Sabtu, 24 Oktober 2009

makalah ushul fiqh

BAB 1
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, prilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Dari pada itu, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Hukum
Hukum syar'i atau hukum syara' adalah kata mejemuk yang tersusun dari kata "hukum" dan kata "syara'". Kata hukum berasal dari bahasa arab (الحكم) yang secara etimologi berarti "memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan", kata hukum pada sekarang ini sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata "hukum" terdapat perbedaan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat di katakan bahwa hukum adalah "seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan dan di akui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, dan hukum tersebut berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya".
Kata "syara" secara etimologi berarti "jalan", jalan yang biasa di lalui air, maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti "ketentuan Allah".
Hukum syara menurut istilah para ahli Ushul fiqh ialah: khitab Allah yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Misalnya firman Allah dalam Quran (ا بالعقوداوفو), artinya: penuhilah janji.
Ini merupakan khitab dari syar'i yang bersangkutan dengan pemenuhan berbagai janji, dalam bentuk tuntutan untuk mengerjakannya. Firman Allah dalam Quran(لا يسخر قوم من قوم), "janganlah satu kaum mengolok kaum yang lain". ini adalah khitab syar'i yang berkaitan dengan menolok-ngolokkan, dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkannya.
Adapun hukum syara' menurut istilah ahli fiqh, adalah: efek yang di kehendaki oleh khitab syar'i. seperti, kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Firman Allah swt (ا بالعقوداوفو), "penuhilah janji" Menurut kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum dalam istilah para ahli ilmu Ushul fiqh, dan kewajiban memenuhi janji itulah hukum menurut istilah para faqih.
Firman Allah swt (ولا تقربواالزنا) "janganlah kamu mendekati zina" nash ini hukum menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh. Sedangkan keharaman mendekati zina adalah hukum menurut istilah fuqaha.
2. Macam- Macam Hukum
Dari definisi hukum syara', menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqh dapat di ambil kesimpulan bahwasanya hukum itu bukanlah satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntutan, ada kalanya dari segi pilihan, ada kalanya dari segi penetapan. Nyatalah bahwa elemen-elemen yang terdapat dalam ta'rif itu membedakan hukum kepada dua macam, yakni:
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah, khitab syar'i yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan oleh para mukallaf atau untuk di tinggalkan atau yang mengandung pilihan antara di kerjakan dan di tinggalkannya. Misalnya,
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di kerjakan ialah:
خذ من اموالهم صدقة (التوبة: 103)
"Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka"
 Khitab yang mengandung tuntutan untuk di tinggalkan ialah:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما اهل لغير الله به (المائده:3)
"Di haramkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang di sembelih dengan nama selain Allah"
 Khitab yang mengandung pilihan, antara di kerjakan dengan di tinggalkan ialah:
فاذا قضيت الصلوة فانتشروا فى الآرض (الجعه:10)
"Apabila telah selesai sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi"
Khitab tersebut di namai hukum taklifi karena mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu pekerjaan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi alternatif belaka. Para Ushuliun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukum taklif) adalah berdasarkan kepada umumnya (ghalibnya).
Sedangkan bentuk perintah dan larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu berbentuk pasti, maka di sebut wajib, jika tidak pasti maka di sebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan bila berbentuk pasti maka di sebut haram, dan bila tidak pasti maka di sebut makruh. Sedangkan yang di maksud dengan takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
Dengan demikian, hukum taklifi itu terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Pembagian tersebut adalah menurut jumhur ulama, sedangkan menurut mazhab hanafi hukum taklifi terbagi menjadi tujuh, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram, dan mubah. Di sini akan di jelas hukum taklifi dan telah di sepakati (yang berjumlah lima macam) itulah yang di sebut "hukum yang lima" atau al-ahkam al-khamsah yaitu:
1. Hijab ialah: (طلب الفعل طلبا جازما) tuntutan untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus di perbuat, sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali di tinggalkan sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi dalam bentuk ini di sebut hijab. Pengaruhnya terhadap perbuatan disebut wujub. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut wajib, umpamanya mendirikan shalat.
2. Nadb ialah: (طلب الفعل طلبا غير جازم) tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu di tuntut untuk di laksanakan. Terhadap yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tapi bila tuntutan itu di tinggalkan maka tidak apa-apa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut nadb juga. Sedangkan perbuatan yang di tuntut di sebut mandub, umpamanya memberi sumbangan kepada panti asuhan.
3. Tahrim ialah: (طلب الترك طلبا جازما) tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang di tuntut harus meninggalkannya. Bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah, karenanya patut mendapat ancaman dosa. Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan di sebut Hurmah, sedangkan perbuatan yang di larang secara pasti itu di sebut Muharram atau haram, umpamanya memakan harta anak yatim secara tidak patut.
4. Karahah ialah: (طلب الترك طلبا غير جازم) tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin dia tidak meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larangan berarti ia telah mematuhi yang melarang, karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak pastinya larangan ini maka yang tidak meninggalkan larangan tidak mungkin di sebut menyalahi yang melarang. Oleh karena itu dia tidak berhak mendapat ancaman dosa. Perbuatan yang dilarang secara tidak pasti di sebut makruh, umpamanya merokok.
5. Ibahah ialah: khitab syar'i yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakan maupun meninggalkan. bila seseorang mengerjakan maka ia tidak di beri ganjaran dan tidak pula di ancam atas perbuatannya itu, ia juga tidak di larang berbuat. Pengaruh dari khitab ini terhadap perbuatan di sebut ibahah, sedangkan perbuatan yang diperkenankan untuk berbuat atau tidak di sebut mubah atau jaiz. Umpamanya melakukan perburuan sesudah melakukan tahallul dalam ibadah haji.
b. Hukum Wadh'i
Hukum wadh'i adalah: khitab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu. Contoh adanya sesuatu sebagai:
• Sebab sesuatu, ialah firman Allah:
يأايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فغسلوا وجوهم وايديكم الى المرافق... (المايدءه: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, bila kamu handak shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku………"
