan mengadili perkara perselisihan di antara anggota masyarakat atau pelanggaran ketertiban umum, atau hak-hak jamaah di mana fungsi qhadi sebagai pemutus perkara adalah menyampaikan keputusan hokum Allah swt atas-tiap-tiap perkara.
Dengan demikian pejabat memberitahukan hokum Allah itu biasa dijabat oleh siapa saja, boleh laki-laki ataupun perempuan selagi dia tahu dan paham akan hokum Allah.
C. Pembatasan Dalam Islam (Mahram)
 • •      ••           • 
“ Hai istri-istri nabi !kamu tidak seperti perempuan-perempuan lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicarasehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Pada Ayat ini Allah memerintahkan istri-istri nabi untuk berdiam diri di ruamah masing-masing. Perintah ini berlaku untuk istri-istri nabi dan ummul mukminat lainnya. Mereka dilarang memamerkan perhiasannya, dan bertingkah laku eperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu sebelum zaman Nabi Muhammad saw. Perhiasan dan kecantikan seorang istri itu adalah hanya untuk suaminya dan bukan untuk dipamerkan kepada orang lain. Segala perbuatan yang menjurus kea rah perzinaan dilarang keras oleh agama Islam. Hal sangat logis dan berlaku bagi wanita yang mana akhir-akhir ini banyak sekali para wanita yang menuntuk haknya agar disamakan dengan laki-laki dalam segala hal, padahal ini sangat dilarang oleh Allah karena melihat dampak dan efeknya apabila laki-laki dan perempuan disamakan dalam segala hal.
Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada wanita-wanita muslim lewat ayat ini agar selalu berhati-hati dalam bertindak terhadap suami agar tidak melampoi batas. Kemudian Allah swt menerangkan sebab dikeluarkannya perintah itu, ialah karena Allah bermaksud akan membersihkan mereka dari kekotoran kefasikan dan kemunafikan yang biasa menempel kepada orang yang berdosa.
Ayat ini juga merupakan ayat yang khusus berkenaan dengan istri-istri nabi Muhammad saw. Oleh karena hal ini terbatas hanya untuk mereka. Hal ini bertujuan untuk membedakan anta istri-istri Nabi dengan perempuan-perempuan lain. Sehingga mereka diwajibkan tinggal di rumah dengan sebagian besar waktunya.
Walaupun ayat ini dkhususkan kepada istri-istri Nabi, setidaknya kita sebagai ummatnya selalu meneladani sifat-sifat Nabi dalam mendidik istri-istri Nabi, termasuk disuruh untuk tinggal di rumah untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak rumah tangga. Terlebih lagi ayat tersebut tidak berarti bahwa mereka harus tinggal di rumah secara mutlaq. Semata-mata yang dimaksud adalah tinggal di dalam rumah selama tidak ada keperluan yang memasak untuk keluar rumah.
Disini kita perlu kembali kepada prinsip pertama yang dijelaskan di dalam Al Qur’an bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan hak mendapatkan pekerjaan bagi laki-laki dan perempuan tanpa terikat satu tempat. Hanya saja dalam prosesnya ada ketentuan penyesuaian dengan status dan kemampuan. Al Qur’an mengisahkan dua anak gadis Nabi Syu’aib yang pekerjaannya pengembala ternak milik ayahnya. Disini Al-Quran memberi contoh hak perempuan yang bekerja di luar rumah sesuai kondisi dan kemampuannya.
Namun demikian, walaupun dikenal dalam ajaran Islam bahwa perempuan mempunyai hak dan kesempatan berkarir yang sama menjalankan tugasnya menjadi wanita karir, ada pembatasan yang diberlakukan. Yaitu, dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sbegai seorang wanita secara alamiah. Ataun lebih tepatnya wanita karir tidak melupakan kodratnya sebagi perempuan, seperti mendidik anak, mengurusi keluarga, suami, sehingga tetap ada komitmen syariah di dalamnya.
Seperti halnya juga dalam bepergian, bahwasanya seorang perempuan yang mau bepergian harusnya dengan mahramnya. Hal ini untuk menjaga keamanan bagi si wanita dari hal-hal yang membahayakan dirinya.
D. Analisa-Kritis Kepemimpinan Perempuan
Dengan berbagai deskripsi diatas, penulis tidak mendapatkan adanya sebuah pelarangan yang bersifat syar’i terkait dengan kepemimpinan perempuan. Mengalisa hadis diatas, penulis mendapatkan tiga (3) subject matter yang dapat dijadikan sebuah kunci utama dalam mengkritisi hadis tersebut. Pertama, tentang status perawi pertama (Abu Bakrah) yang menurut sebagian kritikus hadis memiliki cacat moral. Kedua, asbab al-wurud mikro yang menurut penulis sangat politis, spesifik, dan tidak rasional jika dipaksakan untuk menjeneraliris realitas masyarakat yang berbeda baik ruang maupun waktu. Ketiga, social-setting makro dari masyarakat pada waktu itu yang masih sangat patriakhal, sehingga kepemimpinan perempuan masih perlu untuk dihindari karena perempuan pada waktu itu masih unqualified. Dengan demikian, adanya penafsiran yang kemudian menjadi alat untuk melegitimasi superioritas laki-laki dalam kepemimpinan, perlu untuk didekonstruksi. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial.
Dalam kepemimpinan, nilai yang dianggap paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi kemampuan, kapasitas, ghiroh, dan skill. Kepemimpinan erat kaitannya dengan politik, dalam hal ini perempuan memiliki hak politik yang sama dengan kaum laki-laki. Hak politik perempuan artinya hak untuk berpendapat, untuk menjadi anggota lembaga perwakilan, dan untuk memperoleh kekuasaan yang benar atas sesuatu seperti memimpin lembaga formal, organisasi, partai dan negara.
Sejauhmana seorang pemimpin dapat bertanggungjawab dengan semua kinerja secara professional, itulah kunci utama dalam sebuah kepemimpinan yang diserukan oleh Nabi dengan statemennya:
كلكم راع وكلكم مسوءول عم رعيته, متفـق علـيه عن ابن عمر به مرفوعا
Hadis tersebut dapat menjadi alat untuk membendung justice claim terhadap pelbagai stigma miring kepemimpinan perempuan. Adanya penafsiran secara parsial terhadap hadis yang dijadikan alat untuk memposisikan perempuan inferior dari laki-laki perlu untuk mendapat sentuhan kritis. Disinilah perlunya kita kembali kepada prinsip mengambil apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif yang sesuai dengan kondisi dimana dan kapan kita berada.