Kemauan menjalankan shalat dalam ayat tersebut adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu.
• Syarat sesuatu, ialah firman Allah:
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.... (ال عمران:97)
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan………"
Kesanggupan mengadakan perjalanan ke Baitullah adalah menjadi syarat wajibnya menunaikan haji.
• Penghalang sesuat, ialah sabda rosulullah yang berbunyi:
لا يرث المسلم الكا فر ولا الكافر المسلم (متفق عليه)
"Orang muslim tidak dapat mempusakai orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mempusakai orang muslim" (HR. Bhukari, Muslim)
Berlainan agama antara orang yang mewariskan dengan penerima waris adalah menjadi penghalang pusaka-mempusakai.
Hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian di peroleh ketetapan, bahwasanya hukum wadh'i adakalanya menghendaki untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang, atau menjadi pemboleh adalah rukhshah (kemurahan) dan shihah. Atas dasar itulah hukum wadh'i terbagi kepada lima bagian, ialah:
 Sebab (al-sabab) menurut jumhur ulama adalah: sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (syar'i, pembuat hukum) di jadikan sebagai sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Masuknya bulan ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya ia adalah sesuatu yang jelas dan dapat di ukur apakah bulan ramadhan sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan di sebut sebab, sedangkan datangnya kewajiban puasa ramadhan di sebut musabbab atau hukum, dan sabab (sebab) tersebut terbagi atas dua macam, yaitu:
 Sebab yang berada di luar batas kemampuan mukallaf yaitu sebab yang di jadikan Allah swt, sebagai petanda atas adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang di jadikan petanda untuk hukum oleh Allah swt. Umpanya tergelincir matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur, dalam firmannya:
اقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق الليل (الاسراء: 78)
"Dirikanlan shalat karena tergelincir nya matahari sampai gelap malam"
 Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf ialah sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang di tetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya perbuatan mukallaf yang nyata di jadikan petanda adanya hukum. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-khasar shalat, perjalanan itu di sebut sebab, ia adalah perbuatan mukallaf yang di lakukannya dengan sadar dan dalam kemampuannya, akibat adanya sebab ini di jadikan Allah adanya rukhshah melakukan shalat.
 Syarath adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Misalnya perkawinan adalah syarat untuk menjatuhkan talak, dengan arti bahwa tidak adanya perkawinan maka tidak akan adanya talak, tetapi dengan adanya perkawinan tidaklah mesti adanya talak. Begitu juga bewudhu adalah syarat bagi sahnya shalat, apabila kita tidak berwudhu maka shalat yang kita lakukan tidaklah sah, akan tetapi tidaklah mesti dengan adanya wudhu makan harus shalat. Dan syaratbterbagi menjadi tiga macam, yaitu:
 Syarat 'aqli contohnya "kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui, adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
 Syarat 'adi artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku: seperti, bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlansungnya kebakaran.
 Syarat syar'i yaitu syarat berdasarkan penetapan syara', seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat, nisab syarat wajibnya zakat.
 Mani' (penghalang) ialah perkara syara' yang keberadaannya menafikkan tujuan yang di kehendaki oleh sebab atau hukum. kata amru syar'i yang di sebut dalam definisi menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang itu adalah perbuatan hukum yang di tetapkan oleh pembuat hukum itu sendiri sebagai penghalang, yaitu hadist nabi yang mengatakan(القاتل لا يرث) "si pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang di bunuh".
Adanya pembunuhan meniadakan tujuan yang di tetapkan oleh hukum itu dalam contoh di atas yaitu peralihan hak waris kepada ahli waris. Dari ta'rif tersebut dapat kita ketahui bahwa mani' itu terbagi atas dua macam, yaitu:
 Mani' terhadap hukum, misalnya perbedaan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang menerima waris adalahn suatu mani' (penghalang), hukum pusaka-mempusakai biarpun sebab untuk mempusakai, yaitu perkawinan atau hubungan darah sudah ada, jadi yang di halangi (mamnu') di sini adalah hukum pusaka-mempusakai, bukan sebab-sebab (hukum) mempusakai.
 Mani' terhadap sebab hukum, misalnya seseorang telah berkewajiban membayar zakat, tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat, karena harta yang ia miliki tidak sampai senisab lagi. Memiliki harta satu nisab ini adalah sebab wajibnya zakat, dalam keadaan ini dia mempunyai banyak hutang, sehingga menjadi penghalang terhadap sebab adanya hukum wajib zakat.
 Rukhsah (kemurahan) dan Azimah (hukum ashli)
Rukhsah ialah ketentuan yang di syari'atkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Sedangkan Azimah peraturan syara yang ashli yang berlaku hukum, artinya ia di syari'atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalm keadaan yang biasa. Misalnya babi, menurut aslinya haram di makan oleh semua orang yang islam, tetapi apabila dalam keadaan terpaksa, ia di perkanankan memakannya, asalkan tidak berlebih-lebihann. Haramnya memakan babi adalah Azimah, sedangkan boleh memakannya bagi orang yang terpaksa adalah Rukhsah. Rukhsah itu ada beberapa macam, antara lain:
 Membolehkan hal-hal yang di haram, di sebabkan karena situasi darurat.
 Membolehkan meninggalkan sesuatu karena adanya alasan udzur.
 Memberikan pengecualian sebagian perikatan-perikatan karena di hajatkan dalam lalu lintas mu'amalah.
 Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syari'at yang terdahulu.
 Shihah (sah) dan buthlan (batal)
Pengertian sah menurut syara' ialah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum. seperti, bila seorang mukallaf dalam menjalankan suatu kewajiban, (shalat, puasa, Zakat) sudah memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka terpenuhilah olehnya kewajiban tersebut dan dia bebas dari tanggungan, maka ia bebas dalam hukuman di dunia serta berhak mendapat pahala di akhirat. Adapun pengertian batalnya suatu perbuatan ialah perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum.
3. Perbedaan antara hukum Taklifi dengan hukum Wadh'i
Adapun perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh'i adalah sebagai berikut:
 Di tinjau dari segi tujuan, maka hukum taklifi menuntut, mencegah atau memberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan perbuatan. Sedangkan tujuan hukum wadh'i untuk menerangkan bahwa sesuatu itu menjadi sebab bagi musabab, syarat bagi masyruth atau penghalang bagi suatu hukum.
 Di tinjau dari segi hubungan dengan kesanggupan orang mukallaf. Maka hukum taklifi selalu di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh'i itu ada kalanya di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misaalnya ijab qabul dalam segala macam perikatan dan ada kalanya tidak di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf, misalnya pertalian darah menyebabkan saling mempusakai dan gila menyebabkan gugurnya taklif (pembebanan kewajiban).





BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa hukum taklifi menurut jumhur ulama terbagi menjadi lima, yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hukum taklifi terbagi atas tujuh bagian, yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah. Dan hukum wadh'i juga terbagi atas lima bagian, yaitu: sebab, syarat, mani', rukhshah, shihah.
DAFTAR PUSTAKA
- Syariuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
- Wahhab Khalaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
- Yahya, Mukhtar, dan Rahman, Fathur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

makalah ulumul Quran

BAB I
PENDAHULUAN
Al quran di turunkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar dan di ridhoi Allah swt. Al quran memberikan konsep dasar kehidupan yang di dasarkan iman kepada Allah swt. Menceritakan keadaan-keadaan ummat terdahulu, menyebutkan kejadian-kejadian yang sedang terjadi dan mengabaikan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Konsep yang tertuang dalam Al quran mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dari zaman Nabi saw. Sampai hari kiamat, kandungan dan isi Al quran selalu menjadi topic permasalahan yang harus di kutip dan di jelaskan sedetail mungkin. Kata-katanya yang mengandung sastra dan seni bahasa yang tinggi membuat sulit untuk di pahami dan di artikan oleh banyak umum untuk memberikan pemahaman yang benar dan pengartian yang tepat, seseorang harus mempelajari berbagai pengertian yang berhubungan dengan Al quran, yaitu ilmu-ilmu yang memuat pembahasan-pembahasan tentang Al quran atau disebut dengan 'ulumul quran.
Pembahasan yang termasuk di anggap penting dalam memahami Al quran adalah pembahasan tentang kejadian-kejadian dan sebab-sebab yang menyebabkan di turunkannya ayat-ayat Al quran atau disebut dengan Asbabun Nuzul, lalu apakah hakikat asbabun nuzul itu? Dan sejauh mana peranannya dalam memahami Al quran?
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang asbabunnuzul. Dengan pengetahuan yang kurang memadai penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, saran dan kritik dari pembaca selalu di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terimakasih.



Jakarta, 27 April 2009
Penulis

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian asbabun Nuzul Dan ilmu Asbabun Nuzul
Secara bahasa Asbabun nuzul terdiri dari dua kata yaitu; Asbab dan Nuzul. Dalam bahasa arab asbab adalah bentuk jamak dari sabab yang artinya sebab. Sedangkan nuzul artinya adalah turun. Sedangkan secara istilah Asbabun Nuzul adalah sesuatu hal yang karenanya Al quran diturunkan untuk menerangkan setatus hukumnya pada masa hal itu terjadi baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Sedangkan ilmu asbabunnuzul adalah ilmu yang di gunakan untuk mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Al quran yang berupa riwayat-riwayar dari para sahabat Nabi saw. Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabunnuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Assuyuti berkata sesuatu yang perlu di perhatikan dalam asbabunuzul adalah suatu hal yang menyebabkan di turunnya ayat Al quran pada waktu terjadinya sutu hal tersebut. Pendapat ini untuk mengkritik apa yang di katakana Al wahidi dalam tafsirnya pada surat al fiil bahwa sebab turunnya adalah kisah datangnya orang-orang Habasyiyah. Kisah ini sedikitpun tidak termasuk asbabunnuyul, melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah Nabi Nuh, kaum 'Ad, kaum samud, pembangunan ka'bah dan sebagainya. Demikian pula al Wahidi menyebutkan dalam firman Allah swt.

Sebab turunnya ayat ini adalah karena Ibrahim di jadikan kesayangan allah seperti telah diketahui, hal itu sedikitpun tidak termasuk kedalam asbabunnuzul.
B. Macam-macam dan contoh
Setelah di selidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1. Terjadinya suatu peristiwa, kemudian turunlah ayat Al quran mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan ketika turun ayat
Nabi keluar dan naik bukit shofa, Lalu berseru " wahai kaumku" maka mereka berkumpul kedekat Nabi, Nabi berkata "Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepada kalian bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangkalian, percayakah kalian tentang apa yang aka katakan" mereka menjawab kami belum pernah melihatmu berdusta, nabi berkata lagi " Sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang siksa yang pedih" ketika itu Abu Lahab berkata " celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? "lalu ia berdiri, maka turunlah surat ini;
HR. Bukhori, Muslim dan yang lain.
2. Ditanyakannya sesuatu kepada Rasulullah saw, kemudian turunlah ayat Al quran yang menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khalah Binti Tsa'labah dikenakan dhihar oleh suaminya, Auf bin Shomit, lalu ia datang kepada Rasul saw, mangadukan hal itu. Aisyah berkata maha suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya yang aku mendengar ucapan Kaulah Binti Tsa'labah sekalipun tidak seluruhnya ia mengadukan suaminya kepada Rasul saw, ia berkata' wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sehingga setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, Ia menjatuhkan dhihar kepadaku. Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu, Aisyah berkata " tiba-tiba Jibril turun membawa ayat ini :
Yakni Aus bin Shomit " HR. Ibnu Majjah dan Ibnu abi Hatim, di shohihkan oleh al Hakim ibnu Mardawih, dan Baihaqi.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat Al quran di turunkan karena timbul dari suatu peristiwa dan kejadian atau karena pertanyaan. Tetapi ada di antaranya yang di turunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syari'at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al Jabari mengatakan "Al quran di turunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan "
C. Makna Ungkapan Asbabun Nuzul
Ungkapan asbabunnuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, dan terkadang berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya, Bentuk ungkapan yang pertama ialah jika perawi mengatakan "sebab nuzul ayat ini adalah begini" atau menggunakan fa' taqibiyah yang di rangkaikan dengan kata "nuzul" sesudah disebutkan peristiwa atau pertanyaan, misalnya ia mengatakan" "
Telah terjadi peristiwa begini "atau,
"Rasulullah saw, ditanya begini" kemudian turunlah ayat ini" Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.
Bentuk yang kedua, yaitu redaksi yang kalah jadi menerangkan sebab nuzul, atau sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat. Demikian itu jika seorang rawi berkata :
. yang dimaksud dengan ungkapan ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.
Demikia juga bila perawi mengatakan " " dengan bentuk seperti ini perawi tidak memastikan sebab nuzul. Misalnya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berkata ; ayat" turun berhubungan dengan masalah menggauli istri dari belakang," HR. Bukhari.
Contoh kedua adalah apa yang di riwayatkan dari Abdullah Bin Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang pernah ikut dalam perang Badar bersama Nabi. Dihadapan Rasul saw, tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi, keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Anshar berkata biarkan airnya mengalir" tetapi Zubair menolak, Maka Rasulullah berkata" Airi kebunmu itu Zubair, kemudian air itu mengalir ke kebun tetanggamu" Orang Anshar itu marah dan berkata "Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu berbuat demikian? Wajah Rasul menjadi merah, kemudian berkata "airi kebunmu itu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang, lalu biarkanlah ia mengalir ke kebun tetanggamu" Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelumnya beliau mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan orang Anshar itu, ketika Rasul marah kepada orang Anshar itu dan memenuhi hak Zubair secara nyata, maka Zubair berkata" aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut.
D. Kegunaan Asbabun Nuzul dalam Memahami Al Quran
Pengetahuan mengenai asbabunnuzul mempunyai banyak faidah yang penting, di antaranya :
1. Menerangkan hikmah di undangkannya suatu hukum dan perhatian syara' terhadap kepentingan umum dalam memberikan solusi segala peristiwa.
2. Menghususkan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum, misalanya adalah firman Allah swt.

Telah di riwayatkan dari Marwan. Ia berkata kepada penjaga pintunya "pergilah wahai Rafi' kepada Ibnu Abbas dan katakanlah" sekiranya setiap orang diantara kita yang bergembira dengan apa yang telah di kerjakan dan ingin di puji dengan perbuatan yang belum di kerjakannya, tentulah kita semua akan di siksa, Ibnu Abbas menjawab:" Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli kitab, kemudian ia membaca ayat"
Ibnu Abbas berkata"Rasulullah saw, menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya, lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah, apa yang di tanyakan kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin di puji oleh Rasul dan mereka telah bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang telah di tanyakan kepada mereka"HR. Bukhari, Muslim dan yang lain.
3. Apabila lafadz yang di turunkan itu lafadz yang umum dan terdapat dalil atas penghususannya, maka pengetahuan asbabunnuzul membatasi penghususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab, dan bentuk sebab ini tidak dapat di keluarkan, karena masuknya bentuk sebab dalam lafadz yang umum itu bersifat qath'i (pasti). Misalnya dalam firman allah swt.
Ibnu Abbas berkata; Ayat ini berkenaan dengan 'Aisyah dan istri-istri Nabi saw. Allah tidak menerima taubat orang yang melakukan hal itu, dan menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan yang beriman selain istri-istri Nabi. Kemudian Ibnu Abbas membacakan"
Atas dasar ini, penerimaan taubat orang yang menuduh zina ini sekalipun merupakan penghususan dari keumuman firman Allah"
Tidaklah mencakup penghususan orang yang menuduh zina terhadap 'aisyah atau istri-istri Nabi, karena yang ini tidak ada taubatnya. Karena masuknya sebab kedalam cakupan makna lafadz yang umum itu bersifat qath'i(pasti)
4. Memberikan kefahaman terhadap makna-makna al quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi kedalam ayat-ayat yang tidak ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al Wahidi berkata" tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya"
5. Menjelaskan tentang siapa yang di maksud dalam ayat itu sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
E. Kaidah menetapkan hukum di kaitkan dengan Asbabun Nuzul.
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadan seperti ini maka cara menentukan hukum sebagai berikut;
1. Apabila bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti; "ayat ini turun mengenai hal ini" Aku mengira ayat ini turun mengenai hal ini " maka hal ini bukan termasuk sebab nuzul hanya penafsiran saja, kecuali jika ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul dengan tegas. Misalnya adalah riwayat yang dari Nafi' ra berkata," pada suatu hari aku membaca "
Maka Ibnu Umar berkata" Tahukah engkau mengenai ayat ini turun?" aku menjawab "tidak" ia berkata" ayat turun mengenai persoalan menggauli istri dari belakang" HR.Bukhari. Bentuk redaksi riwayat Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara riwayat lain dari Jabir berkata: Orang-orang yahudi berkata"apabila seorang laki-laki menggauli istrinya dari belakang, maka anaknya akan bermata juling" kemudian turunlah ayat;
HR. Bukhari,Abu Daud,Tarmidzi, Nasa'I, Ibnu Majjah dll. Maka jabir inilah yang di jadikan pegangan, sedangkan ucapan Ibnu Umar di pandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, maka riwayat yang shahihlah yang di jadikan pegangan.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, maka yang di dahulukan adalah riwayat yang lebih kuat dan shahih.
5. Apabila riwayat-riwayat itu sama kuat, maka riwayat itu di padukan bila mungkin, Ibnu Hajar berkata" banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal"
6. Bila tidak mungkin di padukan maka di pandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.



BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa sabab nuzul adalah hal-hal yang menyebabkan diturunkannya ayat al Quran yang berupa peristiwa atau pertanyaan kepada Rasul saw. Untuk menerangkan setatus hukumnya pada masa hal itu terjadi. Sebab nuzul berupa riwayat-riwayat yang menerangkan asal muasal ayat Al Quran di turunkan, tidak semua ayat-ayat Al Quran mempunyai sebab nuzul karena sebagiannya berupa permulaan, tanpa sebab. Sebab nuzul mempunyai peran yang sangat penting karena sebab nuzul menerangkan maksud dan hukum yang tertentu bagi orang yang di maksud dalam ayat tersebut.

Daftar Pustaka:
- Amsar, Muhajirin, Attanwir fi Ulum Attafsir,1965
- Jalaluddin Assuyuthi, Al Itqon Fi Ulum Al Quran, Baerut: Dar al fikr.
- Manna' Khalil al Qattan, Mabahis fi Ulum Al quran,Riyadh; Mansyarat al 'asrh al hadis. 1973.
- Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Al quran, Jakarta; Litera Antar Nusa, 2007.
- Muhammad Ali As Shabuni, Attibyan fi Ulum Al quran, Jakarta; Dar al kutub al islamiyyah, 2003.