PENUTUP
Islam adalah agama paripurna yang memberikan solusi apa saja yang berkaitan dengan problematika kehidupan secara rinci dan global. Tidak ada satu pun yang tidak dapat terselesaikan dalam Islam. Termasuk dalam hal kepemimpinan wanita yang sering sekali kita dengar dengan istilah gender yang sampai sekarang masih terus diperdebatkan termasuk halnya akan hakim wanita dan pembatasan wanita dalam perbuatan. Dengan mengadakan pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan dalam makalah ini, sudah sepatutnya kami selaku pemakalah akan mengambil inti atau kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut.
Pertama, bahwasanya kalau menyangkut hal-hak jabatan kekuasaan, termasuk pemimpin Negara maka Islam mengharamkan wanita sebagai kepala Negara yang mengaturnya. Walaupun system di Negara kita bukan Khilafah melainkan Republik.
Kedua, Qhadi dalam Islam masih terjadi perdebatan untuk menentukan boleh atau tidaknya dipegang oleh wanita. Namun selama tidak ada nash qath’I yang mengharamkan pekerjaan ini, maka masalahnya diserahkan kepada negaranya masing-masing. Ringkasnya masalah tentang qhadi wanita dalam Islam, tidak menjadi masalah negative dari sisi pengambilan dalil dan fatwa, yang mana masih membuka lebar-lebar bagi ahli fiqh yang mau memberikan sumbangsihnya dalam menyesaikan masalah ini.
Yang terakhi, bahwasanya Islam adalah agama yang mudah, baik untuk laki-laki dan perempuan dalam kaitannya hak dan kesempatan mereka dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagi kholifah di muka bumi ini.
Demikian kesimpulan yang dapat kami ambil dari apa yang yang ada dalam makalah kami ini, semoga kita sebagi ummat yang berada dalam agama yang sempurna sangat perlu dan wajib mempelajarinya sebagai calon pewaris Nabi yang terhindar dari hal-hal yang dapat menyesatkan kita. Amiin.










DAFTAR PUSTAKA

- Al Qur’an Al Karim.
- Ahmad, Khurshid.2007. Islam Its Meaning and Massage. The Islamic Fondation.
- A.W. Munawwir.1997. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Prograsif.
- Bahnasawi, Salim Ali.1996. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
- Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
- Engineer, Asghar Ali.1998. Hak-hak Perempuan Dalam Islam. Jakarta: LSSP.
- Hamim Ilyas, dkk. 2008. Perempuan Tertindas: Kajian Hadis-Hadis “Misoginis”.
Yogyakarta: elSAQ Press dan PSW.
- Imam Al-Qurthubiy. 1951. Al-Jaami’ Li Ahkam Al Qur’an. Cairo: Dar Al Sya’b.
- Jafar, M Anis Qasim.1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung: Zaman Wacana.
- Munir, Lily Zakiyah Munir. 1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Prospektif Islam. Bandung: Mizan.
- Sonhaji dkk. 1990. Al Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf.
- Subhan, Zaetunah. 2006Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: LKIS.
- Syamsuddin Muhammad as-Sikhawi. 1987. al-Maqosid al-Hasanah. Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- ______, 2006. Al-Qur’an dan Tafsirnya Edisi Yang Disempurnakan. Jakarta: Departemen Agama RI.

Internet
- Tinjauan Syariah Tentang Presiden Wanita, www.angelfire.com.
- Kepemimpinan wanita Dalam Pandangan Islam, www.gaulislam.com
- Hak wanita Dalam Memimpin peradilan, www.pesantrenonline.com