ILMU ASBABUN NUZUL
Makalah ini kami ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ulum Al quran I

Dosen pembimbing:
Dr. H.A. Muhaimin Zen, M. Ag


Di susun leh:
Mufid Abdul Khair
Muhaimin


FAKULTAS SYARI'AH
AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL QURAN
JAKARTA 2009

Kamis, 22 Oktober 2009

tafsir ibnu taimiyyah

TAFSIR IBN TAIMIYYAH

A. Pendahuluan
Tafsir sebagai penjelasan maksud al-Quran niscaya dari tiga sisi: Allah SWT sebagai shohibul Qoul (Yang Berfirman), Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dan manusia yang kepadanya firman Allah ditujukan. Allah SWT adalah penafsir utama. Dialah yang mengetahui maksud firmanNya . Melalui lisan Rasul SAW disampaikan oleh Allah maksud dari firman-firmanNya. Karena itu dalam pergaulan manusia, Rasulullah dianggap sebagai penafsir pertama. Sepeninggal Rasulullah SAW tugas menyampaikan penafsiran beralih tangan kepada para sahabat, dan terus bersambung dari generasi ke generasi. Keyakinan bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia sepanjang masa mendorong lahirnya berbagai karya tafsir di setiap generasi manusia, Dan salah satunya adalah Ibn Taimiyyah (1263-1328 M) yang turut mengambil peran menafsirkan al-Quran. Makalah ini akan membahas penafsiran tersebut dengan melihat dari setting biografis sang pengarang, serta deskripsi karya tafsirnya.

B. Mengenal Ibn Taimiyyah

1. Riwayat Hidup
Taqqiyuddin Abul Abbas Ahmad ibn Abdul Halim Muhammad ibn Taimiyyah al-Harrani, popular dengan nama Ibn Taimiyah, lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H di Harran dekat Damaskus, Syria. Ayahnya Syaikh Shihabuddin guru di Masjid Damaskus dan kakeknya Majduddin, Imam Fiqih Hanbali pada masanya. Keluarganya hijrah ke Damaskus ketika ia berusia tujuh tahun, karena tentara Mongol menyerang Harran. Dalam usia kurang dari sepuluh tahun Ibn Taimiyyah telah hafal al-Quran. Ia mempelajari hadits, fiqih, seluk beluk bahasa, ilmu tafsir, dan aqidah. Pada usia 22 tahun, ia menggantikan ayahnya menjadi guru hadits di berbagai madrasah terkemuka di kota Damaskus dan memberikan pelajaran tafsir al-Quran setiap jumat di masjid Jami'. Pada tahun 691 H, ia melaksanakan ibadah haji dan kembali ke Damaskus dengan membawa karangan tentang manasik haji dan mengungkapkan beberapa bid'ah yang terjadi disana .
Ibn Taimiyah berusaha menghidupkan kembalai ajaran agama Islam. Ia mengkritik ahli fiqih, tasawwuf, madzhab-madzhab kalam dan aliran pemikiran lainnya dengan logika: kaum Muslimin generasi pertama megah, karena berpegang pada ajaran Islam dan menghormati al-Quran, sedangkan pada masanya kaum Muslimin lemah dan diabaikan, karena bergeser dari sumber Islam. Maka tugas utamanya berdakwah mengajak manusia kembali kepada al-Quran dan pemahaman kaum Muslimin generasi pertama. Sikap dan ucapnnya keras, sehingga ia sering keluar masuk penjara.
Ibn Taimiyah berpengaruh pada beberapa tokoh gerakan Islam semisal Syah Waliyullah, Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab (pendiri gerakan Wahabi di Saudi Arabia), Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Pengaruh itu pada mulanya terbatas pada murid-murid terdekat, akan tetapi dalam jangka panjang meresap ke dalam tubuh orang-orang yang menekuni bidang keagamaan pada abad ke 12 H/18 M. Gerakan Wahabi merupakan manifestasi yang paling terorganisasi dari pemikiran-pemikirannya. Sekalipun demikian, gerakan ini tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran Ibn Timiyah. Jadi gagasan menghidupkan kembali semangat ijtihad di kalangan para ulama Islam merupakan ide pokok Ibn Taimiyah yang menggugah para pendiri organisasi tersebut. Ibn Taimiyah wafat pada tanggal 20 Dulqaidah 728 H/26 September 1328 M.

2. Karya-karya yang Lain
Selain Tafsir Ibn Taimiyah, ia juga menulis mengenai hampir setiap aspek Islam hinggga mencapai 500 judul. Hal ini menunjukkan bahwa ia sangat aktif sekali dalam hal tulis menulis. Berikut diantara karya-karyanya tersebut:
Bidang Aqidah: Al-Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, Bayan Mujmal 'an ahlil Jannah wan Nar, al-jawab al-Sahih liman Baddala Din al-Masih, Kitab al-Nubuwwah, Al Karam 'ala Haqiqah al-Islam wa al-Iman, Rislah fi al-Qada' wal qadar, Risalah al-Jihad, sebuah kitab yang ditulis untuk mengajak kaum Muslimin memerangi orang Mongol, Tafsil al-Ijmalfi ma yajibu lillah min sifat al-Kamal, al-Wasitan bayn al-Khalq wa al-Haqq yang membahas dasar-dasar iman dan sanggahan tentang perlunya perantara di antara manusia dengan Allah.
Bidang Fiqih: Majmu' rasail al-Kubra, Majmu' al-fatawa, Jawami' al-Kalim al-Tayyib fi al-'Adiyyah wa al-Zikr, majmu' Rasail Ibn Taimiyah, al-Masail al-Fiqhiyyah, al-Madzhab al-Wadih fi Masalatil Jawaiz, sebuah studi mengenai hokum ganti rugi apabila sesuatu yang tertera di dalam sebuah kontrak hilang sebelum diserahkan kepada pihak kedua, Qaidah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, al-Qiyas bi Syar' al-Islam, Qaidah fi al-Ibadah, Risalah fi Sunnah al-jumuah.
Bidang Tafsir:, Tafsir Surat al-Ikhlas, Tafsir Surat al-Kautsar, Muqaddimah di Usul al-Tafsir.
Bidang Hadits: Arba'un Haditsan Riwayah Ibn Taimiyah, al-Abd al-Awwali, Risalah fi syarh Hadits Abu Zar.
Bidang Tasawwuf: Rislah fi al-Suluk, Qaidah fi al-Sabr, Qaidah fi al-Radd 'ala al-Ghazali fi Mas'alah al-Tawkkul, Al-Sufiiyah wal Fuqarra.
Bidang filsafat: Al-Radd ala falsafah Ibn Rusyd al-Hafidi, Nasihah al-Iman fi al-radda ala Mantiq al-yunan kitab yang ditulis bertujuan membersihkan pikiran dari ide bahwa pengetahuan yang sejati hanya dapat dicapai melalui logika.
Bidang Politik: Al-Siyasah al-syar'iyyah fi islah al-ra'I wa al-Ra'iyyah, al-Hisbah fi al-Islam, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-syiah wal Qadariyyah, Al-Ikhtiyyarat al-Ilmiyyah kitab yang mengandung diskusi-diskusi penting mengenai teori politik, terutama di bidang pengadilan.

C. Mengenal Tafsir Ibn Taimiyah
1. Sekilas tentang Tafsir Ibn Taimiyah
Tafsir Ibn Taimiyah secara keseluruhan dihimpun oleh Abdurrahman Muhammad Ibn Qasim al-Ashimi al-Najdi al-Hanbali dalam empat jilid. Tafsir tersebut dimuat dalam Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyah jilid 14 sampai dengan 17. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1382 H, kurang lebih tahun 1961 M. Meliputi 64 surat dari 114 surat dalam al-Quran . Ayat-ayat dalam surat tersebut tidak seluruhnya ditafsirkan satu demi satu. Ibn Taimiyah sengaja tidak menafsirkan seluruh isi al-Quran karena sebagian ayat al-Quran sudah jelas dan sebagiannya telah ditafsirkan ulama dalam sejumlah kitab. Ia membatasi penafsiran pada ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Misalnya ketika menafsirkan surat al-Fatihah, ia mula-mula menjelaskan gambaran umum surat tersebut dengan mengutip hadits Nabi SAW riwayat Muslim. Pembahasan selanjutnya dibagi-bagi dalam beberapa pasal dengan mula-mula difokuskan pada ayat yang dipandang sentral dalam surat itu, kemudian kembali ke ayat yang permulaan, diikuti dengan pasal tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Disitu dibahas hakikat manusia, keterbatasan manusia dan kehendak Allah kepada hamba-Nya. Ibn Taimiyah menerapkan langkah serupa ketika menfsirkan surat kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

2. Karakterisik Penafsiran Tafsir Ibn Taimiyyah
Dalam menafsirkan al-Quran di kitab tafsirnya tersebut, Ibn Taimiyah menggunakan sumber penafsiran yang bersumber dari riwayah (naql) dan ra'yu (aql) secara harmonis. Ibn Taimiyah tidak sibuk dengan pelik-pelik i'rab dan persoalan-persoalan kebahasaan pada umumnya, kecuali untuk menegaskan maknanya atau untuk menarjihkan makna yang sesuai dengan maksud ayat. Ia mencurahkan perhatian pada ikhitiar menemukan solusi al-Quran terhadap persoalan yang dihadapi di lingkungannya. Untuk itu terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al-Quran mengenai suatu persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Oleh sebab itu cara yang ditempuh oleh Ibn Taimiyah ini merupakan Langkah penafsiran maudlu'i atau tematik.
Tafsir Ibn Taimiyah menurut istilah sekarang juga termasuk dalam kelompok tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyrakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunujuk ayat-ayat, dengan mengemukakannya dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Berikut diantara ciri pokok tafsir Ibn Taimiyah:
a. Memandang satu surat sebagai satu kesatuan yang serasi dan utuh.
Ketika menafsirkan surat al-Fatihah msalnya, ia lebih dahulu menjelaskan kedudukan surat tersebut sebagai ummul kitab (induk kitab), Fatihatul kitab (pembukaan kitab), al-sabu' minal masani (tujuh yang diulang-ulang), al-syafiyyah (Penyembuh), al-wajibah fi al-salawat (yang wajib dalam sholat), al-Kafiyyah (yang mencukupi). Ia kemudian menjelaskan keutamaannya dalm al-Quran, pokok-pokok kandungannya dan memfokuskan perhatian ada bagian atau ayat-ayat yang dipandang memerlukan penafsiran lebih lanjut, dan menjelaskan kaitan ayat yang satu dengan yang lain.

b. Menafsirkan ayat al-Quran dengan al-Quran
Ibn Taimiyah konsisten dengan pandangannnya bahwa sebaik-baik cara menafsirkan adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Jetika menafsirkan ayat: ihdina al-shirat al-mustaqim, misalnya ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang memuat lafal hidayah dan shirat al-mustaqim seperti pada QS. Al-An'am:153, QS. Al-Fath:1-3 dan juga QS. Al-Shaffat:117-118.

c. Menafsirkan ayat al-Quran dengan hadits Nabi dan perkataan sahabat
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas, Ibn taimiyah mengutip puluhan hadits dan perkataaan sahabat, baik yang menjelaskan sebab atau latar belakang turunnya surat tersebut makna lafal-lafal yang terkandung di dalamnya. Diantara riwayat hadits tersebut adalah: Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa Amir Ibn Tufail berkata pada nabi, " Kepada apa engkau menyeru kami Hai Muhammad?". Nabi menjawab, "kepada Allah". Amir Ibn Tufail berkata kembali, " Terangkan padaku, apakah ia dari emas, atau dari perak, ataukah dari besi?". Maka turunlah surat itu.

d. Sangat teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal-lafalnya
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas, Ibn Taimiyah menjelaskan perbedaan penggunaan lafal ahad tanpa alif-lam dan al-samad yang menggunakan alif-lam. Untuk memperoleh makna yang komprehensif atas lafal al-samad, Ibn Taimiyah menghadirkan sejumlah pemahaman ulama salaf kalangan sahabat dan tabiin serta ahli bahasa. Al-samad artinya sesuatu yang tak berongga, tak bercela; tuan yang padanya disandarkan kebutuhan-kebutuhan; yang sempurna lagi tinggi kedudukanNya; yang dimintai pertolongan dalam bencana; yang tak membutuhkan kepada seorang tetapi tiap-tiap orang membutuhkan-Nya.

e. Menggunakan akal secara kritis dalam menyimpulkan pesan al-Quran
Ketika menafsirkan ayat: iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), Ibn Taimiyah menyimpulkan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan. Pertama, manusia yang melaksanakan ibadah dan isti'anah. Kedua, manusia yang melaksanakan ibadah kepada Allah, tetapi tidak meminta pertolongan dan tidak bertawakkal kepada-Nya. Ketiga, manusia yang meminta pertolongan kepada Allah, tetapi tidak beribadah kepada-Nya. Keempat, manusia yang tidak menyembah Allah dan tidak meminta pertolongan kepadaNya, padahal Ia telah menciptakan, memberi rizki, dan melimpahkan karunia kesehatan kepadanya.

D. Kesimpulan
Dalam kitab Tafsir Ibn Taimiyyah ini, Ibn Taimiyyah berusaha menyelaraskan akal dan al-Quran, dan menghilangkan pertentangan antara keduanya. Fungsi akal adalah untuk memahami apa yang dimuat dalam al-Quran. Akal hanya diberi wewenang untuk memikirkan bukti-bukti dan dalil-dalil tersebut. Satu-satunya pedoman untuk menghukumi hanyalah al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dalam langkah penafsirannya, Ibn Taimiyyah menggunakan corak sastra budaya kemasyrakatan dengan ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunujuk ayat-ayat, dengan mengemukakannya dalam bahasa yang mudah dimengerti. Ia mencurahkan perhatian pada ikhitiar menemukan solusi al-Quran terhadap persoalan yang digadapi di lingkungannya. Untuk itu terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al-Quran mengenai suatu persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Oleh sebab itu cara yang ditempuh oleh Ibn Taimiyah ini merupakan penafsiran maudlu'i atau tematik

tafsir ibnu taimiyyah

makalah IAD

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk atau pembimbing dan kitab undang-undang dan perbaikan. Walaupun tidak didentifikasikan sebagai kitab ilmu alam, arsitek dan fisika, tatapi Al-Qur’an memberikan rambu-rambu dan keterangan yang detail terhadap beberapa masalah alami, kedokteran, geografi, astronomi yang selalu diperdebatkan oleh orang-orang ilmuan hingga saat ini. Dalam hal ini Al-Qur’an menjawab dan meluruskan dengan meyangkal atau membenarkan hal-hal yang berkaitan hal tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bagi orang atheisme khususnya ahli-ahli astronomi yang membuat pernyatan tentang hal-hal astronomi yang menyimpang dari Al_Qur’an yang tentunya disini Al-Quran ikut bicara dalam proses menyakinkan umat Islam agar tidak tersesat oleh pernyatan orang-orang Barat, walaupun tidak semua para ahli Eropa menolak adanya peran penting Al-Quran dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu Astronomi.
Namun pada makalah ini kami akan membatasi pembahasan tentang masalah Astronomi yang akan terfokus pada pembahasan penciptaan alam semesta dilihat dari Dunia Islam maupun Ilmu Pengetahuan Modern. Kami berharap dengan makalah ini dapat membantu para pembaca dalam mengetahui hakikat alam semesta yang sebenarnya, baik dari Islam maupun dari para ilmuan. Karena bagaimanapun para ilmuan adalah orang-orang yang telah berjuang demi menemukan hakikat kehidupan, walaupun dari salah satu mereka menyimpang dari Islam yang nantinya juga akan dijawab dengan tegas oleh Al-Qur’an.





BAB II
PEMBAHASAN

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DITINJAU DARI ISLAM
DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN

Bagaimana alam semesta berawal adalah pertayaan yang mempesona manusia sepanjang zaman. Para pendukung materialisme tidak mau mengakui adanya kebenaran tentang penciptaan alam semesta ini. Mereka tetap berkeyakinan bahwa alam semesta tidak berawal dan bersifat kekal. Mereka hendak mengingkari adanya penciptaan. Dengan kata lain mereka mengingkari adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta. Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad saw untuk membingungkan manusia. Sebagian tokoh ilmuan yang menganggap hal seperti diantaranya, Copernicus, George Gemof , dan lain-lain. Pendapat mereka ini sebenarnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno yang mengatakan bahwa materi tidak berawal dan tidak berakhir. Mereka tidak tahu bahwa langit dan bumi adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bahkan Allah telah memberikan tanda-tandanya dalam Al-qur’an sebagai berikut:




Artinya:” Kami akan memeperlihatkan kepada mereka tanda kekuasaan Kami di segnap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.
Ayat ini adalah bukti yang sangat jelas bahwa Al-Qur’an bukan ciptaan Muhammad tidak seperti apa yang diduga golongan orientalis, sesungguhnya Al-Qur’an adalah wahyu Allah, diturunkan kepada hati seorang pemimpin utusan bahasa Arab yang kuat. Jika Al Quran itu hanyalah karangan Muhammad, lalu mungkinkah 14 abad yang lalu ketika ilmu pengetahuan belum secanggih sekarang, seorang manusia di tengah gurun yang gersang di Arab bisa mengetahui bahwa alam semesta diciptakan ?.
Walaupun Demikian tidak semua para Ilmuan Barat menyangkal adanya pengorbanan Al-Qur’an dalam menjawab teka teki penciptaan alam semesta. Di bawah ini kami akan menjelaskan teori para ilmuan dalam berpendapat tentang penciptaan alam semesta.
1. Teori Big Ban
Albert Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad 20, berdasarkan perhitungan yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai ‘kesalahan terbesar dalam karirnya’. Apa arti dari mengembangnya alam semesta? Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa 'titik tunggal’ ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki ‘volume nol‘, dan ‘kepadatan tak hingga‘. Alam semesta telah terbentuk melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini. Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini dinamakan ‘Big Bang‘, dan teorinya dikenal dengan nama tersebut. Perlu dikemukakan bahwa ‘volume nol‘ merupakan pernyataan teoritis yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Ilmu pengetahuan dapat mendefinisikan konsep ‘ketiadaan‘, yang berada di luar batas pemahaman manusia, hanya dengan menyatakannya sebagai ‘titik bervolume nol‘. Sebenarnya, ‘sebuah titik tak bervolume‘ berarti ‘ketiadaan‘. Demikianlah alam semesta muncul menjadi ada dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia telah diciptakan.
Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad 20, telah dinyatakan dalam Alqur‘an 14 abad lampau:


Artinya:“Dia Pencipta langit dan bumi”

Teori Big Bang menunjukkan bahwa semua benda di alam semesta pada awalnya adalah satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Ini diartikan bahwa keseluruhan materi diciptakan melalui Big Bang atau ledakan raksasa dari satu titik tunggal, dan membentuk alam semesta kini dengan cara pemisahan satu dari yang lain. Big Bang, Fakta Menjijikkan Bagi Kaum Materialis Big Bang merupakan petunjuk nyata bahwa alam semesta telah ‘diciptakan dari ketiadaan‘, dengan kata lain ia diciptakan oleh Allah.
2. Teori Manunggalnya Alam ( Cosmos )
Teori merupakan pengembangan dari teori Big Ban. Teori ini mengatakan bahwa bahwa bumi adalah sebagian dari gas yanga panas lalu memisah dan mendingin (membeku) kemudian manmade tempat yang patut dihuni manusia.
Tentang kebenaran teori ini mereka berargumentasi dengan adanya benda-benda berapi yang berada di dalam perut bumi. Teori modrn ini sesuai dengan apa yang ditunjukan dalam firman Allah sebagai berikut :




Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu padu, kemudian Kami pisahkan antaranya keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?”
Prof. Thabbarah menyatakan, “ Ini adalah mu’jizat Al-Qur’an yang dikuatkan oleh Ilmu Pengetahuan modern bahwa alam adalah suatu kesatuan benda yang berasal dari gas kemudian memisah menjadi kabut-kabut.
Diceritakan dari Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, “ Langit itu rapat tidak menurunkan hujan dan bumi pun rapat tidak mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka tatkala Allah menjadikan penduduk bumi Ia memecah langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan.”
Mengenai asal kejadian Cosmos , seorang ahli Astronomi Jean mengatakan bahwa ala mini pada mulanya adalah gas yang berserakan secara teratur di angkasa luas, sedangkan kabut-kabut itu tercipta dari gagas tersebut yang memadat.Teri ini kita dapatkan penguatnya dalam Al-Qur’an sebagai berikut:






Artinya:”Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-perintahKu dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.”
Itulah perkembangan ilmu Pengetahuan Modern sekaligus Al-Qur’an yang selalu menjadi awal acuan bahkan menyangkal bagi para musuh Allah yang menyelewengkan hal-hal yang telah ditetapkan oleh Alloh swt. Dengan adanya perkembangan seperti ini maka para ilmuan Modern terus menerus menelusuri ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hakikat kehidupan di bumi diantara:
1. Atom
Atom adalah bagian terkecil dan tidak bisa dibagi yang didapati dalam semua unsur. Anggapan ini terjadi pada abad yang silam. Namun karena kegigihan para ilmuan akhirnya para ilmuan berpendapat bahwa atom masih bisa dibagi-bagi. Atom dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, proton, neutron, dan electron.
Hal ini juga telah ada pada Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu.






Artinya:”Tidak ada tersembunyi dari Tuhanmu seberat zarrah (atom pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada pula yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz).”
2. Zat Asam
Zat Asam dalam hal ini adalah Oksigen ( O2 ) yang merupakan kebutuhan vital untuk manusia dalam hal pernafasan. Mengapa hal ini dipelajari oleh para ilmuan? Hal ini dikarenakan karena Oksigen merupakan suatu yang sangat penting untuk kelansungan hidup bagi semua mahluk hidup di dunia ini. Bahkan para ilmuan dapat menampung Oksigen untuk para astronot melakuakan penerbangan ke luar angkasa, karena di luar angkasa akan ada kekurangan Oksigen tidak seperti halnya di Bumi. Gejala ilmiah ini telah ditunjukan oleh Al-Qur’an sebelum diciptakan penerbangan dan sebelum abad 14 abad yang lalu.
Perhatikan ayat di bawah ini:







Artinya: “Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam. Dan barang siapa yyang dikehendaki Alloh kesesatannya, nscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Dan pada abad ini dibuktikan mukjizatnya Al-Qur’an serta mencatat adanya kecocokan ayat Al-Qur’an dengan realita ilmiah. Hal ini betul-betul menjadi penguat kebenaran kenabian Muhammad saw.
Sekiranya masih banyak sekali penemuan penemuan ilmu pengetahuan modern yang sebenarnya telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai penguat sekaligus penyangkal bagi anggapan yang menyesatkan. Ilmu pengetahuan modern yang ditemukan dalam perkembangan selanjutnya diantaranya yang sering diperdebatkan oleh manusia adalah kejadian manusia dari segi proses produksi serta orgam-orgam dalam manusia serta ideology para ilmuan tentang ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan di mata dunia Islam. Adakalanya sejalan dengan Al-Qur’an dan adakalanya berseberangan dengan Al-Qur’an. Hal inilah yang perlu diperjuangkan oleh para pewaris para Nabi dalam menegakan agama Islam.


BAB III
PENUTU

Demikian penguraian yang dapat kami jelaskan, tentunya dari berbagai penjelasan di atas perlu kami tegaskan kembali dengan mengambil beberapa kesimpulan sebagai wacana umum dalam pembahasan tentang kelahiran ilmu pengetahuan modern dan dunia Islam.Pertama, bahwa ilmu pengetahuan modern pertama kali lahir yaitu ketika abad 20 yang dipelopori oleh para ilmuan yang diawali dengan perdebatan kejadian alam semesta yang sebenarnya telah ada penjelasannya dalam Al-Qur’anulkarim. Kedua, dengan lahirnya ilmu ini maka berkembanglah ilmu-ilmu lain baik yang berhubungan dengan alam maupun ilmu lainnya. Ketiga, Al-Quran adalah mu’jizat Alloh yang tidak dapat disangkal oleh siapapun baik dari kalangan Islam maupun dari kalangan non Islam, dan Al-Quran akan selalu memperkuat atau menyangkal hal-hal yang baru yang ditemukan oleh manusia zaman sekarang.
Demikian kesimpulan yang dapat kami sampaikan, kita sebagai manusia yang Muslim dan berakal tentunya mempunyai kewajiban dalam menegakan kebenaran Islam dalam bentuk apapun, agar kita terhindar dari kesesatan. Na’udzubillah. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
- Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono. Ilmu Alamiah Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia. 1998.
- Internet : //www.kejadian alam semesta.com.